Membedah Sikap Apatisme Masyarakat Menyikapi Kebijakan Pemerintah
DENPASAR, NusaBali.com - Sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, Indonesia tentu memiliki kendala tersendiri dalam mendengarkan aspirasi masyarakatnya. Alhasil, sebagian masyarakat malah bersikap apatis terhadap kebijakan publik pemerintah serta isu-isu politik yang ada.
Hal itu tertuang dalam diskusi dengan tema 'Masyarakat Tidak Peduli Kebijakan Pemerintah, Ada Apa ?' yang diselenggarakan Praga dan Rumah Akal Institute di Denpasar, Rabu (19/10/2022) malam, dan dihadiri berbagai kalangan organisasi kepemudaan dan mahasiswa.
"Pengaruh kebijakan publik terhadap masyarakat saat ini dirasa kurang adil, sebab dalam penyerapan aspirasi kurang menyentuh segala lapisan masyarakat," papar aktivis kepemudaan Dicky Armando yang hadir sebagai salah satu pembicara dalam diskusi ini.
Menurut Dicky mengatakan, saat sekarang ini merupakan era teknologi informasi di mana setiap orang bebas mengakses informasi dan bebas menyuarakan pendapat di media sosial.
"Meskipun begitu, di tengah keterbukaan informasi yang tinggi, tapi masih banyak orang yang tidak paham dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia," lanjutnya.
Lebih parahnya lagi, menurut Dicky bukan hanya orang awam saja yang terkadang tidak mengerti, kadangkala kalangan terpelajar seperti mahasiswa pun kadang tidak mengetahui dan memahami, ujung-ujungnya terjadi lah penolakan.
"Itulah yang akhirnya menjadi pergolakan di kalangan aktivis dan mahasiswa," terang mantan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI) Denpasar ini.
Sementara menurut akademisi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Udayana, Efatha FB Duarte mengatakan dalam hal pengambilan kebijakan sebaiknya masyarakat diturut sertakan, karena peran masyarakat akan membuat kebijakan menjadi jelas dan mudah dipahami.
"Harapan besar kita, karena kita telah berada di era keterbukaan informasi seperti ini, sudah selayaknya setiap masyarakat mengetahui segala kebijakan pemerintah, untuk kebaikan pembangunan dan jalannya pemerintah yang adil dan makmur," tutur dosen Ilmu Politik Unud tersebut.
Efatha menambahkan hal ini menjadi penting, apalagi menjelang pelaksanaan Presidensi KTT G20 November mendatang agar setiap masyarakat dapat mengetahui, terutama keuntungan apa yang didapat dari aspek perekonomian dan pariwisata terutama di Bali.
Selain itu founder Rumah Akal Institute Rovin Bou membedah ada tiga aspek penting melihat fenomena ini.
"Pertama kita menilai bahwa kebijakan itu sudah sesuai keinginan dan kehendak, jadinya tidak ada gesekan dan penolakan, kedua masyarakat tidak tahu kalau ada kebijakan pemerintah disebabkan kurangnya informasi publik tentang narasi tersebut," jelas Rovin
Menurut aktivis vokal dari PMKRI dan Pemuda Katolik Denpasar ini menerangkan terkadang kebijakan itu tidak sesuai tapi masyarakat tidak punya power untuk melawan.
"Contoh konkret saat orde baru, dimana setiap suara masyarakat yang menginginkan perubahan dan kebijakan yang baik, dibungkam oleh pemerintah," ungkap Rovin.
Lebih lanjut Rovin mengatakan terhadap kebijakan terkini tentang pelaksanaan Presidensi G20, dimana sempat terjadi sikap kritis di kalangan masyarakat.
"Hendaknya suara-suara aspirasi tersebut juga didengar oleh pemerintah, jangan sampai pelaksanaan tersebut menjadi keuntungan instan bagi kaum kapitalisme saja serta para pemilik modal besar," tegasnya.
Sementara itu narasi lain diungkapkan founder Praga Institute Arya Gangga yang menanggapi bahwa setiap anak bangsa kiranya wajib berkontribusi bagi keutuhan dalam kemajuan bangsa.
“Setiap dari diri kita adalah individu yang merdeka, dan kita semua memiliki peran untuk berkontribusi membangun kemajuan bangsa sesuai dengan amanat konstitusi, mencerdaskan kehidupan bangsa,” tandas aktivis muda ini.
Sayangnya diskusi yang sebelumnya mengupayakan menghadirkan Rocky Gerung tidak terealisir. Tokoh publik yang terkenal dengan idiom ‘akal sehat’ ini berada di Bali dan mengisi seminar nasional yang digelar BEM Fakultas Hukum Unud, Selasa (18/10/2022).*aps
Komentar