Menara Internet Bambu Dibangun di Desa Tembok
SINGARAJA, NusaBali
Tak seperti wilayah perkotaan yang mudah mendapatkan akses interet, warga Banjar Dinas Sembung, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Buleleng, harus menuju wantilan Desa Tembok untuk mendapatkan internet gratis yang dipasang pemerintah.
Namun tak semudah itu. Meski masih satu desa, untuk mencapai wantilan desa mereka harus menempuh jarak 3 kilometer. Cerita tersebut disampaikan Perbekel Desa Tembok Dewa Komang Yudi Astara, Kamis (20/10), saat pemaparan program Rural ICT Camp 2022 di kawasan Desa Pemaron, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Kesenjangan transformasi digital masih dialami warganya saat ini. Dari enam banjar dinas yang ada di bawah Pemerintah Desa Tembok, layanan internet gratis masih sulit diakses warga Banjar Dinas Sembung dan Dadap Tebel.
Secara geografis, dua banjar dinas ini lokasinya memang di perbukitan. Selain wilayah perbukitan juga banyak pohon kelapa tinggi yang menjadi penghalang sinyal internet. Sehingga warga, khususnya pelajar, rela datang ke balai desa atau balai banjar adat untuk mengakses internet gratis.
“Kebutuhan internet warga kami sama seperti warga daerah lainnya sudah sangat tinggi. Terutama dalam pemenuhan transformasi pembelajaran online yang dibiasakan sejak pandemi Covid-19. Di desa kami khususnya akses internet gratis masih terbatas,” ucap Yudi Astara didampingi Kepala Dinas Kominfo Santi Ketut Suwarmawan.
Layanan internet gratis dari program Bali Smart Island (BSI) saat ini baru terpasang di Balai Desa Adat Ngis dan wantilan Desa Tembok. Sedangkan di Kantor Perbekel pengadaannya dari dana desa. Kendala dan keterbatasan tersebut mengetuk hari Perbekel Yudi Astara untuk mencari celah memaksimalkan penyediaan layanan internet bagi warganya, hingga akhirnya Desa Tembok terpilih menjadi salah satu dari 8 desa sebagai lokasi Rural ICT Camp 2022, sebuah program yang diinisiasi oleh Common Room, Bandung.
Lembaga nirlaba yang berfokus pada pengembangan seni budaya dan literasi digital ini menjembatani pengembangan infrastruktur internet berbasis komunitas.
Program Rural ICT Camp ini juga didukung oleh Duta Besar Kedutaan Inggris untuk Indonesia, ICT Watch, relawan TIK, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Dinas Kominfo Santi Buleleng dan Pemerintah Kecamatan Tejakula dan Pemdes Tembok.
Pengembangan infrastruktur internet yang difasilitasi yakni pembangunan menara internet berbahan bambu. Inovasi ini pun sebelumnya sudah sukses diterapkan di sebuah desa di Bandung, Jawa Barat. Menara internet berbahan bambu ini dibangun di Banjar Dinas Sembung, Desa Tembok. Saat ini pengerjaannya sudah berjalan 50 persen. Struktur menara ini akan dibangun setinggi 15 meter. Pada bagian bawah dibangun pondasi beton 2,5 meter x 2,5 meter untuk memperkuat menara.
Pada puncak menara bambu ini nanti akan dipasang receiver sebagai penangkap sinyal, yang akan dilemparkan dari jaringan inti di Kantor Perbekel Desa Tembok. Rencananya di jaringan induk Kantor Perbekel Tembok akan disiapkan internet dengan kapasitas 100 mbps. Sebesar 20 mbps diantaranya akan ditembakkan ke receiver menara bambu untuk didistribusikan kembali ke jaringan personal yang ada di sekitarnya.
“Penyiapan layanan internet gratis ini sementara kami batasi hanya untuk pelayanan publik dan pelayanan dasar, seperti administrasi kependudukan, pendidikan dan kesehatan. Kalau untuk akses media sosial, game online dan YouTube akan terblokir otomatis. Ini untuk mengantisipasi sisi negatif internet bagi muda-mudi kami,” imbuh dia.
Sementara itu Direktur Common Room Gustaff Iskandar menjelaskan, Desa Tembok dipilih sebagai lokus program, karena masih memiliki kendala kesenjangan transformasi digital. Program yang sama juga digencarkan bagi daerah-daerah terpencil di Indonesia. Selain kendala yang ada, Pemdes Tembok juga disebut sangat agresif untuk memenuhi layanan internet warganya.
Program Rural ICT Camp selain memfasilitasi pembangunan menara internet berbahan bambu, juga akan diisi dengan pelatihan dan lokakarya tentang pengembangan infrastruktur internet. “Program ini selalu kami awali dengan pelatihan. Harapannya bisa membentuk SDM dulu yang paham bagaimana membuat menara bambu, bagaimana memasang alat-alat internet dan mengoperasikannya. Setelah mereka paham akan membangun sendiri,” ucap Gustaff.
Menara internet berbahan bambu pun dipilih dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya lebih murah dibandingkan dengan menara berbahan logam. Bahkan bisa lebih hemat sampai setengahnya. Dalam inovasi tersebut Common Room juga menggandeng Pusat Penelitian dan Pengembangan Produk Budaya dan Lingkungan Institute Teknologi Bandung. Mereka mencarikan desain dan bentuk menara yang tepat. Sedangkan desain itu dikerjakan oleh perajin bambu lokal di lokus program.
Untuk membangun menara bambu ini hanya memerlukan anggaran tidak lebih dari Rp 16 juta. Menara ini pun dijamin memiliki ketahanan maksimal 7 tahun. Ketinggian menara 15 meter, dapat menyediakan jaringan internet dengan jangkauan radius 10-20 kilometer.
“Intinya program ini digarap keroyokan, ada uang support dana, support teknologi, pekerja. Sehingga harapannya jangkauan internet di desa-desa terpencil di Indonesia dapat tertangani,” jelas Gustaff.
Program lokakarya yang akan digelar 21-25 Oktober, selain melibatkan perwakilan warga lokal, juga akan mendatangkan puluhan peserta se-Indonesia dan 15 peserta mancanegara. Program ini pun digelar menyambut pelaksanaan G20 di Bali. Sebagai pesan untuk menyuarakan kesenjangan transformasi digital yang masih terjadi di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Sementara itu Duta Besar Kedutaan Inggris, Owen Jenkins, dalam sambutan secara daring menyampaikan, kegiatan Rural ICT Camp yang mengusung tema transformasi digital untuk daerah pedesaan dan daerah terpencil sejalan dengan agenda G20 Indonesia. Yakni dari sisi transformasi digital.
“Melalui dukungan program akses digital, saya ingin menegaskan kembali bahwa Pemerintah Inggris teguh dalam mendukung akses digital yang aman, terjamin dan keberlanjutan bagi komunitas terpinggirkan di Indonesia. Kami akan terus mendukung kolaborasi bersama akses digital untuk pembangunan pedesaan,” ungkap Owen Jenkins. *k23
Kesenjangan transformasi digital masih dialami warganya saat ini. Dari enam banjar dinas yang ada di bawah Pemerintah Desa Tembok, layanan internet gratis masih sulit diakses warga Banjar Dinas Sembung dan Dadap Tebel.
Secara geografis, dua banjar dinas ini lokasinya memang di perbukitan. Selain wilayah perbukitan juga banyak pohon kelapa tinggi yang menjadi penghalang sinyal internet. Sehingga warga, khususnya pelajar, rela datang ke balai desa atau balai banjar adat untuk mengakses internet gratis.
“Kebutuhan internet warga kami sama seperti warga daerah lainnya sudah sangat tinggi. Terutama dalam pemenuhan transformasi pembelajaran online yang dibiasakan sejak pandemi Covid-19. Di desa kami khususnya akses internet gratis masih terbatas,” ucap Yudi Astara didampingi Kepala Dinas Kominfo Santi Ketut Suwarmawan.
Layanan internet gratis dari program Bali Smart Island (BSI) saat ini baru terpasang di Balai Desa Adat Ngis dan wantilan Desa Tembok. Sedangkan di Kantor Perbekel pengadaannya dari dana desa. Kendala dan keterbatasan tersebut mengetuk hari Perbekel Yudi Astara untuk mencari celah memaksimalkan penyediaan layanan internet bagi warganya, hingga akhirnya Desa Tembok terpilih menjadi salah satu dari 8 desa sebagai lokasi Rural ICT Camp 2022, sebuah program yang diinisiasi oleh Common Room, Bandung.
Lembaga nirlaba yang berfokus pada pengembangan seni budaya dan literasi digital ini menjembatani pengembangan infrastruktur internet berbasis komunitas.
Program Rural ICT Camp ini juga didukung oleh Duta Besar Kedutaan Inggris untuk Indonesia, ICT Watch, relawan TIK, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Dinas Kominfo Santi Buleleng dan Pemerintah Kecamatan Tejakula dan Pemdes Tembok.
Pengembangan infrastruktur internet yang difasilitasi yakni pembangunan menara internet berbahan bambu. Inovasi ini pun sebelumnya sudah sukses diterapkan di sebuah desa di Bandung, Jawa Barat. Menara internet berbahan bambu ini dibangun di Banjar Dinas Sembung, Desa Tembok. Saat ini pengerjaannya sudah berjalan 50 persen. Struktur menara ini akan dibangun setinggi 15 meter. Pada bagian bawah dibangun pondasi beton 2,5 meter x 2,5 meter untuk memperkuat menara.
Pada puncak menara bambu ini nanti akan dipasang receiver sebagai penangkap sinyal, yang akan dilemparkan dari jaringan inti di Kantor Perbekel Desa Tembok. Rencananya di jaringan induk Kantor Perbekel Tembok akan disiapkan internet dengan kapasitas 100 mbps. Sebesar 20 mbps diantaranya akan ditembakkan ke receiver menara bambu untuk didistribusikan kembali ke jaringan personal yang ada di sekitarnya.
“Penyiapan layanan internet gratis ini sementara kami batasi hanya untuk pelayanan publik dan pelayanan dasar, seperti administrasi kependudukan, pendidikan dan kesehatan. Kalau untuk akses media sosial, game online dan YouTube akan terblokir otomatis. Ini untuk mengantisipasi sisi negatif internet bagi muda-mudi kami,” imbuh dia.
Sementara itu Direktur Common Room Gustaff Iskandar menjelaskan, Desa Tembok dipilih sebagai lokus program, karena masih memiliki kendala kesenjangan transformasi digital. Program yang sama juga digencarkan bagi daerah-daerah terpencil di Indonesia. Selain kendala yang ada, Pemdes Tembok juga disebut sangat agresif untuk memenuhi layanan internet warganya.
Program Rural ICT Camp selain memfasilitasi pembangunan menara internet berbahan bambu, juga akan diisi dengan pelatihan dan lokakarya tentang pengembangan infrastruktur internet. “Program ini selalu kami awali dengan pelatihan. Harapannya bisa membentuk SDM dulu yang paham bagaimana membuat menara bambu, bagaimana memasang alat-alat internet dan mengoperasikannya. Setelah mereka paham akan membangun sendiri,” ucap Gustaff.
Menara internet berbahan bambu pun dipilih dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya lebih murah dibandingkan dengan menara berbahan logam. Bahkan bisa lebih hemat sampai setengahnya. Dalam inovasi tersebut Common Room juga menggandeng Pusat Penelitian dan Pengembangan Produk Budaya dan Lingkungan Institute Teknologi Bandung. Mereka mencarikan desain dan bentuk menara yang tepat. Sedangkan desain itu dikerjakan oleh perajin bambu lokal di lokus program.
Untuk membangun menara bambu ini hanya memerlukan anggaran tidak lebih dari Rp 16 juta. Menara ini pun dijamin memiliki ketahanan maksimal 7 tahun. Ketinggian menara 15 meter, dapat menyediakan jaringan internet dengan jangkauan radius 10-20 kilometer.
“Intinya program ini digarap keroyokan, ada uang support dana, support teknologi, pekerja. Sehingga harapannya jangkauan internet di desa-desa terpencil di Indonesia dapat tertangani,” jelas Gustaff.
Program lokakarya yang akan digelar 21-25 Oktober, selain melibatkan perwakilan warga lokal, juga akan mendatangkan puluhan peserta se-Indonesia dan 15 peserta mancanegara. Program ini pun digelar menyambut pelaksanaan G20 di Bali. Sebagai pesan untuk menyuarakan kesenjangan transformasi digital yang masih terjadi di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Sementara itu Duta Besar Kedutaan Inggris, Owen Jenkins, dalam sambutan secara daring menyampaikan, kegiatan Rural ICT Camp yang mengusung tema transformasi digital untuk daerah pedesaan dan daerah terpencil sejalan dengan agenda G20 Indonesia. Yakni dari sisi transformasi digital.
“Melalui dukungan program akses digital, saya ingin menegaskan kembali bahwa Pemerintah Inggris teguh dalam mendukung akses digital yang aman, terjamin dan keberlanjutan bagi komunitas terpinggirkan di Indonesia. Kami akan terus mendukung kolaborasi bersama akses digital untuk pembangunan pedesaan,” ungkap Owen Jenkins. *k23
Komentar