Krama Menerima Wangsit, Tapi Tak Tahu Peristiwa Apa yang Akan Terjadi
Saat Blabar Ageng Melanda Pura Manik Toya di Banjar Umadiwang, Desa Adat Belayu, Marga, Tabanan
Pura Pucak Empelan Dalem Semeru dan Pura Manik Toya memiliki hubungan erat, ketika piodalan di Pura Dhang Kahyangan tersebut, Pura Manik Toya merupakan luhur dari area pabejian sasuhunan Pura Pucak Empelan.
TABANAN, NusaBali
Banjir bandang alias blabar ageng melanda Pura Manik Toya di Banjar Umadiwang, Desa Adat Belayu, Desa Batanyuh, Kecamatan Marga, Tabanan, Senin (17/10) lalu membuat sedih sekaligus kaget krama (warga) setempat. Namun percaya tidak percaya, pertanda alias wangsit akan terjadinya sesuatu peristiwa sudah didapatkan sejumlah krama sebelum kejadian itu terjadi.
Kelian Adat Banjar Umadiwang, Desa Adat Belayu, Nyoman Sudiyasa mengatakan sudah merasakan wangsit Ida Bhatara ketika dahan pohon kepuh dan peristiwa kopi muncrat terjadi. Meskipun masih syok dengan bencana alam yang dihadapi krama Banjar Adat Umadiwang, kelian berusia 59 tahun ini membagikan kisah pertanda yang diterima krama sebelum blabar ageng itu terjadi di banjar adat yang terletak di wilayah Desa Batannyuh, Kecamatan Marga, Tabanan ini. Tanpa mengurangi kepedihan yang dialami krama, percaya tidak percaya, kata Sudiyasa, wangsit sudah diterima lebih dulu dalam hitungan hari sebelum blabar ageng itu terjadi.
Pertanda ini bermula ketika dahan pohon kepuh (Sterculia foetida) yang masih segar jatuh menimpa ornamen naga sebuah palinggih di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru. Pura Dhang Kahyangan ini berposisi di atas atau di samping jalan menuju Pura Manik Toya yang terendam blabar. Pura Pucak Empelan Dalem Semeru dan Pura Manik Toya ini memiliki hubungan erat satu sama lain. Ketika ada piodalan di Pura Dhang Kahyangan tersebut, Pura Manik Toya merupakan luhur dari area pabejian sasuhunan Pura Pucak Empelan Dalem Semeru yang dilintasi Tukad Yeh Sungi.
Menurut Kelian Adat Sudiyasa, dahan pohon kepuh itu runtuh setelah ditimpa dahan kering selama musim hujan dalam satu minggu belakangan. Krama mempercayai bahwa ketika bagian dari pohon kepuh yang tumbuh di Utama Mandala Pura Pucak Empelan Semeru itu runtuh, maka tidak lama setelahnya terjadi sesuatu yang menimpa krama, wewidangan desa adat, maupun peristiwa lainnya. “Sebelumnya juga sempat ada dahan taru kepuh yang runtuh. Dahannya ini masih berdaun segar. Kalau secara nalar ini sudah di luar,” kata Sudiyasa ketika ditemui, Kamis (20/10) sore.
Runtuhnya bagian pohon kepuh di dalam pura yang kemudian diikuti kejadian besar ini tidak terjadi satu dua kali. Kata Sudiyasa, para panglingsir pun mengatakan hal yang sama. Di masa lalu, sekitar tahun 1965, bagian pohon kepuh ini juga pernah runtuh. Kejadian ini kemudian diikuti peristiwa besar nasional, yakni G30S/PKI. “Apakah itu wangsit? Apakah itu pertanda? Kita sebagai manusia biasa hanya bisa menafsirkan berdasarkan sebab akibatnya,” jelas Sudiyasa.
Selain dahan pohon kepuh yang runtuh, kejadian lain pun sempat terekam krama yang sedang ngayah di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru. Pangayah ini sedang mempersiapkan sasuhunan dari dua pura lainnya, yakni Pura Bantas di wilayah Banjar Adat Batannyuh dan Pura Bukit Siku di Banjar Adat Umadiwang lunga ngrastitining jagat.
“Ketika Ida Bhatara jagi lunga ngrastitining jagat, menurut kebiasaan selalu mapupul di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru terlebih dahulu,” tutur Sudiyasa.
Untuk mempersiapkan upacara yang dilaksanakan pada Redite Kajeng Kliwon hingga Anggara Pahing Watugunung, 16-18 Oktober 2022 tersebut, para pengayah suci seperti Jero Mangku dan beberapa Kelian Kelir pun berkumpul di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru.
Seperti biasa ketika masandekan (istirahat) akan disediakan wedang (kopi). Anehnya, ketika seorang Kelian Kelir membawakan wedang kepada Jero Mangku, dari sekian gelas wedang yang dia bawa menggunakan nampan, tepat satu gelas wedang yang berada di tengah muncrat ke baju Kelian Kelir tersebut. Sedangkan gelas-gelas yang lain aman-aman saja.
Lebih aneh lagi, Kelian Kelir ini tidak melakukan gerakan apapun yang dapat membuat wedang itu muncrat, lebih-lebih muncrat hanya satu gelas saja. Berdasarkan dari dua kejadian inilah, para pengayah di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru mulai waswas meskipun tidak mengerti makna dari peristiwa tersebut.
Tidak berselang lama tepatnya di hari kedua Ida Bhatara lunga pada, Soma Umanis Watugunung, Senin (17/10) pagi sekitar pukul 08.15 Wita, air Tukad Yeh Sungi mulai naik. Pukul 08.30 Wita, blabar ageng tersebut mulai merendam hampir mendekati bibir atap palinggih-palinggih di Pura Manik Toya. Walaupun berlangsung dalam hitungan menit, blabar ageng ini telah merusak tembok panyengker pura, bale pasayuban, bale pawedan, dan bale shanti dari pura luhur pabejin sasuhunan Pura Pucak Empelan Dalem Semeru tersebut.
Meskipun peristiwa ini sangat pahit bagi krama Banjar Adat Umadiwang hingga menyebabkan sebagian krama menangis terisak di pagi yang kelam itu, peristiwa ini seakan menjadi jawaban dari dua pertanda atau wangsit yang ditunjukkan oleh Ida Bhatara kepada panjak-Nya.
“Kita sebatas manusia hanya bisa menafsirkan seiring kejadian baru-baru ini. Saya sebagai panjak di sini tidak mau melebih-lebihkan apa yang sudah terjadi. Kalau orang luar sendiri yang langsung merasakan mungkin orang-orang baru akan percaya,” tegas Sudiyasa. Sebagai pangayah dan panjak dari sasuhunan di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru dan Pura Manik Toya, Sudiyasa tidak mau mendahului Ida Bhatara dalam peristiwa ini. Sudiyasa hanya bisa menyampaikan apa yang sudah dia alami dan percayai.
Seperti diberitakan hujan deras dengan intensitas tinggi menyebabkan Pura Manik Toya di Banjar Umadiwang, Desa Batanyuh, Kecamatan Marga, Tabanan tenggelam, Senin (17/10). Pura yang merupakan beji dari Pura Puncak Empelan Dalem Semaru nyaris dihanyutkan blabar. Sebab air masuk areal pura sampai 2,5 meter hanya kelihatan bagian atap saja. Beruntung kejadian ini tidak menimbulkan korban jiwa, namun sejumlah palinggih ambruk. Pura tenggelam karena air dari Tukad Yeh Sungi yang berada di timur pura naik akibat tersumbat material pohon yang hanyut dari arah utara. Kira-kira material pohon yang menyumbat ini hampir 50 ton. *ol1
Kelian Adat Banjar Umadiwang, Desa Adat Belayu, Nyoman Sudiyasa mengatakan sudah merasakan wangsit Ida Bhatara ketika dahan pohon kepuh dan peristiwa kopi muncrat terjadi. Meskipun masih syok dengan bencana alam yang dihadapi krama Banjar Adat Umadiwang, kelian berusia 59 tahun ini membagikan kisah pertanda yang diterima krama sebelum blabar ageng itu terjadi di banjar adat yang terletak di wilayah Desa Batannyuh, Kecamatan Marga, Tabanan ini. Tanpa mengurangi kepedihan yang dialami krama, percaya tidak percaya, kata Sudiyasa, wangsit sudah diterima lebih dulu dalam hitungan hari sebelum blabar ageng itu terjadi.
Pertanda ini bermula ketika dahan pohon kepuh (Sterculia foetida) yang masih segar jatuh menimpa ornamen naga sebuah palinggih di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru. Pura Dhang Kahyangan ini berposisi di atas atau di samping jalan menuju Pura Manik Toya yang terendam blabar. Pura Pucak Empelan Dalem Semeru dan Pura Manik Toya ini memiliki hubungan erat satu sama lain. Ketika ada piodalan di Pura Dhang Kahyangan tersebut, Pura Manik Toya merupakan luhur dari area pabejian sasuhunan Pura Pucak Empelan Dalem Semeru yang dilintasi Tukad Yeh Sungi.
Menurut Kelian Adat Sudiyasa, dahan pohon kepuh itu runtuh setelah ditimpa dahan kering selama musim hujan dalam satu minggu belakangan. Krama mempercayai bahwa ketika bagian dari pohon kepuh yang tumbuh di Utama Mandala Pura Pucak Empelan Semeru itu runtuh, maka tidak lama setelahnya terjadi sesuatu yang menimpa krama, wewidangan desa adat, maupun peristiwa lainnya. “Sebelumnya juga sempat ada dahan taru kepuh yang runtuh. Dahannya ini masih berdaun segar. Kalau secara nalar ini sudah di luar,” kata Sudiyasa ketika ditemui, Kamis (20/10) sore.
Runtuhnya bagian pohon kepuh di dalam pura yang kemudian diikuti kejadian besar ini tidak terjadi satu dua kali. Kata Sudiyasa, para panglingsir pun mengatakan hal yang sama. Di masa lalu, sekitar tahun 1965, bagian pohon kepuh ini juga pernah runtuh. Kejadian ini kemudian diikuti peristiwa besar nasional, yakni G30S/PKI. “Apakah itu wangsit? Apakah itu pertanda? Kita sebagai manusia biasa hanya bisa menafsirkan berdasarkan sebab akibatnya,” jelas Sudiyasa.
Selain dahan pohon kepuh yang runtuh, kejadian lain pun sempat terekam krama yang sedang ngayah di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru. Pangayah ini sedang mempersiapkan sasuhunan dari dua pura lainnya, yakni Pura Bantas di wilayah Banjar Adat Batannyuh dan Pura Bukit Siku di Banjar Adat Umadiwang lunga ngrastitining jagat.
“Ketika Ida Bhatara jagi lunga ngrastitining jagat, menurut kebiasaan selalu mapupul di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru terlebih dahulu,” tutur Sudiyasa.
Untuk mempersiapkan upacara yang dilaksanakan pada Redite Kajeng Kliwon hingga Anggara Pahing Watugunung, 16-18 Oktober 2022 tersebut, para pengayah suci seperti Jero Mangku dan beberapa Kelian Kelir pun berkumpul di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru.
Seperti biasa ketika masandekan (istirahat) akan disediakan wedang (kopi). Anehnya, ketika seorang Kelian Kelir membawakan wedang kepada Jero Mangku, dari sekian gelas wedang yang dia bawa menggunakan nampan, tepat satu gelas wedang yang berada di tengah muncrat ke baju Kelian Kelir tersebut. Sedangkan gelas-gelas yang lain aman-aman saja.
Lebih aneh lagi, Kelian Kelir ini tidak melakukan gerakan apapun yang dapat membuat wedang itu muncrat, lebih-lebih muncrat hanya satu gelas saja. Berdasarkan dari dua kejadian inilah, para pengayah di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru mulai waswas meskipun tidak mengerti makna dari peristiwa tersebut.
Tidak berselang lama tepatnya di hari kedua Ida Bhatara lunga pada, Soma Umanis Watugunung, Senin (17/10) pagi sekitar pukul 08.15 Wita, air Tukad Yeh Sungi mulai naik. Pukul 08.30 Wita, blabar ageng tersebut mulai merendam hampir mendekati bibir atap palinggih-palinggih di Pura Manik Toya. Walaupun berlangsung dalam hitungan menit, blabar ageng ini telah merusak tembok panyengker pura, bale pasayuban, bale pawedan, dan bale shanti dari pura luhur pabejin sasuhunan Pura Pucak Empelan Dalem Semeru tersebut.
Meskipun peristiwa ini sangat pahit bagi krama Banjar Adat Umadiwang hingga menyebabkan sebagian krama menangis terisak di pagi yang kelam itu, peristiwa ini seakan menjadi jawaban dari dua pertanda atau wangsit yang ditunjukkan oleh Ida Bhatara kepada panjak-Nya.
“Kita sebatas manusia hanya bisa menafsirkan seiring kejadian baru-baru ini. Saya sebagai panjak di sini tidak mau melebih-lebihkan apa yang sudah terjadi. Kalau orang luar sendiri yang langsung merasakan mungkin orang-orang baru akan percaya,” tegas Sudiyasa. Sebagai pangayah dan panjak dari sasuhunan di Pura Pucak Empelan Dalem Semeru dan Pura Manik Toya, Sudiyasa tidak mau mendahului Ida Bhatara dalam peristiwa ini. Sudiyasa hanya bisa menyampaikan apa yang sudah dia alami dan percayai.
Seperti diberitakan hujan deras dengan intensitas tinggi menyebabkan Pura Manik Toya di Banjar Umadiwang, Desa Batanyuh, Kecamatan Marga, Tabanan tenggelam, Senin (17/10). Pura yang merupakan beji dari Pura Puncak Empelan Dalem Semaru nyaris dihanyutkan blabar. Sebab air masuk areal pura sampai 2,5 meter hanya kelihatan bagian atap saja. Beruntung kejadian ini tidak menimbulkan korban jiwa, namun sejumlah palinggih ambruk. Pura tenggelam karena air dari Tukad Yeh Sungi yang berada di timur pura naik akibat tersumbat material pohon yang hanyut dari arah utara. Kira-kira material pohon yang menyumbat ini hampir 50 ton. *ol1
1
Komentar