'Hipnotis' Penonton Lewat Tari Palegongan Bapang Durga
Menari di Usia 79 Tahun, Maestro Tari Ni Ketut Arini Tetap Tampil Memukau
Selama 12 menit pentas, terlihat Ni Ketut Arini menumpahkan segala gerak tari melalui gerak kaki, tangan, jemari hingga sudut mata dengan sempurna.
DENPASAR, NusaBali
Telah berkembang sejak tahun 1993, Tari Palegongan Bapang Durga yang terlahir di Pura Bagan Kelod masih eksis hingga saat ini berkat Ni Ketut Arini. Melalui gurunya, I Wayan Rindi, yang mengajarkan Ni Ketut Arini Tari Palegongan Bapang Durga yang hingga kini masih dalam ingatannya baik gerakan tari maupun tabuhnya.
Pada penutupan gelaran Lomba Barong Ket dan Mekendang Tunggal Kota Denpasar di Dharma Negara Alaya Denpasar, Sabtu (22/10) malam. Menjadi momentum yang tepat untuk mengenalkan tarian yang dulu menjadi tarian favorit dari Maestro Tari, Ni Pollok. Diawali dengan pemutaran film Dokumenter berjudul ‘Ni Pollok – Satyaning Kahuripan’ berdurasi 15 menit menjadi pengantar untuk penonton sebelum akhirnya diajak untuk menyaksikan tarian Palegongan Bapang Durga.
“Namun kalau kami rasa menampilkan film dokumenter saya tidak cukup. Makanya kami kolaborasikan sebuah inovasi dengan penampilan Tari Palegongan Bapang Durga yang kami garap dengan Ibu Arini,” ujar Kepala Bidang Dokumentasi, Perfilman, dan Permuseuman, Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Anak Agung Gede Agung Dharma Putra, Sabtu malam. Hal ini juga menjadi tindak lanjut dari Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, bahwa Kota Denpasar berbasis budaya untuk Denpasar Maju. Di dalamnya mengandung pelestarian budaya yang menjadi tonggak di Dinas Kebudayaan untuk melakukan pelestarian.
“Tari Palegongan Bapang Durga yang pernah ditampilkan atau ditarikan oleh Ni Nyoman Polok pada tahun 1933 di Puri Denpasar. Jadi beliau adalah seorang maestro tari yang memang sepatutnya kita lestarikan dan sudah beliau pernah lakukan berupa mahakarya Tari Palegongan Bapang Durga ini,” lanjutnya ketika ditanyai terkait alasan kenapa tarian ini diambil untuk acara penutupan.
Penampilan kemudian diawali dengan satu orang wanita membawa pengasepan dan Jero Mangku memercikkan tirta (air suci) sebagai simbol peminta restu kepada leluhur. Tarian yang biasa ditarikan oleh dua orang penari, kali ini dikemas berbeda oleh Ni Ketut Arini bersama empat muridnya yang juga diiringi oleh Sekaa Gong Dinas Kebudayaan Panca Sanak.
Selama 12 menit, terlihat Ni Ketut Arini menumpahkan segala gerak tari melalui gerak kaki, tangan, jemari hingga sudut mata dengan sempurna. Walau saat ini genap berusia 79 tahun, ia mampu melakoni tarian tersebut dengan senyumnya yang masih terlihat manis hingga akhir. Tak salah, jika penampilan tersebut disambut dengan sorak sorai penonton termasuk Walikota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara dan Ketua DPRD Kota Denpasar I Gusti Ngurah Gede yang tertegun melihat pementasannya.
Soal filosofi tarian Palegongan Bapang Durga, Ni Ketut Arini menjelaskan tarian ini adalah kenang-kenangan dari Ni Pollok semasa ia masih menjadi Pragina.
“Ni Pollog adalah adik kelas paman saya dan mereka berteman sekali. Sudah itu paman saya yang mengajarkan tari ini saat saya masih SD. Saya masih ingat lagunya, saya bisa menabuh, saya dan juga bisa makendang. Jadi tari itu susah dilupakan karena saya sudah pegang lagunya,” ujar Ni Ketut Arini ketika ditemui setelah pentas.
Kala ditanya soal perbedaan tari Palegongan Bapang Durga dengan tari Legong lainnya, kata Ni Ketut Arini ini merupakan tari kerasnya Legong.
“Ini kerasnya saja karena banyak menghabiskan tenaga. Tarian ini banyak nyeregsegnya dan gerakan dasar-dasar tari itu yang lebih banyak di sini. Gerakan tinggi rendah itu kekuatannya ada di sini,” ujarnya.
Puncak pementasan Palegongan Bapang Durga berupa adegan kerauhan (kerasukan, Red) saat penari telah selesai melakukan pementasan. Keempat penari dari murid Ni Ketut Arini berteriak sontak membuat penonton ketakutan. Namun, adegan ini tidak berlangsung lama setelah Jero Mangku memercikkan air tirta kepada penari.
“Kesenian apapun di Bali itu datangnya dari sana (leluhur). Seperti saya rasanya sudah menari bersama siapa, maksudnya itu ada yang menemani. Kalau adik-adik (muridnya) yang tidak kuat itu pasti mereka nangis. Saya pun sudah merinding tadi. Tetapi saya sudah biasa ditemani begitu (seseorang tak kasat mata). Justru itu yang saya rasakan berarti beliau masih sayang,” ujar Ni Ketut Arini.
Selaras dengan hal tersebut, air tirta itu selalu dibawa oleh Pamangku Gede Pura Dalem Prajurit, Jro Mangku I Made Sumaka, saat ada pementasan tari Palegongan Bapang Durga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kerauhan. “Jadi Pejati (alat persembahyangan) dan air tirta diupacarai lalu disungsung (dibawa) menuju tempat pentas dari Pura Dalem Prajurit. Nanti ini akan diberikan kepada orang yang kerauhan (kerasukan) agar mereka cepat sadar,” ujar Jero Mangku Made Sumaka.
Pantangan sebelum menarikan tarian Palegongan Bapang Durga, kata Ni Ketut Arini tidak boleh berbicara yang tidak harus dibicarakan (kata kasar). Maka dari itu, sebelum menari semua orang akan hening terlebih dahulu.
“Kita berharap agar beliau (cahaya, cinta, energinya) itu masuk yang dari Tuhan. Kita harapkan mereka bisa masuk ke diri kita agar saat menari semua itu terpancar baik dari gerakan kita saat menari dan juga dari mata kita,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Tarian Legong ini terus diajarkan oleh Ni Ketut Arini di sanggar miliknya, yaitu Sanggar Tari Bali Warini yang berlokasi di Jalan Kecubung, Sumerta Kaja, Denpasar Timur, Kota Denpasar. Ni Ketut Arini, seniman tari yang berkiprah melestarikan tari klasik Bali dan mempromosikan ke kancah nasional bahkan internasional ini lahir di Banjar (Dusun) Lebah, Desa Sumerta Kaja, Kota Denpasar, pada 15 Maret 1943. Ia sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga seniman. Ayahnya, I Wayan Saplug merupakan guru penabuh gamelan, sementara ibunya, Ketut Samprig, juga gemar makekidung (membawakan tembang Bali).
Dilansir antaranews, Wayan Rindi yang merupakan pamannya, adalah penari sekaligus guru tari terkenal saat itu. Rindi pula yang banyak mengenalkan dan mengajarkan dasar-dasar tari kepada Arini. Saudara kandung Arini pun terkenal sebagai penabuh dan penari.
Meskipun dibesarkan di keluarga seniman, Arini menceritakan dirinya baru diizinkan mulai belajar menari oleh Wayan Rindi ketika telah berusia tujuh tahun. Sebelumnya dia hanya menonton pamannya berlatih tari. Anak keempat dari enam bersaudara ini kepiawaiannya dalam menari semakin terasah dengan menempuh pendidikan ke sekolah Konservatori Karawitan (Kokar) Bali pada 1960 hingga 1963. Kemudian dilanjutkan di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar mulai tahun 1967. *ol3
Pada penutupan gelaran Lomba Barong Ket dan Mekendang Tunggal Kota Denpasar di Dharma Negara Alaya Denpasar, Sabtu (22/10) malam. Menjadi momentum yang tepat untuk mengenalkan tarian yang dulu menjadi tarian favorit dari Maestro Tari, Ni Pollok. Diawali dengan pemutaran film Dokumenter berjudul ‘Ni Pollok – Satyaning Kahuripan’ berdurasi 15 menit menjadi pengantar untuk penonton sebelum akhirnya diajak untuk menyaksikan tarian Palegongan Bapang Durga.
“Namun kalau kami rasa menampilkan film dokumenter saya tidak cukup. Makanya kami kolaborasikan sebuah inovasi dengan penampilan Tari Palegongan Bapang Durga yang kami garap dengan Ibu Arini,” ujar Kepala Bidang Dokumentasi, Perfilman, dan Permuseuman, Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Anak Agung Gede Agung Dharma Putra, Sabtu malam. Hal ini juga menjadi tindak lanjut dari Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, bahwa Kota Denpasar berbasis budaya untuk Denpasar Maju. Di dalamnya mengandung pelestarian budaya yang menjadi tonggak di Dinas Kebudayaan untuk melakukan pelestarian.
“Tari Palegongan Bapang Durga yang pernah ditampilkan atau ditarikan oleh Ni Nyoman Polok pada tahun 1933 di Puri Denpasar. Jadi beliau adalah seorang maestro tari yang memang sepatutnya kita lestarikan dan sudah beliau pernah lakukan berupa mahakarya Tari Palegongan Bapang Durga ini,” lanjutnya ketika ditanyai terkait alasan kenapa tarian ini diambil untuk acara penutupan.
Penampilan kemudian diawali dengan satu orang wanita membawa pengasepan dan Jero Mangku memercikkan tirta (air suci) sebagai simbol peminta restu kepada leluhur. Tarian yang biasa ditarikan oleh dua orang penari, kali ini dikemas berbeda oleh Ni Ketut Arini bersama empat muridnya yang juga diiringi oleh Sekaa Gong Dinas Kebudayaan Panca Sanak.
Selama 12 menit, terlihat Ni Ketut Arini menumpahkan segala gerak tari melalui gerak kaki, tangan, jemari hingga sudut mata dengan sempurna. Walau saat ini genap berusia 79 tahun, ia mampu melakoni tarian tersebut dengan senyumnya yang masih terlihat manis hingga akhir. Tak salah, jika penampilan tersebut disambut dengan sorak sorai penonton termasuk Walikota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara dan Ketua DPRD Kota Denpasar I Gusti Ngurah Gede yang tertegun melihat pementasannya.
Soal filosofi tarian Palegongan Bapang Durga, Ni Ketut Arini menjelaskan tarian ini adalah kenang-kenangan dari Ni Pollok semasa ia masih menjadi Pragina.
“Ni Pollog adalah adik kelas paman saya dan mereka berteman sekali. Sudah itu paman saya yang mengajarkan tari ini saat saya masih SD. Saya masih ingat lagunya, saya bisa menabuh, saya dan juga bisa makendang. Jadi tari itu susah dilupakan karena saya sudah pegang lagunya,” ujar Ni Ketut Arini ketika ditemui setelah pentas.
Kala ditanya soal perbedaan tari Palegongan Bapang Durga dengan tari Legong lainnya, kata Ni Ketut Arini ini merupakan tari kerasnya Legong.
“Ini kerasnya saja karena banyak menghabiskan tenaga. Tarian ini banyak nyeregsegnya dan gerakan dasar-dasar tari itu yang lebih banyak di sini. Gerakan tinggi rendah itu kekuatannya ada di sini,” ujarnya.
Puncak pementasan Palegongan Bapang Durga berupa adegan kerauhan (kerasukan, Red) saat penari telah selesai melakukan pementasan. Keempat penari dari murid Ni Ketut Arini berteriak sontak membuat penonton ketakutan. Namun, adegan ini tidak berlangsung lama setelah Jero Mangku memercikkan air tirta kepada penari.
“Kesenian apapun di Bali itu datangnya dari sana (leluhur). Seperti saya rasanya sudah menari bersama siapa, maksudnya itu ada yang menemani. Kalau adik-adik (muridnya) yang tidak kuat itu pasti mereka nangis. Saya pun sudah merinding tadi. Tetapi saya sudah biasa ditemani begitu (seseorang tak kasat mata). Justru itu yang saya rasakan berarti beliau masih sayang,” ujar Ni Ketut Arini.
Selaras dengan hal tersebut, air tirta itu selalu dibawa oleh Pamangku Gede Pura Dalem Prajurit, Jro Mangku I Made Sumaka, saat ada pementasan tari Palegongan Bapang Durga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kerauhan. “Jadi Pejati (alat persembahyangan) dan air tirta diupacarai lalu disungsung (dibawa) menuju tempat pentas dari Pura Dalem Prajurit. Nanti ini akan diberikan kepada orang yang kerauhan (kerasukan) agar mereka cepat sadar,” ujar Jero Mangku Made Sumaka.
Pantangan sebelum menarikan tarian Palegongan Bapang Durga, kata Ni Ketut Arini tidak boleh berbicara yang tidak harus dibicarakan (kata kasar). Maka dari itu, sebelum menari semua orang akan hening terlebih dahulu.
“Kita berharap agar beliau (cahaya, cinta, energinya) itu masuk yang dari Tuhan. Kita harapkan mereka bisa masuk ke diri kita agar saat menari semua itu terpancar baik dari gerakan kita saat menari dan juga dari mata kita,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Tarian Legong ini terus diajarkan oleh Ni Ketut Arini di sanggar miliknya, yaitu Sanggar Tari Bali Warini yang berlokasi di Jalan Kecubung, Sumerta Kaja, Denpasar Timur, Kota Denpasar. Ni Ketut Arini, seniman tari yang berkiprah melestarikan tari klasik Bali dan mempromosikan ke kancah nasional bahkan internasional ini lahir di Banjar (Dusun) Lebah, Desa Sumerta Kaja, Kota Denpasar, pada 15 Maret 1943. Ia sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga seniman. Ayahnya, I Wayan Saplug merupakan guru penabuh gamelan, sementara ibunya, Ketut Samprig, juga gemar makekidung (membawakan tembang Bali).
Dilansir antaranews, Wayan Rindi yang merupakan pamannya, adalah penari sekaligus guru tari terkenal saat itu. Rindi pula yang banyak mengenalkan dan mengajarkan dasar-dasar tari kepada Arini. Saudara kandung Arini pun terkenal sebagai penabuh dan penari.
Meskipun dibesarkan di keluarga seniman, Arini menceritakan dirinya baru diizinkan mulai belajar menari oleh Wayan Rindi ketika telah berusia tujuh tahun. Sebelumnya dia hanya menonton pamannya berlatih tari. Anak keempat dari enam bersaudara ini kepiawaiannya dalam menari semakin terasah dengan menempuh pendidikan ke sekolah Konservatori Karawitan (Kokar) Bali pada 1960 hingga 1963. Kemudian dilanjutkan di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar mulai tahun 1967. *ol3
1
Komentar