Teruna Bali Harus Jadi Orang Tradisi atau Modern?
MANGUPURA, NusaBali.com – Terlahir sebagai teruna teruni Bali terkadang harus dihadapkan pada pilihan untuk menjadi orang modern atau bertradisi.
Kondisi Pulau Bali sebagai daerah pariwisata internasional menyudutkan para teruna teruni Bali ke posisi harus menjadi penjaga adat dan tradisi leluhur dari gempuran budaya asing, sebagai orang Indonesia yang mengabdi kepada negara sebagai aparatur sipil negara, atau menjadi individu internasional agar dapat bergaul dengan komunitas global.
Posisi dilematik ini pun mengilhami Ida Bagus Nama Rupa untuk mendidik putra dan putrinya untuk menjadi ketiga pilihan tersebut. Gusde Nama Rupa, begitu ia akrab disapa adalah ayahanda dari Ida Bagus Made Kesawa Telaga seorang teruna berusia 16 tahun dari Griya Telaga Carangsari yang berprestasi di bidang kebudayaan hingga berhasil masuk nominasi Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) tahun 2022.
Kesuksesan Gusde Kesawa menjadi satu dari tiga kandidat penerima penghargaan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI itu tidak terlepas dari pola asuh sang ayah. Gusde Nama Rupa menerapkan tiga fase mendidik anak yakni anak sebagai teruna teruni Bali, sebagai putra putri Indonesia, dan individu internasional.
“Saya mendorong anak saya dari usia 0 sampai 12 tahun harus jadi anak Bali. 12 ke 17 tahun menjadi anak Indonesia. Dan 17 tahun ke atas menjadi anak internasional,” terang Gusde Nama Rupa belum lama ini ketika NusaBali.com beraudiensi dengan keluarga Gusde Kesawa perihal masuknya teruna dari Kecamatan Petang itu dalam nominasi AKI.
Fase asuhan ini diterapkan Gusde Nama Rupa kepada ketiga buah hatinya yakni putri sulung Ida Ayu Putu Dewa Yani, Gusde Kesawa, dan putri bungsunya Ida Ayu Nyoman Chandra Dewi.
Direktur Junglegold Bali atau sebelumnya dikenal sebagai Pod Chocolate ini menegaskan bahwa ia tidak mau anaknya harus memilih untuk jadi orang yang bertradisi atau modern. Hal ini pun dicontohkan langsung oleh Gusde Nama Rupa kepada anak-anaknya lewat kesehariannya sebagai pebisnis sekaligus pengayah aktif di ranah adat.
Pebisnis yang dikenal dengan salam ngagem ini sebelumnya sempat berprofesi sebagai tourist guide dan kini sebagai pebisnis ini masih aktif ngayah nopeng baik itu Topeng Pajegan hingga Bapang Rangda di kala ada yadnya yang dilakukan masyarakat maupun pura di Desa Carangsari.
Kegiatan ini masih terus ia lakoni dengan konsisten meskipun harus pergi pulang dari perjalanan internasional baik untuk urusan bisnis maupun sebagai pembicara di seminar internasional.
Gusde Kesawa merupakan bukti dari pola asuh tiga fase ini. Sejak usianya menginjak 9 tahun, putra tunggal Gusde Nama Rupa ini sudah aktif berkecimpung dan berprestasi di dunia kesusastraan Bali. Bidang seperti Dharma Wacana, masatua Bali, MC Bahasa Bali atau Ugrawakia, pidato Bahasa Bali atau pidarta, hingga akhir belajar menari Baris Tunggal ini diakui secara nasional melalui penghargaan AKI.
Selain itu, Gusde Nama Rupa pun mendorong ketiga buah hatinya untuk menjadi pengusaha terlepas dari apa pun jurusan kuliah yang sedang dan akan mereka ambil. Pengusaha yang dimaksud berarti luas yakni pribadi yang jeli dalam melihat permasalahan dan kreatif memunculkan solusi dari permasalahan tersebut.
“Saya sudah pesan, apa pun jurusan kuliah mereka nanti harus punya cita-cita jadi pengusaha. Sekarang yang paling gede sekolah kedokteran tetap harus berpola pikir pengusaha. Ini juga sebagai usaha untuk mencapai 11 persen angka pengusaha Indonesia,” tandas Gusde Nama Rupa. *rat
1
Komentar