Tradisi Mamunjung saat Pagerwesi di Buleleng, Suguhkan Hidangan Khas di Pusara Keluarga
SINGARAJA, NusaBali
Perayaan Hari Pagerwesi pada Buda Kliwon Sinta, Rabu (26/10) kemarin, di Buleleng terkenal paling ramai jika dibandingkan dengan di daerah lain.
Suasana hari raya ini sama meriahnya dengan perayaan Galungan dan Kuningan bagi umat Hindu di Bali.
Perayaan Pagerwesi di Buleleng memiliki ciri khas, yakni tradisi mamunjung (menyuguhkan sesajen) di pusara keluarga yang telah meninggal dunia. Suasana ini masih kental tampak, antara lain di Setra (kuburan) Desa Adat Buleleng. Puluhan pusara masih tampak di hamparan tanah kuburan adat itu. Pusara-pusara itu adalah milik mendiang yang belum diupacarai ngaben oleh keluarganya.
Sejumlah krama desa adat masih setia dengan upacara makingsan ring pertiwi (dikubur). Meskipun saat ini banyak umat Hindu di Bali yang memilih mengkremasi keluarganya saat meninggal dunia. Di tengah gempuran pelaksanaan ritual yang lebih efektif dan efisien, Banjar Adat Banjar Jawa yang bernaung di Desa Adat Buleleng masih melakoni dresta makingsan ring pertiwi.
Masih bertahannya tradisi makingsan ring pertiwi, membuat tradisi mamunjung di Buleleng tetap lestari. Meskipun saat ini jumlah krama yang datang ke setra untuk mamunjung tidak seramai sepuluh tahun sebelumnya.
Kelian Desa Adat Buleleng Nyoman Sutrisna, ditemui Rabu pagi kemarin, tidak memungkiri jumlah kramanya yang mamunjung di setra, kini tidak sebanyak dulu lagi. Sebab di era saat ini ada pergeseran budaya dalam pelaksanaan upacara Pitra Yadnya. Krama saat ini cenderung memilih upacara pemakaman anggota keluarganya dengan paket upacara kremasi yang tersedia saat ini. Mulai dari makingsan ring geni, hingga pengabenan dari tingkat nista sampai utama.
“Saat ini makin sedikit orang mamunjung ke setra. Tetapi masih ada, terutama di Banjar Adat Banjar Jawa, mereka masih menjalankan dresta mekingsan ring pertiwi atau dikubur. Mereka baru akan diaben saat ada agenda ngaben dadia itu masih bertahan sampai sekarang. Kalau di banjar adat lainnya paling yang tersisa 2 sampai 3 pusara saja,” kata Sutrisna.
Hal tersebut pun diyakini Sutrisna dapat melestarikan tradisi mamunjung di Buleleng. Tradisi ini, disebutnya, sudah berjalan pada tahun 1835. Krama akan datang membawakan sesajen ke setra mengunjungi anggota keluarganya yang sudah meninggal. Hal ini sebagai ungkapan syukur dan merayakan hari raya bersama. Tradisi ini dilakukan setelah upacara Dewa Yadnya saat hari raya selesai dilakukan. Seperti, persembahyangan di mrajan dadia dan kahyangan tiga.
Krama yang akan memunjung membawa banten punjung. Banten ini menyerupai banten ajengan. Terdiri dari buah-buahan, tumpeng hingga sejumlah lauk pauk. Lauknya pun sangat khas mulai dari ayam goreng, ikan goreng, ikan asin, serundeng yang dicampur kacang merah, tum ayam, hingga jukut rambanan (sayur kacang panjang dan tauge yang diberi saus kuning).
Isi banten punjung juga sangat fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan keluarga masing-masing. Setelah dihaturkan di atas pusara, banten punjung itu akan dilungsur (diminta kembali) untuk dimakan bersama-sama keluarga. Makan bersama dilakukan oleh semua anggota keluarga yang hadir ke setra. “Kalau banten punjung itu tidak cukup dimakan bersama, krama biasanya bawa bekal tambahan lagi dari rumah, kemudian itu disantap bersama di setra di hadapan pusara keluarga,” imbuh mantan Kepala Dinas Pariwisata Buleleng ini.
Guna menjaga tradisi ini tetap ada, Desa Adat Buleleng juga telah mendukung dengan melakukan penataan setra menjadi areal yang asri dan bersih. Sehingga jauh dari kesan seram dan kotor. Hal ini disebut Sutrisna sebagai salah satu bentuk untuk menciptakan kenyamanan mamunjung krama desa saat hari raya. “Secara bertahap kami atur dan tata setra, mulai dari alur jalannya, gumuknya (pusara nya) hingga kebersihan dan tamanisasi. Sehingga krama nyaman ketika datang ke setra,” tuturnya.
Putu Doni Setiawan,43, warga asal Kelurahan Banjar Jawa mengaku rutin mamunjung setiap hari raya besar sejak setahun lalu. Dia dan keluarganya membawakan punjung untuk kakaknya yang baru meninggal setahun lalu. “Setiap hari raya ke setar, Galungan, Kuningan dan Pagerwesi karena sudah tradisi dari dulu begini. Kalau masih ada keluarga yang belum diabenkan wajib dibawakan punjung ke setra,” jelas Doni. *k23
Sejumlah krama desa adat masih setia dengan upacara makingsan ring pertiwi (dikubur). Meskipun saat ini banyak umat Hindu di Bali yang memilih mengkremasi keluarganya saat meninggal dunia. Di tengah gempuran pelaksanaan ritual yang lebih efektif dan efisien, Banjar Adat Banjar Jawa yang bernaung di Desa Adat Buleleng masih melakoni dresta makingsan ring pertiwi.
Masih bertahannya tradisi makingsan ring pertiwi, membuat tradisi mamunjung di Buleleng tetap lestari. Meskipun saat ini jumlah krama yang datang ke setra untuk mamunjung tidak seramai sepuluh tahun sebelumnya.
Kelian Desa Adat Buleleng Nyoman Sutrisna, ditemui Rabu pagi kemarin, tidak memungkiri jumlah kramanya yang mamunjung di setra, kini tidak sebanyak dulu lagi. Sebab di era saat ini ada pergeseran budaya dalam pelaksanaan upacara Pitra Yadnya. Krama saat ini cenderung memilih upacara pemakaman anggota keluarganya dengan paket upacara kremasi yang tersedia saat ini. Mulai dari makingsan ring geni, hingga pengabenan dari tingkat nista sampai utama.
“Saat ini makin sedikit orang mamunjung ke setra. Tetapi masih ada, terutama di Banjar Adat Banjar Jawa, mereka masih menjalankan dresta mekingsan ring pertiwi atau dikubur. Mereka baru akan diaben saat ada agenda ngaben dadia itu masih bertahan sampai sekarang. Kalau di banjar adat lainnya paling yang tersisa 2 sampai 3 pusara saja,” kata Sutrisna.
Hal tersebut pun diyakini Sutrisna dapat melestarikan tradisi mamunjung di Buleleng. Tradisi ini, disebutnya, sudah berjalan pada tahun 1835. Krama akan datang membawakan sesajen ke setra mengunjungi anggota keluarganya yang sudah meninggal. Hal ini sebagai ungkapan syukur dan merayakan hari raya bersama. Tradisi ini dilakukan setelah upacara Dewa Yadnya saat hari raya selesai dilakukan. Seperti, persembahyangan di mrajan dadia dan kahyangan tiga.
Krama yang akan memunjung membawa banten punjung. Banten ini menyerupai banten ajengan. Terdiri dari buah-buahan, tumpeng hingga sejumlah lauk pauk. Lauknya pun sangat khas mulai dari ayam goreng, ikan goreng, ikan asin, serundeng yang dicampur kacang merah, tum ayam, hingga jukut rambanan (sayur kacang panjang dan tauge yang diberi saus kuning).
Isi banten punjung juga sangat fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan keluarga masing-masing. Setelah dihaturkan di atas pusara, banten punjung itu akan dilungsur (diminta kembali) untuk dimakan bersama-sama keluarga. Makan bersama dilakukan oleh semua anggota keluarga yang hadir ke setra. “Kalau banten punjung itu tidak cukup dimakan bersama, krama biasanya bawa bekal tambahan lagi dari rumah, kemudian itu disantap bersama di setra di hadapan pusara keluarga,” imbuh mantan Kepala Dinas Pariwisata Buleleng ini.
Guna menjaga tradisi ini tetap ada, Desa Adat Buleleng juga telah mendukung dengan melakukan penataan setra menjadi areal yang asri dan bersih. Sehingga jauh dari kesan seram dan kotor. Hal ini disebut Sutrisna sebagai salah satu bentuk untuk menciptakan kenyamanan mamunjung krama desa saat hari raya. “Secara bertahap kami atur dan tata setra, mulai dari alur jalannya, gumuknya (pusara nya) hingga kebersihan dan tamanisasi. Sehingga krama nyaman ketika datang ke setra,” tuturnya.
Putu Doni Setiawan,43, warga asal Kelurahan Banjar Jawa mengaku rutin mamunjung setiap hari raya besar sejak setahun lalu. Dia dan keluarganya membawakan punjung untuk kakaknya yang baru meninggal setahun lalu. “Setiap hari raya ke setar, Galungan, Kuningan dan Pagerwesi karena sudah tradisi dari dulu begini. Kalau masih ada keluarga yang belum diabenkan wajib dibawakan punjung ke setra,” jelas Doni. *k23
1
Komentar