Represi Musik Aktivisme di Masa Kini Menurut Rara Sekar
GIANYAR, NusaBali.com – Musisi independen dan aktivis pendidikan Rara Sekar menilai represi musik aktivisme masih terjadi hingga saat ini. Hanya saja, bentuk represinya itu yang berbeda.
Musik aktivisme sudah tidak asing bagi sebagian besar rakyat Indonesia terutama generasi X dan milenial awal yang merasakan cengkeraman orde baru. Musisi senior seperti Iwan Fals merupakan salah satu pelaku musik aktivisme di era itu dengan salah satu lagu ikonisnya bertajuk ‘Bento’ (1989). Selain itu, kritikan soal reformasi yang ia anggap tidak beda jauh dari orde baru lewat lagu ‘Dan Orde Paling Baru’ (2004).
Meskipun belakangan Iwan Fals menyangkal ‘Bento’ ditujukan kepada Keluarga Cendana, nyatanya masyarakat sudah melekat terhadap karya-karya Iwan Fals yang dikaitkan dengan kritik terhadap gaya tangan besi pemerintahan Presiden Suharto.
Di masa reformasi, musik aktivisme berubah dari arus utama berisi kritik politik menjadi kritik sosial, budaya, lingkungan, dan isu-isu terkini. Isu-isu sensitif yang diangkat para musisi aktivis ini sering kali mengalami represi. Khususnya aktivisme politik sudah jelas bahwa paling buruknya sang musisi dipenjara layaknya tahanan politik.
“Bentuk-bentuk represi itu selalu ada. Tapi sekarang bentuk represinya itu tidak serta merta seperti represi yang berkaitan dengan aktivisme politik yang disensor atau tidak boleh naik di radio. Melainkan represi ekonomi,” beber Rara Sekar kepada NusaBali.com belum lama ini dalam sebuah acara di Ubud, Gianyar.
Represi ekonomi ini, lanjut Rara, hadir dalam bentuk pengerdilan ruang berekspresi ataupun pasar dari musik beraktivisme tersebut. Dengan mempersempit ruang aktivisme dalam musik, lambat laun mengimpit para musisi aktivis dan memunculkan pertanyaan soal bisakah mereka bertahan hidup secara finansial dari gaya bermusik semacam itu.
Musisi yang awalnya memiliki idealisme terhadap gaya bermusik mereka itu dari waktu ke waktu akhirnya terkikis dan menggoyahkan aktivisme yang awalnya mereka bawa.
“Ketika kamu memilih jalan hidup untuk menggabungkan aktivisme dengan karyamu, tantangannya lebih besar, bukan cuma dari luar tetapi juga dari dalam diri kita. Seberapa yakin kita mau ada di jalur ini,” tegas Rara yang juga memilih jalan aktivisme lingkungan dalam bermusik lewat proyek solonya bernama Hara.
Lewat Hara ini Rara menjadikan musik sebagai kendaraan aktivismenya soal isu-isu lingkungan. Pasca tur album ‘Kenduri’ ke beberapa kota di Indonesia dan melihat respons pendengar, Rara mengaku aktivisme dalam musik ini dapat membuka ruang diskusi yang intim antara dirinya dan pendengar.
Meskipun terepresi secara ekonomi dan menyentuh sebagian kecil kalangan, ternyata aktivisme musik ini dapat membangun rasa keingintahuan pendengar mengenai isu yang diramu dalam sebuah bait alunan lagu. Rara menyebut aktivisme dalam musik jauh lebih efektif dari pada kata-kata sepintas lalu dalam kolom media sosial. *rat
Komentar