Sineas Bali Perlu Menyadari Kekuatan Sendiri
DENPASAR, NusaBali.com – Dominasi industri perfilman barat menyebabkan banyak sineas lokal menjadikan karakter film barat sebagai tolok ukur. Padahal, sineas lokal ini memiliki kekuatan yang lebih besar namun tidak mereka sadari.
Kondisi ini menjadi salah satu faktor mengapa industri perfilman tanah air khusus di Bali tidak memiliki ciri khas dan terkesan ikut-ikutan.
Menurut Ketua Komisi Film Bali (KFB) I Gusti Made Aryadi, 31, kekuatan sineas tanah air khususnya Bali adalah berbau kedaerahan. Kekuatan ini seharusnya ditonjolkan dalam setiap karya sineas lantaran itulah modal sesungguhnya dalam membentuk jati diri dunia perfilman tanah air.
“Kekuatan film kita itu adalah yang mengangkat tradisi dan budaya,” terang pria yang akrab disapa Gus Ari ini dalam sebuah diskusi mengenai kondisi perfilman Bali oleh KFB serangkaian acara D’Youth Fest di Gedung Dharma Negara Alaya Denpasar, Sabtu (29/10/2022) sore.
Gus Ari menjelaskan bahwa sekalipun tema yang diangkat sangat lumrah misalnya tentang percintaan, untuk menunjukkan kekhasan Bali semestinya dikaitkan dengan kondisi di tanah Pulau Dewata itu sendiri.
Kata pria yang kerap kali didapuk jadi juri festival film ini, tema percintaan tersebut seharusnya dapat ditarik ke ranah tradisi yang dibumbui konflik-konflik drama, misalnya cinta beda kasta. Di samping itu, terdapat pula ritual mapamit bagi mempelai wanita atau bahkan pria yang nyentana ke rumah wanita.
Penyesuaian tema lumrah dengan sesuatu yang memiliki kekhasan ini akan membuat tema yang biasa itu menjadi lebih menarik. Lebih-lebih bagi orang Indonesia yang memiliki adat dan tradisi yang berbeda atau bahkan bagi orang luar yang sedang mempelajari budaya tanah air.
“Tema yang lumrah ini tinggal dikombinasikan dengan benang merah adat dan tradisi yang ada. Tinggal munculkan konflik-konflik budayanya sehingga akhirnya akan ada ‘oh ternyata begini ya di Bali’. Ini akan jadi showcase bagi kebudayaan kita,” tutur Gus Ari.
Di lain sisi, menurut salah satu sineas berbakat Bali, Dendy Darma Satya, 30, yang turut menjadi pembicara di diskusi tersebut, hal yang dijelaskan Gusti tersebut merupakan kekuatan bagi sineas di Bali dan wilayah lain di tanah air. Hanya saja, adat dan tradisi yang sudah sering dilakoni ini jarang disadari sebagai modal dalam berkarya film.
“Kalau berbicara soal CGI (Computer-generated Imagery), di mata produksi, itu memang embel-embel yang dikejar. Kekhasan pemakaian CGI (Amerika Serikat) dan anime (Jepang) ini kan sebenarnya lahir dari budaya urban mereka,” papar Dendy.
Kata Dendy, kekhasan perfilman negara lain seperti CGI dan anime itu merupakan suatu budaya yang diciptakan. Dari yang tidak memiliki budaya seperti itu kemudian direkayasa dan akhirnya mempunyai kebudayaan semacam itu.
Sedangkan Bali dan Indonesia secara umum sudah memiliki kebudayaan warisan leluhur. Putra putri Indonesia adalah generasi yang sangat beruntung lantaran mereka tidak perlu menciptakan budaya baru untuk membuat kekhasan. Kebudayaan yang sudah ada adalah modal yang tinggal digunakan dengan kebanggaan.
“Sedangkan kita sendiri sudah mempunyai modal untuk menciptakan kekhasan itu namun belum disadari oleh banyak orang dan belum dimanfaatkan dengan optimal,” tandas Dendy.
Lebih lanjut, diskusi ini juga menyoroti kelemahan dalam penonjolan kebudayaan tanah air lewat karya film ini disebabkan pula oleh minimnya ruang bagi sineas daerah. Kalau pun ada film nasional yang mengangkat nilai kedaerahan terkadang ada celah maupun kekeliruan dalam penyuguhan keautentikan nilai kedaerahan tersebut. *rat
Komentar