Pemeran Watangan Ngaku Tak Rasakan Hal Aneh, Seperti Tidur, Badan Kaku
Penonton Membeludak Saksikan Calonarang 108 Watangan Pecahkan Rekor MURI di Tabanan
Watangan lambang dari grubug, dengan grubug itulah dilakukan ruwat jagat atau pembersihan. Didatangkan Dewi Durga untuk memberikan anugerah pada tempat yang mengalami grubug.
TABANAN, NusaBali
Pementasan calonarang menampilkan 108 watangan yang digelar di Gedung Kesenian I Ketut Maria Tabanan oleh Yayasan Mandala Suci berlangsung seru pada Redite Wage Landep, Minggu (30/10) malam. Penonton yang penasaran akan penampilan pementasan ini pun membeludak. Banyaknya jumlah watangan tersebut sekaligus memecahkan Rekor MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia). Calonarang sampai memecahkan rekor MURI ini merupakan bagian acara peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2022 yang digagas KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Tabanan.
Sementara sebelum mulai acara sejumlah panitia dan yang akan menjadi watangan berkumpul di areal Padmasana Gedung Kesenian I Ketut Maria untuk mengikuti prosesi mapekeling. Dari pantauan Minggu malam, sisya Yayasan Mandala Suci yang menjadi watangan mengenakan busana serba putih yang membedakan hanya di bagian selendang. Watangan wanita mengenakan selendang warna kuning, dan yang laki-laki mengenakan selendang warna putih. Nampak pula dilengkapi dengan nomor bagian dada kiri.
Salah satu sisya Yayasan Mandala Suci yang berperan menjadi watangan, Ni Kadek Yastini mengaku tidak takut. Selain sudah pernah pentas sebanyak 6 kali menjadi watangan, dia mengaku tidak memiliki rasa waswas ketika akan tampil. "Tidak ada persiapan khusus ketika akan pentas. Intinya kita berserah kepada Ida Sang Hyang Widhi saja agar seluruh proses lancar," ujar ibu 32 tahun ini sebelum acara dimulai.
Menurutnya ketika menjadi watangan dia tidak merasakan hal aneh apapun. Berjalan biasa layaknya tidur, namun bisa mendengarkan suara hanya saja badan tidak bisa digerakkan alias kaku. "Saat menjadi watangan itu, kita bisa mendengar, tapi badan tidak bisa digerakkan, merasa kaku," katanya. Yastini menambahkan dia sendiri sudah bergabung menjadi sisya di Yayasan Mandala Suci sejak 13 tahun yang lalu. Dia pun sudah 6 kali ikut pentas menjadi watangan. Termasuk suaminya pun I Nyoman Sutayasa dalam penampilan 108 watangan malam itu ikut serta. "Anak juga sisya di Mandala Suci, tapi sekarang belum bisa ikut menjadi watangan karena sudah pas 108," terang warga Banjar Candikuning I, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti ini.
Hal senada disampaikan sisya Mandala Suci lainnya, Ni Putu Sintya Dewi yang berusia 12 tahun. Dia mengaku tak merasa takut ketika menjadi watangan. Bahkan perannya dalam penampilan 108 watangan adalah watangan utama. Karena akan dimandikan layaknya memandikan mayat. Dia diarak dari perempatan Catur Muka sebelah Pasar Tabanan. "Saya tidak takut, sudah sering ngayah juga. Kalau awal-awal jadi watangan baru ada rasa grogi, takut tidak," katanya.
Dia menceritakan rasa yang dialami menjadi watangan itu tidak banyak. Sebab menjadi watangan layaknya orang tidur. Hanya merasakan kering kerongkongan dan badan kaku tidak bisa digerakkan. "Seperti orang tidur, dan badan kaku. Tidak pernah merasakan hal-hal aneh," akunya. Pementasan calonarang ini pun tepat dilakukan mulai pukul 22.00 Wita. Dimulai dengan penampilan bebondresan. Calonarang ini mengambil judul ‘Katundung Ratna Manggali’.
Pementasan calonarang disederhanakan hanya berlangsung 1,5 jam. Diceritakan dalam pementasan tersebut terjadi grubug yang menyebabkan masyarakat banyak meninggal. Watangan inilah lambang dari grubug itu. Dengan grubug itulah dilakukan ruwat jagat atau pembersihan. Didatangkan Dewi Durga untuk memberikan anugerah pada tempat yang mengalami grubug.
Sesuai yang dikonsepkan panitia, penampilan watangan ini datang dari empat arah. Yang datang dari empat arah adalah watangan utama. Mereka langsung digotong kemudian dimandikan layaknya memandikan mayat saat upacara kematian. Sisanya lagi 100 watangan datang berbaris kemudian duduk dan langsung rebah. Pada saat itu masing-masing watangan dikerudungkan kajang (kain kasar berisi aksara) dilengkapi dengan kuwangen. Dalam prosesi ini ada proses mengundang orang yang pintar ilmu hitam.
Ketua Panitia Pementasan Calonarang, I Gusti Made Arya Adnyana mengatakan pementasan calonarang dengan menampilkan 108 watangan ini bukan ajang kontes. Namun untuk melestarikan calonarang itu sendiri sekaligus mengundang pemilik ilmu hitam untuk disomia (netralisir). "Lalu mengapa kita tampilkan banyak watangan, karena ini menceritakan grubug banyak meninggal. Lalu kenapa angka 108. Secara disiplin spiritual, angka 1 melambangkan Ida Sang Hyang Widhi Maha Tunggal, kosong adalah pencapaian spiritual tertinggi. Dan angka 8 itu menandakan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa tak pernah putus," bebernya.
Dia menjelaskan mereka yang ikut menjadi watangan ini tidak ada syarat khusus yang harus ditempuh. Namun harus bisa membuka bayu, sabda, dan idep kemudian baru diberikan anugerah memerankan. "Proses ini memang harus ada latihan. Ketika latihan itu dikuasai maka akan mencapai tujuan yang diinginkan. Karena terkenalnya watangan Mandala Suci ini, watangan kaku, pucat, dan berbau," ungkap Arya Adnyana.
Disebutkan, memerankan menjadi watangan ini sebenarnya proses untuk membersihkan diri. Sebab sesuai sastra, mirip dengan proses madwijati (jadi sulinggih) karena ada proses seda raga. "Jadi kita berharap dengan pementasan calonarang ini, seluruh jagat Tabanan khusunya di kota Tabanan kembali nyaman, ajeg, bersih apalagi sebelumnya kita sedang ditimpa bencana alam," tegasnya.
Ditambahkan Pendiri Yayasan Mandala Suci, Ir I Nengah Atmaja dengan pementasan calonarang ini, Yayasan Mandala Suci ikut berperan dalam mengajarkan spiritual. Selain itu untuk memberikan informasi pengobatan spiritual. "Di Yayasan Mandala Suci meskipun tidak bawa uang untuk berobat tidak masalah, asalkan membawa canang dengan didasari hati yang tulus, bisa berobat," katanya. *des
Sementara sebelum mulai acara sejumlah panitia dan yang akan menjadi watangan berkumpul di areal Padmasana Gedung Kesenian I Ketut Maria untuk mengikuti prosesi mapekeling. Dari pantauan Minggu malam, sisya Yayasan Mandala Suci yang menjadi watangan mengenakan busana serba putih yang membedakan hanya di bagian selendang. Watangan wanita mengenakan selendang warna kuning, dan yang laki-laki mengenakan selendang warna putih. Nampak pula dilengkapi dengan nomor bagian dada kiri.
Salah satu sisya Yayasan Mandala Suci yang berperan menjadi watangan, Ni Kadek Yastini mengaku tidak takut. Selain sudah pernah pentas sebanyak 6 kali menjadi watangan, dia mengaku tidak memiliki rasa waswas ketika akan tampil. "Tidak ada persiapan khusus ketika akan pentas. Intinya kita berserah kepada Ida Sang Hyang Widhi saja agar seluruh proses lancar," ujar ibu 32 tahun ini sebelum acara dimulai.
Menurutnya ketika menjadi watangan dia tidak merasakan hal aneh apapun. Berjalan biasa layaknya tidur, namun bisa mendengarkan suara hanya saja badan tidak bisa digerakkan alias kaku. "Saat menjadi watangan itu, kita bisa mendengar, tapi badan tidak bisa digerakkan, merasa kaku," katanya. Yastini menambahkan dia sendiri sudah bergabung menjadi sisya di Yayasan Mandala Suci sejak 13 tahun yang lalu. Dia pun sudah 6 kali ikut pentas menjadi watangan. Termasuk suaminya pun I Nyoman Sutayasa dalam penampilan 108 watangan malam itu ikut serta. "Anak juga sisya di Mandala Suci, tapi sekarang belum bisa ikut menjadi watangan karena sudah pas 108," terang warga Banjar Candikuning I, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti ini.
Hal senada disampaikan sisya Mandala Suci lainnya, Ni Putu Sintya Dewi yang berusia 12 tahun. Dia mengaku tak merasa takut ketika menjadi watangan. Bahkan perannya dalam penampilan 108 watangan adalah watangan utama. Karena akan dimandikan layaknya memandikan mayat. Dia diarak dari perempatan Catur Muka sebelah Pasar Tabanan. "Saya tidak takut, sudah sering ngayah juga. Kalau awal-awal jadi watangan baru ada rasa grogi, takut tidak," katanya.
Dia menceritakan rasa yang dialami menjadi watangan itu tidak banyak. Sebab menjadi watangan layaknya orang tidur. Hanya merasakan kering kerongkongan dan badan kaku tidak bisa digerakkan. "Seperti orang tidur, dan badan kaku. Tidak pernah merasakan hal-hal aneh," akunya. Pementasan calonarang ini pun tepat dilakukan mulai pukul 22.00 Wita. Dimulai dengan penampilan bebondresan. Calonarang ini mengambil judul ‘Katundung Ratna Manggali’.
Pementasan calonarang disederhanakan hanya berlangsung 1,5 jam. Diceritakan dalam pementasan tersebut terjadi grubug yang menyebabkan masyarakat banyak meninggal. Watangan inilah lambang dari grubug itu. Dengan grubug itulah dilakukan ruwat jagat atau pembersihan. Didatangkan Dewi Durga untuk memberikan anugerah pada tempat yang mengalami grubug.
Sesuai yang dikonsepkan panitia, penampilan watangan ini datang dari empat arah. Yang datang dari empat arah adalah watangan utama. Mereka langsung digotong kemudian dimandikan layaknya memandikan mayat saat upacara kematian. Sisanya lagi 100 watangan datang berbaris kemudian duduk dan langsung rebah. Pada saat itu masing-masing watangan dikerudungkan kajang (kain kasar berisi aksara) dilengkapi dengan kuwangen. Dalam prosesi ini ada proses mengundang orang yang pintar ilmu hitam.
Ketua Panitia Pementasan Calonarang, I Gusti Made Arya Adnyana mengatakan pementasan calonarang dengan menampilkan 108 watangan ini bukan ajang kontes. Namun untuk melestarikan calonarang itu sendiri sekaligus mengundang pemilik ilmu hitam untuk disomia (netralisir). "Lalu mengapa kita tampilkan banyak watangan, karena ini menceritakan grubug banyak meninggal. Lalu kenapa angka 108. Secara disiplin spiritual, angka 1 melambangkan Ida Sang Hyang Widhi Maha Tunggal, kosong adalah pencapaian spiritual tertinggi. Dan angka 8 itu menandakan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa tak pernah putus," bebernya.
Dia menjelaskan mereka yang ikut menjadi watangan ini tidak ada syarat khusus yang harus ditempuh. Namun harus bisa membuka bayu, sabda, dan idep kemudian baru diberikan anugerah memerankan. "Proses ini memang harus ada latihan. Ketika latihan itu dikuasai maka akan mencapai tujuan yang diinginkan. Karena terkenalnya watangan Mandala Suci ini, watangan kaku, pucat, dan berbau," ungkap Arya Adnyana.
Disebutkan, memerankan menjadi watangan ini sebenarnya proses untuk membersihkan diri. Sebab sesuai sastra, mirip dengan proses madwijati (jadi sulinggih) karena ada proses seda raga. "Jadi kita berharap dengan pementasan calonarang ini, seluruh jagat Tabanan khusunya di kota Tabanan kembali nyaman, ajeg, bersih apalagi sebelumnya kita sedang ditimpa bencana alam," tegasnya.
Ditambahkan Pendiri Yayasan Mandala Suci, Ir I Nengah Atmaja dengan pementasan calonarang ini, Yayasan Mandala Suci ikut berperan dalam mengajarkan spiritual. Selain itu untuk memberikan informasi pengobatan spiritual. "Di Yayasan Mandala Suci meskipun tidak bawa uang untuk berobat tidak masalah, asalkan membawa canang dengan didasari hati yang tulus, bisa berobat," katanya. *des
Komentar