2 Tempat Ibadah Diusulkan Jadi Cagar Budaya
SINGARAJA, NusaBali
Dinas Kebudayaan (Disbud) Buleleng mengusulkan dua tempat ibadah untuk ditetapkan sebagai cagar budaya.
Dua tempat ibadah yang diusulkan, yakni Pura Sari Abangan di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, dan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Pniel Singaraja di Kelurahan Banjar Jawa, Kecamatan Buleleng.
Usulan itu telah dikirimkan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Bali di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Diharapkan, dua tempat ibadah ini dapat ditetapkan pada tahun 2023. Selain cagar budaya, empat tradisi di Buleleng juga diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng I Nyoman Wisandika mengatakan, pihaknya telah mengecek kedua tempat tersebut dan membuatkan narasi sejarah. Adapun berkas pengusulan itu telah diverifikasi oleh Tim Pendaftar Cagar Budaya untuk diajukan kepada Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi untuk dilakukan pengkajian dan penilaian sebagai cagar budaya. "Usulannya sudah dikirim 25 juli 2022 lalu. Pasti devaluasi oleh tim, kami berharap dua-duanya bisa lolos," ujarnya ditemui Selasa, (1/11) di kantor Disbud Buleleng.
Kata Wisandika, sesuai sumber sejarah, Pura Sari Abangan dibangun sebelum kekuasaan Bali oleh Majapahit pada tahun 1343. Hal ini juga diperkuat dengan temuan dua buah arca sederhana atau arca bercorak megalitikum pada pelinggih Ratu Agung Sesunan di areal pura. "Ini menunjukkan sebuah tempat suci kuna yang sudah ada sebelum pengaruh Majapahit ke Bali," katanya.
Arca tersebut terbuat dari bahan batu padas, warna abu, dengan bentuk sikap duduk dan kedua belah tangan diletakkan diatas paha memilki ciri-ciri kepala bulat tanpa rambut, mata bulat, alis sedang, mulut terbuka lebar, dan perut gendut. Hisan penampilan bagian-bagian arca dengan tinggi sekitar 78 centimeter dan lebar 36 centimeter ini diperkirakan dari masa prasejarah.
Selain itu, di pura tersebut juga terdapat empat gapura dengan motif hias karang goak pada puncaknya. Pada bagian tengah terdapat motif hias burung garuda, patra daun semangka, ornamen topeng bentuk dalem dan penasar, wayang dengan cerita ramayana dan sutasoma. Sedangkan pada bagian bawah ada beberapa cerita tantri yang menceritakan tentang bangau dengan kepiting dan udang.
Berikutnya, di Pura Sari Abangan juga terdapat 3 buah gentong dengan tinggi sekitar 85 centimeter dan diameter 52 centimeter. Dulunya, gentong itu digunakan sebagai tempat menyimpan buah pisang mentah untuk dimatangkan. "Sedangkan gentong saat ini difungsikan sebagai tempat menampung air dalam kebutuhan upacara," beber dia.
"Untuk menjaga kelestarian, para pengempon pura berencana melakukan restorasi terhadap beberapa bangunan. Hal ini untuk mengembalikan bentuk asli salah satu pura kuna di Bali Utara, dan pura ini telah diajukan untuk menajadi cagar budaya. Sebelumnya pura ini sempat mengalami pemugaran yang menghilangkan sejumlah keaslian bangunan dan seni ukiran Bali Utara," ujarnya.
Keunikan lain, pengempon di Pura Sari Abangan jumlahnya ribuan dan tidak hanya diusung oleh warga Desa Bungkulan saja. Tetapi hingga seluruh Bali bahkan ada dari Lombok. Hal ini karena ada ikatan ngerama untuk warga yang menikahi krama Banjar Ancak Sari, Desa Bungkulan. Sehingga krama yang nyungsung ada di mana-mana.
Sementara itu, Gereja GPIB Pniel Singaraja diyakini memiliki nilai sejarah. Karena keberadaannya yang tak lepas dari Kota Singaraja sebagai ibukota Afdeling Bali dan Lombok pada era kolonial Belanda. Kota Singaraja juga jadi ibukota Provinsi Soenda Ketjil serta Provinsi Bali hingga tahun 1960 sebelum dipindahkan ke Kota Denpasar.
Awalnya, gereja ini bernama Nederland Hervormde Kerk dan dibangun sekitar tahun 1963. Mulanya gereja ini diperuntukkan sebagai tempat ibadah orang Belanda di Singaraja. Seiring perkembangan, gedung gereja dipugar karena bertambahnya jemaat dan untuk memperindah lingkungan sekitar. Namun, tidak mengubah bentuk dan model yang lama berciri khas artistektur kolonial.
Warisan arsitektur kolonial pada bangunan gereja GPIB Pniel Singaraja salah satunya bisa ditemukan pada bagian jendela yang berjalusi atau jendela dengan dua daun. Jendela ini kerap digunakan di bangunan-bangunan kolonial di Kota Singaraja. Dengan karakteristik artistektur kolonial Belanda di Singaraja yang umumnya berbentuk tinggi dan lebar.
Selain pengusulan dua tempat ibadah itu, pihak Disbud Buleleng juga berencana mengusulkan Museum Gedong Kirtya sebagai cagar budaya. Namun, pengusulan tidak jadi dilakukan karena terhalang dengan penerjemahan buku sejarah yang ditulis dengan menggunakan aksara Belanda. "Usulan Gedong Kirtya masih ada kendala pada penerjemahan buku terkait sejarahnya. Kami masih mencari penerjemah," katanya.
Selain cagar budaya, empat tradisi di Buleleng juga diusulkan sebagai WBTB. Di antaranya, tradisi Mengarak Sokok di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, tradisi Meamuk-amukan di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, tradisi Sampi Gerumbungan di Desa Temukus, Kecamatan Banjar, dan Gula Desa Pedawa, Kecamatan Banjar.
Pengusulan WBTB, akan dilakukan pada tahun 2023 mendatang ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Berkas usulan telah dikirim ke Kemendibud sejak beberapa bulan yang lalu. "Usulan WBTB ini memang sudah menjadi target kinerja kami setiap tahun. Ini untuk pelestarian agar tradisi tidak punah," tandasnya.*mz
1
Komentar