Bulu Barong dari Burung Gagak, Saat Ngodakin Didatangkan dari Sulawesi
Barong Ket ‘Banaspati’ Duwe Puri Tegaltamu, Desa Batubulan, Sukawati Gianyar
Dahulu bulu burung gagak didapatkan dari Alas Baha, Mengwi, Badung, namun kini burung berwarna hitam itu susah dijumpai di sana, karena populasinya menyusut.
GIANYAR, NusaBali
Barong Ket atau juga disebut 'Barong Banaspati' merupakan salah satu jenis barong di Bali. Bahan untuk bulunya kebanyakan dari perasok, yakni serat sejenis pandan yang disebut punyan atau pohon perasok. Ada juga bahan bulu lain, diantaranya bulu jaran (kuda) dan perasok sintetis. Yang langka adalah barong ket dengan bulu dari bulu goak atau burung gagak. Salah satu barong ket berbulu dari bulu burung goak atau gagak adalah Barong Ket/Banaspati duwe Puri Tegaltamu, Desa Adat Tegaltamu, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar.
Bulu goak barong duwe Puri Tegaltamu didatangkan khusus dari Pulau Sulawesi. Mengapa harus mendatangkan dari Pulau Sulawesi? Hal itu karena di Bali sudah sangat sulit mendapatkan bulu goak, disebabkan goak demikian sangat sulit juga ditemukan. Panglingsir Puri Tegaltamu, I Gusti Ngurah Pertu Agung menuturkan awalnya bulu goak dari barong sesuhunan duwe tersebut diperoleh dari nunas di Alas Baha, Desa/Adat Baha, Mengwi, Badung.
Waktunya lama, puluhan tahun lalu. Ceritanya populasi goak masih terjaga di sana. "Dari penuturan panglingsir dari sanalah (Alas Baha) nunas bulu goak," ungkap Ngurah Pertu Agung, Jumat (28/10) lalu. Jejak pertalian nunas bulu goak di Alas Baha itu masih terwarisi sampai sekarang. Hal itu ditandai dengan katuran lunga, barong sesuhunan duwe Puri Tegaltamu ke Pura Alas Grombong Geni di Desa Adat Baha di kala tertentu seperti upacara patoyan atau pujawali ageng atau napkala, yakni waktu tertentu. "Bersama beberapa barong duwe lain yang nunas bulu goak di Alas Baha," ungkap Ngurah Pertu Agung sambil menyebut beberapa barong bulu goak yang masih ada, di Denpasar, Badung dan Gianyar.
Nah, masalah mencuat ketika panyungsung, Puri Tegaltamu dan masyarakat berencana ngodakin (memperbaiki) barong duwe. Termasuk mengganti sebagian bulu yang sudah lapuk, karena sudah lama dan tua. "Di mana bisa mendapatkan bulu goak?," ucap Ngurah Pertu Agung, dosen yang juga Pamangku Gede Pura Dalem Desa Adat Tegaltamu ini.
Pasalnya di Alas Baha di mana dulu panglingsir nunas bulu goak, tidak lagi ditemukan ada goak. Burung hitam itu susah dijumpai, karena populasinya diperkirakan menyusut drastis. "Mungkin diburu pada zaman Jepang, mengingat area sekitar pernah jadi basecamp tentara Nipon (Jepang)," cerita Ngurah Pertu Agung. Juga beberapa dugaan penyebab yang lain. Karena itu otomatis tidak bisa lagi mendapatkan nunas bulu goak dari Alas Baha.
Di pihak lain panyungsung kukuh ingin mempertahankan 'keaslian' barong duwe itu, karenanya tak berniat menggantikan dengan bahan bulu lain yang lebih gampang diperoleh.
"Kami masih meyakini, bulu goak adalah anugerah terindah yang harus kami lestarikan," kata Ngurah Pertu Agung. Persoalan tersebut akhirnya terjawab dan ada solusinya. Pihak Puri dan panyungsung mendapat kabar bulu goak bisa diperoleh di Sulawesi. Kabar itu diperoleh saat ada warga dari Nyelati (Badung) punya keluarga yang transmigrasi ke Sulawesi. Di kampung warga asal Nyelati yang transmigrasi di Sulawesi itulah masih banyak ditemukan burung gagak.
"Warga itulah kemudian dimintai tolong untuk mencari dan mengumpulkan bulu goak, " ungkap Ngurah Pertu Agung. Tidak cuma-cuma, namun dengan uang pengganti. Dari harga Rp 2.000 per helai sampai Rp 4.500 per helai.
Setelah selama 6 bulan barulah bisa terkumpul 15.000 helai bulu goak. 15.000 bulu itu hanya untuk ngengsub atau mengganti bulu yang sudah lapuk. Sedangkan bulu yang masih kuat tetap dipakai. "Kalau diganti semua butuh dua kali lipat, 30.000 helai, " beber Ngurah Pertu Agung.
Begitu diturunkan dari kapal, bulu goak dari Sulawesi tidak langsung diangkut ke Tegaltamu. Namun dibawa ke Alas Baha untuk atur piuning ke Pura Alas Grombong Geni. Tujuan mohon waranugraha. "Walaupun secara sekala dapat dari Sulawesi, namun secara niskala kami yakin karena pasuecan Ida Bethara di Pura Alas Grombong Geni, " kata Ngurah Pertu Agung.
Barong Ket berbulu bulu burung gagak merupakan salah satu dari 5 barong duwe yang dilinggihkan atau disthanakan di Pamerajan Agung Puri Tegaltamu. Selain barong ket, juga ada Barong Bangkal/Bangkung, Barong Macan dan sepasang barong landung, lanang-istri.
Barong duwe itu merupakan karya dari Ida Pedanda Rsi Agung Tegaltamu (alm), pendeta, pengelingsir yang merupakan kakek dari I Gusti Ngurah Pertu Agung. Barong-barong duwe itu ketangiang (dibuat) tahun 1950-an. Tujuannya mengganti dari barong duwe Puri Tegaltamu terdahulu, karena barong duwe sebelumnya habis terbakar saat masa revolusi fisik di tahun 1940-an.
"Puri ini dibakar NICA, sehingga habis. Termasuk barong sesuhunan juga ikut terbakar," ungkap Ngurah Pertu Agung. Peristiwa itu lanjut, Ngurah Pertu Agung menyebabkan keluarga Puri Tegaltamu sempat mengungsi.
Setelah balik dan membangun kembali puri, maka barong duwe yang sebelumnya sudah habis terbakar ketangiang lagi sekitar tahun 1950-an. Dengan membuat barong duwe yang baru, termasuk barong ket 'banaspati' berbulu bulu burung gagak itu, barong duwe tersebut dilinggihkan pada gedong penyimpenan di sisi barat pelemahan Pemerajan Puri Tegaltamu. *k17
Bulu goak barong duwe Puri Tegaltamu didatangkan khusus dari Pulau Sulawesi. Mengapa harus mendatangkan dari Pulau Sulawesi? Hal itu karena di Bali sudah sangat sulit mendapatkan bulu goak, disebabkan goak demikian sangat sulit juga ditemukan. Panglingsir Puri Tegaltamu, I Gusti Ngurah Pertu Agung menuturkan awalnya bulu goak dari barong sesuhunan duwe tersebut diperoleh dari nunas di Alas Baha, Desa/Adat Baha, Mengwi, Badung.
Waktunya lama, puluhan tahun lalu. Ceritanya populasi goak masih terjaga di sana. "Dari penuturan panglingsir dari sanalah (Alas Baha) nunas bulu goak," ungkap Ngurah Pertu Agung, Jumat (28/10) lalu. Jejak pertalian nunas bulu goak di Alas Baha itu masih terwarisi sampai sekarang. Hal itu ditandai dengan katuran lunga, barong sesuhunan duwe Puri Tegaltamu ke Pura Alas Grombong Geni di Desa Adat Baha di kala tertentu seperti upacara patoyan atau pujawali ageng atau napkala, yakni waktu tertentu. "Bersama beberapa barong duwe lain yang nunas bulu goak di Alas Baha," ungkap Ngurah Pertu Agung sambil menyebut beberapa barong bulu goak yang masih ada, di Denpasar, Badung dan Gianyar.
Nah, masalah mencuat ketika panyungsung, Puri Tegaltamu dan masyarakat berencana ngodakin (memperbaiki) barong duwe. Termasuk mengganti sebagian bulu yang sudah lapuk, karena sudah lama dan tua. "Di mana bisa mendapatkan bulu goak?," ucap Ngurah Pertu Agung, dosen yang juga Pamangku Gede Pura Dalem Desa Adat Tegaltamu ini.
Pasalnya di Alas Baha di mana dulu panglingsir nunas bulu goak, tidak lagi ditemukan ada goak. Burung hitam itu susah dijumpai, karena populasinya diperkirakan menyusut drastis. "Mungkin diburu pada zaman Jepang, mengingat area sekitar pernah jadi basecamp tentara Nipon (Jepang)," cerita Ngurah Pertu Agung. Juga beberapa dugaan penyebab yang lain. Karena itu otomatis tidak bisa lagi mendapatkan nunas bulu goak dari Alas Baha.
Di pihak lain panyungsung kukuh ingin mempertahankan 'keaslian' barong duwe itu, karenanya tak berniat menggantikan dengan bahan bulu lain yang lebih gampang diperoleh.
"Kami masih meyakini, bulu goak adalah anugerah terindah yang harus kami lestarikan," kata Ngurah Pertu Agung. Persoalan tersebut akhirnya terjawab dan ada solusinya. Pihak Puri dan panyungsung mendapat kabar bulu goak bisa diperoleh di Sulawesi. Kabar itu diperoleh saat ada warga dari Nyelati (Badung) punya keluarga yang transmigrasi ke Sulawesi. Di kampung warga asal Nyelati yang transmigrasi di Sulawesi itulah masih banyak ditemukan burung gagak.
"Warga itulah kemudian dimintai tolong untuk mencari dan mengumpulkan bulu goak, " ungkap Ngurah Pertu Agung. Tidak cuma-cuma, namun dengan uang pengganti. Dari harga Rp 2.000 per helai sampai Rp 4.500 per helai.
Setelah selama 6 bulan barulah bisa terkumpul 15.000 helai bulu goak. 15.000 bulu itu hanya untuk ngengsub atau mengganti bulu yang sudah lapuk. Sedangkan bulu yang masih kuat tetap dipakai. "Kalau diganti semua butuh dua kali lipat, 30.000 helai, " beber Ngurah Pertu Agung.
Begitu diturunkan dari kapal, bulu goak dari Sulawesi tidak langsung diangkut ke Tegaltamu. Namun dibawa ke Alas Baha untuk atur piuning ke Pura Alas Grombong Geni. Tujuan mohon waranugraha. "Walaupun secara sekala dapat dari Sulawesi, namun secara niskala kami yakin karena pasuecan Ida Bethara di Pura Alas Grombong Geni, " kata Ngurah Pertu Agung.
Barong Ket berbulu bulu burung gagak merupakan salah satu dari 5 barong duwe yang dilinggihkan atau disthanakan di Pamerajan Agung Puri Tegaltamu. Selain barong ket, juga ada Barong Bangkal/Bangkung, Barong Macan dan sepasang barong landung, lanang-istri.
Barong duwe itu merupakan karya dari Ida Pedanda Rsi Agung Tegaltamu (alm), pendeta, pengelingsir yang merupakan kakek dari I Gusti Ngurah Pertu Agung. Barong-barong duwe itu ketangiang (dibuat) tahun 1950-an. Tujuannya mengganti dari barong duwe Puri Tegaltamu terdahulu, karena barong duwe sebelumnya habis terbakar saat masa revolusi fisik di tahun 1940-an.
"Puri ini dibakar NICA, sehingga habis. Termasuk barong sesuhunan juga ikut terbakar," ungkap Ngurah Pertu Agung. Peristiwa itu lanjut, Ngurah Pertu Agung menyebabkan keluarga Puri Tegaltamu sempat mengungsi.
Setelah balik dan membangun kembali puri, maka barong duwe yang sebelumnya sudah habis terbakar ketangiang lagi sekitar tahun 1950-an. Dengan membuat barong duwe yang baru, termasuk barong ket 'banaspati' berbulu bulu burung gagak itu, barong duwe tersebut dilinggihkan pada gedong penyimpenan di sisi barat pelemahan Pemerajan Puri Tegaltamu. *k17
Komentar