Teknisi Servis TV Tetap Bertahan di Tengah Impitan Zaman
Perkembangan Teknologi TV dan Kualitas Spare Parts Jadi Tantangan
MANGUPURA, NusaBali.com – Teknisi servis televisi sempat mencicipi masa kejayaan di era tahun 1970-an ketika TV analog jadi hegemoni siaran publik. Kini, zaman telah berubah siaran publik beralih ke genggaman tangan. Di tengah impitan zaman ini, beberapa teknisi servis TV masih bertahan.
Satu di antara sedikit teknisi servis televisi yang masih bertahan adalah Wayan Sudarsana, 51, yang sudah 30 tahun berkecimpung di dunia teknisi teknologi yang ditemukan oleh John Logie Baird ini.
Dengan usaha Pentanik Service yang ia rintis pada tahun 2007 silam, pria asal Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Badung ini tahu betul naik-turun dunia televisi.
Mengawali karier sebagai teknisi servis di dealer elektronik Akari pada tahun 1990, ilmu teknisi dan pelayanan konsumen yang telah ia pelajari kemudian dialihkan ke bisnis pribadinya setelah memutuskan berhenti dari perusahaan tersebut.
“Saya mulai bisnis servis elektronik itu 15 tahun lalu, sewa tempat di Jalan Nangka Selatan. Sebelum pandemi memutuskan pindah ke rumah (sebelah barat pertigaan Darmasaba),” kata pria jebolan SMKN 1 Denpasar ini ketika dijumpai di tokonya, Rabu (2/11/2022) sore.
Selama menjadi teknisi servis barang elektronik, khususnya televisi banyak perubahan pada setiap generasi televisi yang Sudarsana rasakan.
Menurut guru praktisi undangan di SMKN 1 Denpasar ini, dulu pada era tahun 1990-an awal, dengan teknologi televisi yang masih berteknologi analog, banyak prosedur manual menggunakan peralatan dibutuhkan untuk melakukan perbaikan.
Ketika teknologi televisi bergeser ke penggunaan IC (Integrated Circuit), perbaikan minor seperti warna, kejernihan, dan suara dapat dilakukan tanpa harus membuka lambung televisi. Perbaikan minor tersebut dapat dilakukan hanya dengan remote untuk menyesuaikan pengaturan televisi.
“Dulu kebanyakan apa-apa itu harus dibuka dan diatur pakai peralatan manual seperti obeng dan lain-lain. Setelah ada IC itu, cukup lewat remote saja sudah bisa disesuaikan, misalnya warna dan pengaturan lainnya,” tutur Sudarsana.
Dikarenakan Sudarsana masih menjaga jaringan yang ia bangun ketika masih bekerja di Akari, pembaruan informasi teknologi televisi masih cukup bisa ayah dua anak ini kejar. Namun, ia juga masih waswas lantaran teknologi saat ini berkembang pesat dan pada suatu masa Sudarsana merasa dirinya bakal tertinggal jauh.
Sejauh ini baru televisi tabung dan LED saja yang ia terima dari konsumen. Masing-masing 40 persen dan 60 persen dari total televisi yang sedang diperbaiki. Di lain sisi, teknologi televisi LED terbilang sudah cukup usang dengan adanya televisi digital dan versi pengembangannya yakni smart TV. Lebih-lebih, televisi jenis ini kebanyakan untuk servis dilakukan langsung oleh service center masing-masing.
“Kalau TV LED, konsumen itu juga berpikir dua kali untuk memperbaiki karena harga misalnya layarnya itu Rp 1,8 juta sedangkan harga yang baru, Rp 2 juta itu sudah ada,” ucap Sudarsana pasrah melihat televisi LED yang ditinggal begitu saja oleh konsumen menumpuk di tokonya.
Sudarsana sendiri memprediksi, pesatnya perkembangan teknologi televisi ini akan jadi faktor kuat ‘kematian’ para teknisi servis televisi di pinggir jalan seperti dirinya.
Di samping itu, persaingan antarteknisi pun sering terjadi dan tidak jarang merusak harga. Situasi ini pun dikatakan bisa jadi faktor bunuh diri kalangan teknisi.
Belum selesai tantangan perkembangan teknologi televisi, tantangan lainnya adalah masalah kelangkaan spare parts televisi tabung akibat produksi yang sudah diskontinyu. Kalaupun ada kualitasnya sangat buruk.
Menurut Sudarsana, kualitas spare parts saat ini sudah jauh menurun dibandingkan di masa lalu. Penurunan kualitas ini bisa diakibatkan oleh persaingan pasar dan kompetisi harga. Kualitas spare parts yang buruk ini hanya dapat dipakai dalam hitungan minggu dan bulan.
Permasalahan dari kualitas spare parts yang buruk ini bukan saja kerugian bagi konsumen melainkan kerugian jangka panjang bagi teknisi servis. Sebab, ada kompensasi yang harus dikeluarkan kepada konsumen semisalnya gratis tenaga perbaikan. Kemungkinan terburuk dari permasalahan ini adalah kepercayaan konsumen yang terkikis.
Meskipun ada rasa waswas mengenai keberlangsungan bisnis servis televisi, Sudarsana mengaku masih akan tetap menggeluti usaha ini. Dirinya beralasan, keteknisian elektronik dalam bidang televisi ini merupakan bidang keahliannya yang ingin tetap ia lestarikan.
“Walaupun situasinya seperti ini, pekerjaan ini tidak mungkin saya tinggalkan karena basic saya memang di sini. Meskipun di usia 50-an ini memang kebanyakan teknisi akan jenuh dan capai untuk jalan terus,” tandas Sudarsana. *rat
1
Komentar