3 Tokoh Buleleng Diajukan Pahlawan Nasional
Tiga pejuang yang diajukan sebagai pahlawan nasional adalah Letkol I Gusti Putu Wisnu, Mayor I Nengah Metra, Kapten I Gede Muka Pandan
Buat Ikuti Jejak Mr I Goesti Ketut Pudja
SINGARAJA, NusaBali
Setelah Mr I Goesti Ketut Pudja dikukuhkan menjadi pahlawan nasional, 8 November 2011 lalu, kini kembali tiga tokoh pejuang asal Buleleng lainnya diusulkan dapat gelar serupa. Mereka masing-masing Mayor I Nengah Metra (yang namanya telah diabadikan menjadi GOR Mayor Metra Singaraja), Letkol I Gusti Putu Wisnu (telah diabadikan menjadi Lapangan Terbang Letkol Wisnu di Desa Sumberkima, Kecamatan Ge-rokgak, Buleleng), dan Kapten I Gede Muka Pandan (telah diabadikan jadi nama Jalan Kapten Muka).
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, Gede Komang, mengatakan pengajuan nama ketiga tokoh ini untuk menjadi pahlawan nasional kini sudah dalam proses pengumpulan data untuk memenuhi persyaratan-persyaratan. Termasuk di dalamnya datang tentang namanya yang sudah digunakan sebagai nama jalan, biodata masing-masing tokoh, hingga perjalanan sejarahnya yang harus ditulis sangat lengkap.
Pengumpulan data-data tersebut harus dicari melalui keluarga dan penerus pahlawan yang bersangkutan. Yang pasti, kata Geder Komang, berdasarkan sejarahnya, trio Letkol Wisnu-Mayor Metra-Kapten Muka sangat berperan dalam perjuangan mempertahankan Buleleng dari penjajahan tentara Jepang.
“Dalam pengumpulan data saat ini, kami masih terkendala untuk menemukan keluarga sang tokoh, seperti Kapten Muka dan Letkol Wisnu. Sampai saat ini kami belum tahui pasti keluarga Kapten Muka dan Letkol Wisnu sekarang ada di mana? Sedangkan untuk keluarga Mayor Metra, sudah kami temui,” ujar Gede Komang di Singaraja, Jumat (5/5).
Gede Komang menyebutkan, pengajuan nama Letkol Wisnu, Mayor Metra, dan Kapten Muka sebagai pahlawan nasional nantinya akan diajukan ke Kementerian Sosial (Kemensos). Jika sudah mendapat persetujuan, tiga pahlawan dapat dikenang di Monumen Tri Yuda Sakti, yang berlokasi di Lingkungan Bantang Banua, Kelurahan/Kecamatan Sukasada, Buleleng. Bisa juga dikenang melalui Monumen Ayodya Pura di Banjar Pelagan Gintungan, Desa Selat, Kecamatan Sukasada khusus untuk mengenang jasa Mayor Metra.
Letkol Wisnu sendiri merupakan putra dari I Gusti Nyoman Oka. Letkol Wisnu dilahirkan di kawasan Kelungkung tahun 1919. Kemudian, Letkol Wisnu masuk ‘Sekolah Dasar’ Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Klungkung tahun 1926. Setelah lulus HIS pada 1933, Letkol Wisnu melanjutkan sekolah tingkat SMP ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Malang.
Pada zaman pendudukan Jepang, Letkol Wisnu mengikuti pendidikan militer PETA di Ring Sai Tai Singaraja. Setelah lulus, Letkol Wisnu diangkat menjadi Cudanco (Kapten Jepang). Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Letkol Wisnu diangkat menjadi Komandan Batalion I Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil yang dibentuk Letkol I Gusti Ngurah Rai (pahlawan nasional asal Puri Carangsari, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung).
Bersama I Gusti Ngurah Rai dan seluruh pasukan pejuang ‘Ciung Wanara’, Letkol Wisnu ikut mempertahankan bumi pertiwi Indonesia tercinta dalam perang di kebun jagung Margarana, Kecamatan Marga, Tabanan sampai titik darah penghabisan---yang dikenal sebagai Puputan Margarana. Letkol Wisnu dinyatakan gugur sebagai Pahlawan Kemerdekaan tanggal 20 Nopember 1946.
Sedangkan Mayor Metra lahir di Kelurahan Beratan, Singaraja, Buleleng, 5 Mei 1902. Setelah menanamatkan pendidikan HIS di Purworejo (Jawa Tengah), Mayor metra diangakat menjadi guru HIS Singaraja tahun 1925. Selain itu, Mayor Metra juga sebagai anggota Partai Indonesia Raya (Parindra) di Singaraja dan menjabat Ketua Perkumpulan Soerjakanta.
Pada tahun 1934, Mayor Metra kembali terpilih menjadi ‘Lid Volksraad’ (Kepala Perwakilan Rakyat) untuk menggantikan Tjokorda Raka Sukawati di Jakarta. Tapi, karena ada ketidaksetujuan dari Anak Agung Putu Djelantik, maka pencalonan Mayor Metra dibatalkan. Pada 1935, Mayor Metra dipindahkan ke Mataram (Lombok) untuk menjadi Kepala Sekolah HIS.
Tahun 1937, Mayor Metra bersama kawan-kawannya membantu sebuah perkumpulan bernama ‘CLUBHUIS EKATJITA’ di Mataram yang memiliki semboyan ‘Bersatu Tujuan ke Arah Ketinggian Martabat Bangsa’. Kemudian, Mayor Metra gugur dalam medan pertempuran di Banjar Gintungan, Desa Selat, Kecamatan Sukasada, 5 Mei 1946. Mayor Metra saat itu gugur bersama lima pejuang lainnya: I Ketut Nada, I Nengah Sada, Wayan Dista, I Made Kertadana, dan I Putu Sedana. Merela kemudian dikenang dengan dibangunnya Monumen Ayodya Pura oleh keluarga Mayor Metra.
Pihak keluarga Mayor Metra telah menghibahkan areal Monumen Ayodya Pura seluas 6 are di Desa Selat tersebut untuk dikelola Pemkab Buleleng sejak tahun 2016. Hal ini juga diakui Gede Komang. “Tahun ini baru bisa kita lakukan penataan, seperti penyertifikatan tanah seluas 6 are, termasuk pemagaran, dan rencana untuk dijadikan destinasi wisata spiritual,” kata Gede Komang.
Sementara itu, I Gede Muka Pandan yang dikenal sebagai Kapten Muka dilahirkan di Singaraja tahun 1923. Dia masuk PETA dalam Kesatuan Militer Jepang di Banyumala, Singaraja. Setelah lulus PETA, Kapten Muka diangkat menjadi Chudancho di Jembrana. Di sana, dia mengadakan gerakan bawah tanah bersama para pejuang seperti I Gusti Ngurah Rai, Wijaya Kusuma, Kapten Sugianyar, dan lainnya. Pada 31 Agustus 1945, Kapten Muka menjadi anggota Badan Keaman Rakyat (BKR)---kini TNI---bersama Mayor I Made Putu, Kapten I Dewa Made Suwija, dan Anang Ramli.
Kapten Muka juga ikut melatih para pejuang kemerdekaan yang bermarkas di Asrama Nagio (Pertanian) Beratan, Singaraja. Dia ikut memimpin pertemuan dalam peristiwa ‘Penurunan Bendera Belanda’ di Pelabuhan Buleleng di Singaraja, 27 Oktober 1945. Kapten Muka juga tercatat ikut dalam penyerangan tentara Jepang di Tangsi Banyumala, 31 Desember 1945. Kapten Muka akhirnya gugur dalam pertempuran tak seimbang melawan tentara NICA di Lorong Melati, Kelurahan Ban-jar Jawa, Singaraja, 3 April 1946. Lorong Melati kini diabadikan menjadi nama Jalan Kapten Muka.
Jika nanti trio Letkol Wisnu-Mayor Metra-Kapten Muka dikabulkan pemerintah pusat menjadi pahlawan nasional, maka akan menambah daftar tokoh asal Buleleng yang bergelar pahlawan nasional. Sebelunya, Mr I Goesti Ketut Pudja sudah lebih dulu dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, 8 November 2011 lalu.
Mr Pudja merupakan pahlawan asal Desa Sukasada, Kecamatan Sukasada, Buleleng, kelahiran 19 Mei 1908, anak dari pasanhgan I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna Kusuma. Mr Pudja yang mantan Gubernur Sunda Kecil, merupakan satu dari lima pahlawan nasional asal Bali saat ini. Sedangkan empat pahlawan nasional asal Bali lainnya masing-masing Kolonel TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai (asal Puri Carangsari, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung), I Gusti Ketut Jelantik (asal Karangasem), Dr Anak Agung Gede Agung (asal Puri Agung Gianyar), I Gusti Ngurah Made Agung (Raja Badung VII 1902-1906 asal Puri Denpasar)---yang baru dikukuhkan 4 November 2015.
Mr Pudja punya andil besar dalam merintis dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dialah tokoh moderat yang diyakini sebagai pencetus sila pertama dalam Pancasila (Dasar Negara Republik Indonesia), yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Hal ini terkait dengan penyusunan Mukadimah UUD 1945 dalam sidang PPKI, di mana Mr Pudja memberikan jalan tengah. * k23
Komentar