Picu Kerusakan Ekosistem, 80 Persen Kebocoran Sampah dari Darat
Petaka Sampah Kiriman yang Menghantam Kawasan Pesisir, Termasuk di Pantai Kuta
Polusi sampah laut ini mulai dirasakan dampaknya terhadap kesehatan ekosistem dan lingkungan, pariwisata, perikanan dan tak kalah pentingnya kesehatan manusia.
MANGUPURA, NusaBali
Sampah kiriman yang kerap muncul di sejumlah pesisir termasuk di Pantai Kuta, Badung ternyata dipicu adanya kebocoran sampah dari darat. Hal ini dikarenakan kurangnya optimalisasi pengumpulan sampah di tengah masyarakat, sehingga saat musim hujan tiba sampah terbawa melalui sungai dan berakhir di lautan. Kondisi ini pun menjadi sorotan dari berbagai instansi, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Sebab sampah lautan ini merusak ekosistem lingkungan, kesehatan hingga citra pariwisata.
Asisten Pengelolaan Sampah dan Limbah Kemenko Marves, Rofi Alhanif mengungkapkan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan potensi sumberdaya hayati dan non hayati terbesar pula. Dengan status negara kepulauan terbesar, maka laut menjadi tulang punggung perekonomian ke depannya. Namun, seiring dengan perkembangan saat ini, isu sampah laut menjadi perhatian serius.
Pasalnya, polusi sampah laut ini mulai dirasakan dampaknya terhadap kesehatan ekosistem dan lingkungan, pariwisata, perikanan dan tak kalah pentingnya kesehatan manusia. "Dari sejumlah riset, bahwa kalau tidak ditangani mulai sekarang, sampah plastik di lautan pada tahun 2050 bisa lebih banyak dibandingkan ikan. Maka dari itu, isu sampah laut ini harus menjadi perhatian bersama ke depannya," ujar Rofi Alhanif dalam media breafing di Sunset Road, Kecamatan Kuta, Badung, Rabu (2/11). Dalam rangka persiapan penyelenggaraan KTT G20 Tahun 2022 di Indonesia, Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi bersama dengan World Resource Institute Indonesia akan mengadakan Road G20: ‘Beating Plastic Pollution from Source to Sea’, Kamis (3/11).
Masih menurut Rofi Alhanif, dari data yang dimiliki jika kebocoran sampah ke laut di seluruh Indonesia termasuk Pulau Dewata, 80 persennya berasal dari darat. Sampah-sampah ini terbawa melalui sungai ketika hujan dan berakhir di laut. Maka dari itu, perlu dilakukan optimalisasi pengumpulan sampah di tengah masyarakat serta perlu dilakukan penanganan sampah dari hulu ke hilir dengan pendekatan ekonomi yang terintegrasi. Selain itu, berbagai kementerian dan lembaga saat ini sedang memfokuskan pengelolaan sampah di lokasi prioritas melalui pembangunan infrastruktur dan teknologi yang tepat.
"Sebagai contohnya di Bali adalah TPA Suwung. Saat ini, salah satu langkahnya dengan pengurangan pembuangan ke TPA tersebut dan memanfaatkan TPS-3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle atau mengurangi-menggunakan-daur ulang) di beberapa wilayah termasuk di Kabupaten Badung," katanya. Rofi Alhanif menambahkan dari data yang dimiliki pembuangan sampah ke TPA Suwung itu mencapai 1.200 ton per hari. Penyumbang sampah ke TPA itu adalah Kota Denpasar 900 ton per hari dan Kabupaten Badung 300 ton per hari.
Dengan kondisi seperti itu, mau tidak mau harus segera menutup TPA itu agar pengolahan sampah lebih optimal lagi di tingkat wilayah, termasuk membangun TPS3R. Maka, saat ini untuk wilayah Badung sudah ada 2 TPS3R yang dibangun, yakni di Jimbaran dan Mengwi. "Dengan adanya pengolahan di tingkat wilayah ini, maka menutup kemungkinan adanya penempatan sampah sembarangan. Maka, potensi sampah terbawa ke sungai dan berakhir di lautan saat musim hujan juga berkurang," terangnya. Dengan adanya pengolahan terintegrasi ini, bisa mengurangi semua sampah di darat yang berakhir di laut.
Meski demikian, dia juga tidak menampik kalau sampah yang ada di laut itu bisa saja berasal dari wilayah bahkan negara lainnya. Namun, upaya penanganan dari masing-masing wilayah, termasuk Bali ini sangat diperlukan untuk meminimalisir kondisi tersebut. "Perlu didorong melalui pendekatan blue economy, dengan tetap menyeimbangkan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial ke depannya," pungkasnya. *dar
Asisten Pengelolaan Sampah dan Limbah Kemenko Marves, Rofi Alhanif mengungkapkan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan potensi sumberdaya hayati dan non hayati terbesar pula. Dengan status negara kepulauan terbesar, maka laut menjadi tulang punggung perekonomian ke depannya. Namun, seiring dengan perkembangan saat ini, isu sampah laut menjadi perhatian serius.
Pasalnya, polusi sampah laut ini mulai dirasakan dampaknya terhadap kesehatan ekosistem dan lingkungan, pariwisata, perikanan dan tak kalah pentingnya kesehatan manusia. "Dari sejumlah riset, bahwa kalau tidak ditangani mulai sekarang, sampah plastik di lautan pada tahun 2050 bisa lebih banyak dibandingkan ikan. Maka dari itu, isu sampah laut ini harus menjadi perhatian bersama ke depannya," ujar Rofi Alhanif dalam media breafing di Sunset Road, Kecamatan Kuta, Badung, Rabu (2/11). Dalam rangka persiapan penyelenggaraan KTT G20 Tahun 2022 di Indonesia, Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi bersama dengan World Resource Institute Indonesia akan mengadakan Road G20: ‘Beating Plastic Pollution from Source to Sea’, Kamis (3/11).
Masih menurut Rofi Alhanif, dari data yang dimiliki jika kebocoran sampah ke laut di seluruh Indonesia termasuk Pulau Dewata, 80 persennya berasal dari darat. Sampah-sampah ini terbawa melalui sungai ketika hujan dan berakhir di laut. Maka dari itu, perlu dilakukan optimalisasi pengumpulan sampah di tengah masyarakat serta perlu dilakukan penanganan sampah dari hulu ke hilir dengan pendekatan ekonomi yang terintegrasi. Selain itu, berbagai kementerian dan lembaga saat ini sedang memfokuskan pengelolaan sampah di lokasi prioritas melalui pembangunan infrastruktur dan teknologi yang tepat.
"Sebagai contohnya di Bali adalah TPA Suwung. Saat ini, salah satu langkahnya dengan pengurangan pembuangan ke TPA tersebut dan memanfaatkan TPS-3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle atau mengurangi-menggunakan-daur ulang) di beberapa wilayah termasuk di Kabupaten Badung," katanya. Rofi Alhanif menambahkan dari data yang dimiliki pembuangan sampah ke TPA Suwung itu mencapai 1.200 ton per hari. Penyumbang sampah ke TPA itu adalah Kota Denpasar 900 ton per hari dan Kabupaten Badung 300 ton per hari.
Dengan kondisi seperti itu, mau tidak mau harus segera menutup TPA itu agar pengolahan sampah lebih optimal lagi di tingkat wilayah, termasuk membangun TPS3R. Maka, saat ini untuk wilayah Badung sudah ada 2 TPS3R yang dibangun, yakni di Jimbaran dan Mengwi. "Dengan adanya pengolahan di tingkat wilayah ini, maka menutup kemungkinan adanya penempatan sampah sembarangan. Maka, potensi sampah terbawa ke sungai dan berakhir di lautan saat musim hujan juga berkurang," terangnya. Dengan adanya pengolahan terintegrasi ini, bisa mengurangi semua sampah di darat yang berakhir di laut.
Meski demikian, dia juga tidak menampik kalau sampah yang ada di laut itu bisa saja berasal dari wilayah bahkan negara lainnya. Namun, upaya penanganan dari masing-masing wilayah, termasuk Bali ini sangat diperlukan untuk meminimalisir kondisi tersebut. "Perlu didorong melalui pendekatan blue economy, dengan tetap menyeimbangkan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial ke depannya," pungkasnya. *dar
Komentar