Dokter Salah Obat ‘Dilarang’ Sementara Terlibat Layani Pasien
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Buleleng gerah dengan prahara di Puskesmas Buleleng III, di mana pasien sakit mata diberi obat tetes telinga.
SINGARAJA, NusaBali
IDI pun merekomendasikan dokter salah obat di Puskesmas Buleleng III, dr Gede Sudimartana, untuk dilarang sementara melakukan pelayanan dan bersentuhan langsung kepada pasien.
Ketua IDI Buleleng, dr Putu Sudarsana SpOG, menyatakan rekomendasi untuk melarang sementara dokter salah obat melayani pasien dilakukan setelah berdiskusi dengan Kepala Puskesmas Buleleng III, dr Dewa Merta Suteja. Selain itu, pihaknya juga sudah berdiskusi dengan dr Sudimartana. Bahkan, kata dr Sudarsana, pihaknya juga sudah sempat melakukan investigasi terkait kasus yang mencuat terkait pelayanan pasien.
Menurut dr Sudarsana, kasus kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien di Puskesmas Buleleng III ini terjadi karena memang miskomunikasi antara dokter dengan petugas apotek, juga miskomunikasi antara dokter dengan pasien sakit mata, I Ketut Yasa, 58, asal Kelurahan Penarukan, Kecamatan Buleleng.
Menurut Sudarsana, saat menerima pasien Ketut Yasa pertama kali, dr Sudimartana memang sudah menulis resep yang benar yakni obat tetes mata. Tapi, setelah sampai di apotek yang saat itu kebetulan dijaga bidan desa yang diperbantukan, obat yang keluar malah obat tetes telinga. Padahal, pasien Ketut Yasa mengalami peradangan mata.
Namun, saat pasien Ketut Yasa datang untuk kedua kalinya dan langsung diterima oleh dr Sudimartana, justru kembali terjadi miskomunikasi antara dokter dan pasiennya. Walhasil, terjadi kesalahan lagi dalam pemberian obat. Pasien Ketut Yasa lagi-lagi diberi obat tetes telinga. “Memang ada komunikasi yang kurang bagus antara dokter dan pasien,” ujar Sudarsana saat dikonfirmasi NusaBali di Singaraja, Jumat (5/5) sore.
Ditanya soal track record dr Sudimartana selama bekerja sebagai pelayan kesehatan masyarakat, menurut Sudarsana, yang bersangkutan sudah 5 tahun bertugas di Puskesmas Buleleng III. Sebelumnya, dokter salah obat ini bertugas di Puskesmas Sawan II di Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Buleleng.
Dari catatan evaluasi asosiasi profosi tersebut, dr Sudimartana juga sempat mengalami kasus miskomunikasi yang seolah-olah tidak memuaskan pasien di tempat tugas sebelumnya. Kala itu, dokter ini bahkan didemo masyarakat.
Kini, dr Sudimartana malah salah obat di Puskesmas Buleleng III, sehingga IDI merekomendasikan untuk melarang sementara tangani pasien. “Kami sudah sempat berdiskusi bertiga (dengan Kepala Puskesmas Buleleng III dan dr Sudimartana, Red). Kita sarankan untuk sementara dokter bersangkutan tidak dilibatkan dulu dalam pelayanan pasien secara langsung,” ujar Sudarsana.
Namun, lanjut Sudarsana, kewenangan untuk menonaktifkan dokter salah obat ada di Dinas Kesehatan Buleleng dan Pukesmas Buleleng III. Pihaknya segera akan kirim surat rekoemndasi resmi tersebut kepada dinas terkait, paling lambat Senin (8/5) depan.
Sementara itu, salah seorang pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Made Wartana, menilai kasus salah obat kepada pasien sangatlah fatal. Pasalnya, obat tersebut adalah racun jika tidak diberikan oleh orang yang benar-benar kompeten di bidangnya yakni apoteker. Hal tersebut diatur dalam PP 51 Tahun 2009 dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 108, yang menjelaskan ‘pekerjaan kefarmasian di puskesmas, klinik, rumah skait, apotek, wajib dilakukan oleh apoteker’.
Wartana mengingatkan pemerintah daerah jangan menyepelekan peraturan dan perundang-undangan tersebut. Apalagi, dalam kasus di Puskesmas Buleleng III, disebutkan bahwa yang memberikan obat kepada pasien bukan petugas kefarmsian atau apoteker. “Kami mohon kepada pemerintah daerah untuk mengindahkan peraturan dan Undang-undang Kesehatan, supaya kasus serupa tidak terulang. Jadi, apoteker itu memang harus ada di setiap tempat pelayanan kesehatan,” tandas Wartana saat dikonfirmasi NusaBali per telepon, Jumat kemarin.
Di sisi lain, Wakil Bupati Buleleng dr Nyoman Sutjidra SpOG mengakui bahwa di daerahnya masih banyak kekurangan apoteker. Kekuranag tersebut karena rendahnya minat tamatan apoteker untuk bekerja di pemerintahan. “Kendalanya, pelamar dan peminatnya sangat susah. Sebab, kebanyakan apoteker sudah punya apotek,” jelas Wakil Bupati yang juga dokter spesialis kandungan ini, Jumat kemarin. * k23
Ketua IDI Buleleng, dr Putu Sudarsana SpOG, menyatakan rekomendasi untuk melarang sementara dokter salah obat melayani pasien dilakukan setelah berdiskusi dengan Kepala Puskesmas Buleleng III, dr Dewa Merta Suteja. Selain itu, pihaknya juga sudah berdiskusi dengan dr Sudimartana. Bahkan, kata dr Sudarsana, pihaknya juga sudah sempat melakukan investigasi terkait kasus yang mencuat terkait pelayanan pasien.
Menurut dr Sudarsana, kasus kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien di Puskesmas Buleleng III ini terjadi karena memang miskomunikasi antara dokter dengan petugas apotek, juga miskomunikasi antara dokter dengan pasien sakit mata, I Ketut Yasa, 58, asal Kelurahan Penarukan, Kecamatan Buleleng.
Menurut Sudarsana, saat menerima pasien Ketut Yasa pertama kali, dr Sudimartana memang sudah menulis resep yang benar yakni obat tetes mata. Tapi, setelah sampai di apotek yang saat itu kebetulan dijaga bidan desa yang diperbantukan, obat yang keluar malah obat tetes telinga. Padahal, pasien Ketut Yasa mengalami peradangan mata.
Namun, saat pasien Ketut Yasa datang untuk kedua kalinya dan langsung diterima oleh dr Sudimartana, justru kembali terjadi miskomunikasi antara dokter dan pasiennya. Walhasil, terjadi kesalahan lagi dalam pemberian obat. Pasien Ketut Yasa lagi-lagi diberi obat tetes telinga. “Memang ada komunikasi yang kurang bagus antara dokter dan pasien,” ujar Sudarsana saat dikonfirmasi NusaBali di Singaraja, Jumat (5/5) sore.
Ditanya soal track record dr Sudimartana selama bekerja sebagai pelayan kesehatan masyarakat, menurut Sudarsana, yang bersangkutan sudah 5 tahun bertugas di Puskesmas Buleleng III. Sebelumnya, dokter salah obat ini bertugas di Puskesmas Sawan II di Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Buleleng.
Dari catatan evaluasi asosiasi profosi tersebut, dr Sudimartana juga sempat mengalami kasus miskomunikasi yang seolah-olah tidak memuaskan pasien di tempat tugas sebelumnya. Kala itu, dokter ini bahkan didemo masyarakat.
Kini, dr Sudimartana malah salah obat di Puskesmas Buleleng III, sehingga IDI merekomendasikan untuk melarang sementara tangani pasien. “Kami sudah sempat berdiskusi bertiga (dengan Kepala Puskesmas Buleleng III dan dr Sudimartana, Red). Kita sarankan untuk sementara dokter bersangkutan tidak dilibatkan dulu dalam pelayanan pasien secara langsung,” ujar Sudarsana.
Namun, lanjut Sudarsana, kewenangan untuk menonaktifkan dokter salah obat ada di Dinas Kesehatan Buleleng dan Pukesmas Buleleng III. Pihaknya segera akan kirim surat rekoemndasi resmi tersebut kepada dinas terkait, paling lambat Senin (8/5) depan.
Sementara itu, salah seorang pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Made Wartana, menilai kasus salah obat kepada pasien sangatlah fatal. Pasalnya, obat tersebut adalah racun jika tidak diberikan oleh orang yang benar-benar kompeten di bidangnya yakni apoteker. Hal tersebut diatur dalam PP 51 Tahun 2009 dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 108, yang menjelaskan ‘pekerjaan kefarmasian di puskesmas, klinik, rumah skait, apotek, wajib dilakukan oleh apoteker’.
Wartana mengingatkan pemerintah daerah jangan menyepelekan peraturan dan perundang-undangan tersebut. Apalagi, dalam kasus di Puskesmas Buleleng III, disebutkan bahwa yang memberikan obat kepada pasien bukan petugas kefarmsian atau apoteker. “Kami mohon kepada pemerintah daerah untuk mengindahkan peraturan dan Undang-undang Kesehatan, supaya kasus serupa tidak terulang. Jadi, apoteker itu memang harus ada di setiap tempat pelayanan kesehatan,” tandas Wartana saat dikonfirmasi NusaBali per telepon, Jumat kemarin.
Di sisi lain, Wakil Bupati Buleleng dr Nyoman Sutjidra SpOG mengakui bahwa di daerahnya masih banyak kekurangan apoteker. Kekuranag tersebut karena rendahnya minat tamatan apoteker untuk bekerja di pemerintahan. “Kendalanya, pelamar dan peminatnya sangat susah. Sebab, kebanyakan apoteker sudah punya apotek,” jelas Wakil Bupati yang juga dokter spesialis kandungan ini, Jumat kemarin. * k23
1
Komentar