Dua Bulan Sekali Nyalinang Beras, Pantang Haturkan Waluh
Ada Palinggih Manik Galih yang berfungsi sebagai penyungsungan krama subak dan dijadikan tempat untuk menyimpan beras, injin, dan ketan. Bila beras berkurang, pertanda krama tani mengalami nasib buruk
Sisi Unik Pura Luhur Ulun Danu di Desa Pakraman Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan
TABANAN, NusaBali
Di Utama Mandala Pura Luhur Ulun Danu, Desa Pakraman Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan terdapat 7 palinggih (bangunan suci). Termasuk di antaranya Palinggih Manik Galih, tempat dilaksanakannya ritual nyalinang baas (mengganti beras) setiap dua bulan sekali.
Selain Palinggih Manik Galih, 6 bangunan suci utama lainnya di Utama Mandala Pura Luhur Ulun Danu masing-masing Meru Tumpang Lima (lima tingkat) untuk stana Dewi Danu, Palinggih Laba Api (stana Dewa Brahma), Palinggih Ratu Tengah Segara, Bale Penirtan, Bale Piyasan, dan Bale Pesandekan (khusus untuk tempat para pamangku).
Palinggih Manik Galih di Pura Luhur Ulun Danu berfungsi sebagai penyungsungan krama subak. Di Palinggih Manik Galih inilah pamangku menaruh beras, injin (beras hitam), dan ketan. Posisi menyimpannya, ketan di posisi barat, injin di tengah, dan beras paling timur.
Jika salah satu dari tiga jenis beras ini berkurang, apalagi sampai hilang, itu pertanda krama tani mengalami nasib buruk. “Nasib buruk dimaksud, antara lain, terjadi serangan hama hingga gagal panen,” ungkap pamangku Pura Luhur Ulun Danu, Jro Mangku Desak Nyoman Tirta, 60, saat ditemui NusaBali di areal pura yang berdampingan dengan danau ini, beberapa waktu lalu.
Jro Mangku Desak Tirta menyebutkan, posisi lokasi serangan hama berbeda-beda, tergantung jenis beras yang hilang. Demikian pula tingkat kegagalan panen petani bisa diperkirakan dari jumlah ketiga beras yang hilang.
Tahun 2017 ini, kata Jro Mangku Desak Tirta, beras, injin, dan ketan yang disimpan di Palinggih Manik Galih semuanya berkurang. Akibatnya, terjadi serangan hama di sawah-sawah pada subak dari empat dersa bertetangga, yang jadi penyungsung Pura Luhur Ulun Danu, yakni Desa Kukuh (Kecamatan Marga), Desa Tegal Jadi (Kecamatan Marga), Desa Kuwum (Kecamatan Marga), dan Desa Banjar Anyar (Kecamatan Kediri). Tanam padi di subah-subah kawasan Desa Kukuh dan Desa Tegal Jadi yang baru berumur beberapa hari, daunnya tiba-tiba menguning dan memerah.
Menurut Jro Mangku Desak Tirta, hingga saat ini masih kuat pepercayaan bahwa jika tiga jenis beras di Palinggih Manik Galih berkurang, akan berimbas munculnya merana (bencana). Itu sebabnya, krama tani tidak berani absen nunas pakuluh (tirta) dari Pura Luhur Ulun Danu saat mantenin gabah di jineng rumah masing-masing ataupun di Pura Bedugul atau Pura Subak. Krama tani dari empat desa bertetangga penyusung pura juga selalu ngaturang bhakti saat pujawali di Pura Luhur Ulun Danu, yang jatuh setahun sekali pada Purnamaning Kalima.
Versi Kelian Pamaksan Pura Luhur Ulun Danu, I Wayan Sudana, saat digelar karya pujawali, pantang menghaturkan jajan berbahan baku ketela maupun waluh (labu). Wayan Sudana tidak tahu secara detail kenapa, dua jenis hasil bumi ini tidak boleh dihaturkan di Pura Luhur Ulun Danu. Meski tidak ada penjelasan dari leluhur, namun pantangan ini tak berani dilanggar.
“Pantangan tersebut sudah kami warisi secara turun temurun. Kami tidak berani coba-coba untuk melanggarnya,” tegas Sudana. Meski pantang menghaturkan jajan berbahan waluh dan ketela, menurut Sudana, krama pangempon maupun penyungsung Pura Luhur Ulun Danu tidak tabu makan penganan dari dua bahan tersebut.
Keunikan lainnya, saat pujawali di Pura Luhur Ulun Danu harus dihaturkan banten nyegara gunung. Banten nyegara gunung ini untuk memuja Hyang Giri (di gunung) dan Hyang Baruna (di segara atau laut). Menurut Sudana, Pura Luhur Ulun Danu merupakan satu-satunya pura di wewidangan Desa Pakraman Kukuh yang punya tradisi bikin banten nyegara-gunung.
Dalam prosesi nyegara gunung ini saat pujawali Pura Luhur Ulun Danu, krama penyungsung tidak harus pergi ke kawasan Bedugul (gunung) maupun ke segara Tanah Lot (laut). Pamangku hanya nyawang (memuja) dari ujung selatan bebengan (danau) dan jaba Pura Luhur Ulun Danu, dengan diiringi krama.
Sudana menyebutkan, sebelum tahun 1989, Pura Luhur Ulun Danu diempon oleh krama subak. Namun, sejak tahun 1990, pangempon Pura Luhur Ulun Danu diambilalih oleh dua banjar adad di Desa Pakraman Kukuh, yakni Banjar Batanwani dan Banjar Dalem Kerti. Sedangkan penyungsur pura tetap krama subak dari empat desa bertetangga.
Setelah Pura Luhur Ulun Danu dikelola Banjar Batanwani dan Banjar Dalem Kerti, krama pangempon akhirnya memutuskan melakukan pemugaran dan perbaikan palinggih. Semasih diempon krama subak, sempat dilakukan perbaikan Bale Piiyasan tahun 1987. “Kami dari krama pangempon melanjutkan memugar dan memperbaiki palinggih serta bangunan lainnya secara bertahap,” beber Sudana.
Setiap tahun, krama pangempon Pura Luhur Ulun Danu rutin memperbaiki satu bangunan suci. Sampai akhirnya seluruh bangunan suci bisa diperbarui tahun 2010. Setelah semua bangunan suci direnovasi, dilanjutkan dengan menggelar upacara Ngenteg Linggih di Pura Luhur Ulun Danu pada Sukra Pon Kulantir, Jumat, 22 Oktober 2010, bertepatan dengan Purnamaning Kadasa.
Pura Luhur Ulun Danu sendiri merupakan salah satu pura di Desa Pakraman Kukuh yang memiliki sederet keunikan. Salah satu keunikan pura yang lokasinya di areal bebengan (danau) ini adalah keberadaan mata air yang keluar dari akar pohon tua. Mata air yang bentuknya keruh menyerupai berem (air tape) ini dipercaya berkhasiat untuk melancarkan air susu ibu (ASI).
Selain itu, Pura Luhur Ulun Danu memiliki beji yang lengkap berisi goa keramat. Berdasarkan kepercayaan, goa keramat di beji Pura Luhur Ulun Danu ini tembus hingga ke Danau Beratan, Kecamatan Baturiti, Tabanan. Uniknya lagi, mulut goa keramat ini terus mengecol, hingga kini tinggal berdiameter 0,4 meter.
Bukan hanya itu, di jaba tengah Pura Luhur Ulun Danui juga terdapat bangunan jineng (lumbung), persis di depan pintu masuk Utama Mandala. Jineng ini dimanfaatkan untuk menyimpan gabah yang dihaturkan krama tani. Hampir setiap hari ada saja tani yang menaruh gabah di pelataran jineng. Gabah tersebut jadi persembahan dari krama tani sebagai ucapan syukur karena hasil panennya berlimpah. * k21
Komentar