BI Prediksi Bali Alami Tekanan Inflasi
Dipicu berakhirnya musim panen komoditas hortikultura dan padi
DENPASAR, NusaBali
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Bali memprediksi provinsi setempat pada November 2022 akan mengalami tekanan inflasi yang dipicu berakhirnya musim panen komoditas hortikultura dan padi.
"Berakhirnya musim panen hortikultura akan mengakibatkan turunnya ketersediaan pasokan dan juga kenaikan harga beras akibat berakhirnya musim panen serta kenaikan harga pupuk," kata Kepala KPwBI Provinsi Bali Trisno Nugroho di Denpasar, seperti dilansir Antara, Kamis.
Selain itu, ujar Trisno, tekanan inflasi pada November 2022 diperkirakan juga mengikuti pola historis tahunan, terutama disebabkan oleh perkiraan peningkatan jumlah wisatawan serta dampak lanjutan kenaikan harga BBM.
"TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali senantiasa melakukan koordinasi untuk melakukan pemantauan harga dan pasokan, serta penyelenggaraan operasi pasar secara intensif," ujarnya.
Kemudian, peningkatan Kerjasama Antar Daerah (KAD) khususnya antara Perumda sejumlah kabupaten di Bali untuk memenuhi pasokan.
"Selain itu, pemanfaatan anggaran dari Biaya Tak Terduga (BTT) APBD untuk program pengendalian inflasi di Provinsi Bali," ucap Trisno.
Berdasarkan rilis BPS Provinsi Bali pada Oktober 2022, Provinsi Bali mengalami deflasi sebesar -0,05 persen (mtm) atau 6,99 persen (yoy).
"Terjadinya deflasi tersebut tidak terlepas dari upaya TPID Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali untuk menjaga stabilitas harga kelompok volatile food, dan mengurangi dampak second round effect kenaikan harga BBM terhadap komoditas kelompok core inflation," ucapnya.
Secara disagregasi, lanjut Trisno, kelompok volatile food mengalami deflasi sebesar -2,00 persen (mtm), lebih rendah dibandingkan deflasi pada bulan sebelumnya sebesar -3,3 persen (mtm).
Deflasi volatile food terutama didorong oleh penurunan harga cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah seiring dengan masih berlangsungnya musim panen dan program Operasi Pasar yang dilaksanakan oleh TPID Kabupaten/Kota seluruh Bali.
"Namun demikian, laju deflasi kelompok volatile food tertahan oleh kenaikan harga beras seiring dengan penurunan produksi padi dan kenaikan harga pupuk nonsubsidi," kata Trisno.
Selanjutnya, kelompok administered prices (AP) mengalami inflasi sebesar 0,60 persen (mtm), lebih rendah dari 6,88 persen (mtm) pada bulan sebelumnya.
Selain itu, tekanan inflasi juga bersumber dari kenaikan tarif angkutan udara, angkutan antar kota, dan tarif kendaraan roda empat online yang mengalami efek domino dari kenaikan harga BBM. Sementara itu, kelompok core inflation tercatat mengalami inflasi sebesar 0,24 persen, berbalik arah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mengalami deflasi sebesar -0,14 persen (mtm).
Inflasi pada kelompok tersebut dipengaruhi oleh kenaikan permintaan canang sari sejalan dengan meningkatnya intensitas upacara keagamaan. *
"Berakhirnya musim panen hortikultura akan mengakibatkan turunnya ketersediaan pasokan dan juga kenaikan harga beras akibat berakhirnya musim panen serta kenaikan harga pupuk," kata Kepala KPwBI Provinsi Bali Trisno Nugroho di Denpasar, seperti dilansir Antara, Kamis.
Selain itu, ujar Trisno, tekanan inflasi pada November 2022 diperkirakan juga mengikuti pola historis tahunan, terutama disebabkan oleh perkiraan peningkatan jumlah wisatawan serta dampak lanjutan kenaikan harga BBM.
"TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali senantiasa melakukan koordinasi untuk melakukan pemantauan harga dan pasokan, serta penyelenggaraan operasi pasar secara intensif," ujarnya.
Kemudian, peningkatan Kerjasama Antar Daerah (KAD) khususnya antara Perumda sejumlah kabupaten di Bali untuk memenuhi pasokan.
"Selain itu, pemanfaatan anggaran dari Biaya Tak Terduga (BTT) APBD untuk program pengendalian inflasi di Provinsi Bali," ucap Trisno.
Berdasarkan rilis BPS Provinsi Bali pada Oktober 2022, Provinsi Bali mengalami deflasi sebesar -0,05 persen (mtm) atau 6,99 persen (yoy).
"Terjadinya deflasi tersebut tidak terlepas dari upaya TPID Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali untuk menjaga stabilitas harga kelompok volatile food, dan mengurangi dampak second round effect kenaikan harga BBM terhadap komoditas kelompok core inflation," ucapnya.
Secara disagregasi, lanjut Trisno, kelompok volatile food mengalami deflasi sebesar -2,00 persen (mtm), lebih rendah dibandingkan deflasi pada bulan sebelumnya sebesar -3,3 persen (mtm).
Deflasi volatile food terutama didorong oleh penurunan harga cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah seiring dengan masih berlangsungnya musim panen dan program Operasi Pasar yang dilaksanakan oleh TPID Kabupaten/Kota seluruh Bali.
"Namun demikian, laju deflasi kelompok volatile food tertahan oleh kenaikan harga beras seiring dengan penurunan produksi padi dan kenaikan harga pupuk nonsubsidi," kata Trisno.
Selanjutnya, kelompok administered prices (AP) mengalami inflasi sebesar 0,60 persen (mtm), lebih rendah dari 6,88 persen (mtm) pada bulan sebelumnya.
Selain itu, tekanan inflasi juga bersumber dari kenaikan tarif angkutan udara, angkutan antar kota, dan tarif kendaraan roda empat online yang mengalami efek domino dari kenaikan harga BBM. Sementara itu, kelompok core inflation tercatat mengalami inflasi sebesar 0,24 persen, berbalik arah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mengalami deflasi sebesar -0,14 persen (mtm).
Inflasi pada kelompok tersebut dipengaruhi oleh kenaikan permintaan canang sari sejalan dengan meningkatnya intensitas upacara keagamaan. *
1
Komentar