Tumpek Landep: Jangan Sampai Rasa Mengalahkan Dresta
MANGUPURA, NusaBali.com – Selama ini umat Hindu sering kali mengupacarai kendaraan pada saat Tumpek Landep. Sayangnya, dilihat dari sastra agama pelaksanaan Tumpek Landep seperti ini dinilai jauh menyimpang dari makna asalnya.
Berdasarkan lontar Sunari Bungkah dan Agastya Parana, Tumpek Landep merupakan hari di mana manifestasi Tuhan memberikan anugerah kesidhian.
Tumpek yang berasal dari kata tumampak kemudian menjadi tumampek dan akhirnya tumpek. Kata tumpek bermakna reinkarnasi atau manifestasi Tuhan. Kemudian, Landep secara sederhana merupakan wuku Landep yang juga bermakna lancip atau runcing.
“Manifestasi Tuhan turun pada hari Tumpek Landep ini untuk memberikan kesidhian kepada umat manusia. Bukan sidhi yang mau jadi balian saja, tetapi sidhi yang sidha (bisa) melaksanakan kewajiban,” tutur Ida Pedanda Gede Manara Putra Kekeran dari Griya Putra Mandhara Pemaron di Banjar/Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Badung belum lama ini pada sebuah kesempatan.
Pada Tumpek Landep ini yang diupacarai adalah benda runcing yang disimbolkan dengan sebilah keris. Secara niskala keris yang dimaksud adalah manusia. Dikatakan, manusia sebenarnya memeluk keris dalam diri sendiri dan tubuh manusia diumpamakan sebilah keris.
Tulang dada adalah keris yang dibawa manusia sebagai bhuana alit. Kemudian, jakun merupakan panggeh atau cincin keris sedangkan kepala manusia adalah gagang dari keris itu. Keris di dalam diri ini lantas disarungkan oleh badan manusia.
“Inilah yang harus diupacarai pada saat Tumpek Landep yakni keris yang ada dalam diri sendiri,” tegas Ida Pedanda Gede Manara Putra, prihatin melihat umat yang keliru memaknai Tumpek Landep.
Menurutnya, kekeliruan ini mungkin terjadi akibat pergeseran gaya hidup manusia Hindu. Pada era kuno yang diupacarai itu adalah keris secara niskala dan sekala. Karena keris tersebut terbuat dari besi maka mulailah makna Tumpek Landep itu melebar menjadi oton besi.
Setelah di masa modern, ada kendaraan yang juga terdapat besinya dan dianggaplah hari yang sidhi ini sebagai oton kendaraan. Melihat perkembangan makna Tumpek Landep di masa modern ini, sudah terlalu jauh menyimpang dari makna dasar yang sesuai sastra dan ajaran Weda.
Kata Ida Pedanda Gede Manara Putra, sah-sah saja untuk mengupacarai kendaraan pada saat Tumpek Landep, hanya saja jangan sampai rasa untuk memuliakan kendaraan ini mengalahkan dresta yang sesuai tattwa. Rasa itu terlalu buta hingga mendorong umat menaruh banten pada kendaraan dan pemangku yang ngaleneng di hadapan kendaraan. Apalagi ada umat yang sembahyang di hadapan kendaraan.
“Ini seakan-akan kita kembali ke animisme dan lepas dari ajaran Weda. Kalau menurut Weda sudah jelas semua banten (sesajen) dan sembahyang semua dilakukan di pamerajan,” ujar Ida Pedanda.
Pada hari Tumpek Landep, Tuhan turun sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati yang berstana di rong tengah. Dengan demikian, banten dan kegiatan apapun yang berkaitan dengan yadnya Tumpek Landep dilakukan di pamerajan. Setelah dilakukan penyucian terhadap keris di dalam diri, barulah sisa-sisa banten tersebut dibawa ke keris niskala dan juga perkakas atau benda lain yang dianggap patut.
Untuk kendaraan pun diperbolehkan, namun cukup dengan canang saja. Kalaupun kendaraan itu harus dihias dengan sasat dan sampian juga diperbolehkan karena itu menyangkut rasa masing-masing umat. Hanya saja, rasa itu seharusnya cukup sampai di sana saja.
“Boleh diberikan banten tetapi tidak spesial karena bukan itu yang utama. Payasin durus (dihias, silakan). Tidak ada banten khusus di kendaraan, cukup canang saja. Jangan sampai rasa mengalahkan dresta,” pesan Ida Pedanda kepada umat.
Ida Pedanda mewanti-wanti bahwa keris dalam diri ini yang diutamakan dulu dalam penyucian Tumpek Landep lantaran anugerah kesidhian tersebut ditujukan kepada manusia bukan barang. Oleh karena itu, yang ada hanyalah kemubaziran apabila fokus utama perayaannya ada pada benda. *rat
Komentar