Tari Abuang di Bugbug Somyakan Bhuta Kala
AMLAPURA, NusaBali
Desa Adat Bugbug, Kecamatan Karangasem, Karangasem, memiliki Tari Abuang. Tari yang disakralkan krama desa adat setempat ini, diyakini berfungsi untuk menyomiakan (menetralisir) unsur Bhuta Kala menjadi Dewa.
Prosesi somia Bhuta Kala ini ditandai dengan memercikkan minuman berupa tuak, setelah mempersembahkan tarian khusus itu. Tari Abuang dibawakan 21 krama Daa Taruna (pemuda)
Desa Adat Bugbug. Penari ini tanpa mengenakan busana atas, memakai udeng (ikat kepala) batik, saput loreng dan kamben. Para penari berbaris jejer dua. Para penari menarikan gerakan-gerakan tangan, kaki, dan bagian tubuh, yang agak khas.
Tarian itu antara lain dipentaskan usaia upacara Panyineban Pratima Ida Betara-betari, serangkaian upacara Usaba Kadulu Gede di Pura Bias Putih, Banjar Kelodan, Desa Adat Bugbug, Kecamatan Karangasem, Buda Umanis Dukut, Rabu (12/10).
Rangkaian upacara Panyineban Usaba Kadulu Gede, dikoordinasikan Manggala Daa Taruna I Nengah Widiana. Dia mengatakan tarian itu dipentaskan hanya pada saat Aci (persembahan) di Ulun Suwi, Aci Usaba Manggung, Aci di Pura Pasujan, Aci Kasanga, Usaba Kadulu Gede dan nyineb Usaba Kadulu Gede di Pura Bias Putih.
Manggala Nengah Widiana mengakui, Tari Abuang yang dibawakan sepintas dengan gerakan sangat sederhana. Gerakan hanya dengan mengangkat satu kaki secara bergantian disertai kedua tangan memegang tekor berisi minuman tuak. Dengan mengangkat satu kaki, maka penari harus benar-benar bisa menjaga keseimbangan tubuh. Tarian ini diiringi suara gambelan Selonding. Tatabuhan gambelan ini dibawakan penabuh, yakni I Wayan Kasih, I Wayan Matitig, I Wayan Tisna, I Ketut Kasih, dan lainnya.
Nengah Widiana menambahkan, tarian ini sarat nuansa religious sehingga disebut tari wali yang mengandung unsur seni sebagai bentuk persembahan. Secara estetika, tarian ini mampu menggugah perasaan krama hingga menambah kekhusyukan prosesi ritual setempat. Tarian ini hanya bisa dibawakan saat upacara besar. Ekspresi gerak tari ini melambangkan mudra, semacam tatanganan atau rangkaan gerakan tangan yang dianggap sakral. Terlebih lagi lokasi Pura Bias Putih, di Pantai Bias Putih, di tepi laut, yang merupakan kiblatnya kasucian. Laut juga sebagai lambang penetralisir segala bentuk kekotoran secara batin. Penetralisir ini tentu selain tuak yang dituangkan beberapa kali sebagai isyarat menyomiakan Bhuta Kala.
Ada 21 dari 75 taruna 1daa Desa Adat Bugbug menarikan tarian itu. Mereka masing-masing membawa tekor berisi tuak, dan tuak itu dituangkan ke tanah sebanyak tiga kali.
Selanjutnya, usai menari seluruh taruna duduk lesehan. Mereka menyantap ajengan palukuhan (makan magibung), sebagai bentuk rasa syukur menikmati anugerah Sang Maha Pemurah.
Senada Nengah Widiana, Baga Parahyangan Desa Adat Bugbug I Wayan Artana mengatakan pementasan tarian ini telah menjadi salah satu tradisi di Desa Adat Bugbug. ‘’Tari Abuang sebagai pelengkap upacara, biasanya dipentaskan di akhir acara," jelas Kasek SMKN 1 Amlapura tersebut.
Selama ini, jelas salah seorang tokoh dari Banjar Baruna, Desa Adat Bugbug, daa taruna di Desa Adat Bugbug telah tercatat untuk ngayah dalam setiap upacara besar.
Dalam prosesi Usaba Manggung di Pura Bale Agung, daa taruna ikut melaksanakan upacara Mapurwadaksina, yakni mengelilingi wawidangan Desa Adat Bugbug. Begitu juga di Pura Gumang saat Usaba Kadulu Gede. Upacara mapurwadaksina ini secara bersama saat ngiring Pratima Ida Bhatara Gede Gumang dalam upacara Mabiasa. Saat pentas tari, krama yang hadir sangat mudah mengenali daa taruna karena mereka tidak mengenakan busana atas. *k16
1
Komentar