BKSAP DPR: Keuntungan Transisi Ekonomi Hijau Capai 26 Triliun USD
JAKARTA,NusaBali
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Putu Supadma Rudana mengatakan, saat ini dunia sedang menyaksikan efek dari perubahan iklim.
Menurut dia, gelombang panas, kebakaran hutan hingga kekeringan berkepanjangan diantara konsekuensi lain dari perubahan iklim.
Tentu, menurut Supadma Rudana, hal ini telah menjadi salah satu pendorong utama rusak dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta membahayakan lingkungan masyarakat. Hal ini disampaikan Supadma Rudana pada Sidang Utama Tahunan Forum Parlemen Asia-Pasifik ke-30 (APPF) di Bangkok Thailand.
"Untuk tujuan ini, mengubah perilaku ekonomi kita dari ekonomi berbasis eksploitasi menuju ekonomi hijau berkelanjutan bisa menjadi strategi yang patut diperjuangkan," kata politisi Partai Demokrat ini dalam keterangan tertulisnya diterima NusaBali, Sabtu (5/11).
Supadma Rudana menilai hal ini memberikan strategi penting untuk mengendalikan dampak perubahan iklim, serta melindungi keanekaragaman hayati, dan pada saat yang sama membuka peluang bagi pengembangan sosial dan ekonomi.
Karena, menurut Anggota Komisi VI DPR RI ini, Organisasi Buruh Internasional atau International Labor Organization (ILO) memperkirakan, bahwa pendekatan ekonomi hijau dapat menghasilkan 24 juta lapangan pekerjaan baru di seluruh dunia pada 2030. "Penelitian terkini menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar 26 triliun USD pada 2030, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa," ungkap Anggota DPR asal Dapil Bali ini.
Oleh karena itu, Supadma Rudana sebagai anggota parlemen harus berada di garis depan untuk terus mengarusutamakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sambil terus memastikan tidak adanya trade-off antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan.
Pihaknya menyebut dukungan dan kerjasama antar negara di kawasan Asia-Pasifik tentu sangat krusial. Sehingga, diperlukan kerja sama untuk memperkuat di berbagai bidang terutama keuangan, investasi, alih teknologi dan peningkatan kapasitas untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. "Kita semua sadar bahwa tidak ada negara yang dapat mengupayakan keanekaragaman hayati dan transisi ekonomi hijau dengan kekuatan sendiri, tanpa bantuan negara lain. Kami menyadari pentingnya pendanaan yang memadai.
Supadma Rudana mengatakan, Indonesia baru saja mengeluarkan dokumen Enhanced NDC (ENDC). Dalam dokumen tersebut, Indonesia telah meningkatkan pengurangan emisi karbon dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan kapasitas sendiri dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan internasional.
"Target ini selanjutnya dapat mempercepat upaya menuju pencapaian net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat," jelas politisi yang juga menjadi Chair pada Grup Sub-Regional Asia Tenggara pada pertemuan APPF ke 30 di Bangkok, Thailand.
Indonesia berkomitmen menerapkan Net-Sink Forestry and Other Land Uses (FOLU-Net sink) pada 2030, yaitu kondisi penyerapan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi yang dikeluarkan. "Sebagai negara dengan salah satu kawasan mangrove terbesar di dunia, Indonesia telah memulai rehabilitasi hutan mangrove untuk memulihkan 600.000 hektar lahan mangrove hingga tahun 2024," pungkas Ketua Desk Kerjasama Regional BKSAP ini. *nat
Komentar