Lanskap Pembelajaran Bahasa Daerah
Bahasa ibu atau daerah, seperti bahasa Bali memiliki hak hidup yang dijamin konstitusi.
Ia mengemban fungsi amat penting dalam kehidupan sejak usia dini. Jati diri dan karakter dibangun melalui penguasaan dan penggunaannya. Secara nasional, bahasa ibu berfungsi menyangga dan membentuk jati diri dan karakter bangsa. Namun, sejak berkembangnya bahasa Indonesia dan bahasa asing, bahasa daerah tergantikan sebagian atau sepenuhnya di hampir semua peristiwa tutur. Bahkan sejak arus budaya global menerjang, perkembangan masyarakat dwibahasa dan aneka bahasa menggusur bahasa-bahasa daerah. Generasi muda yang seharusnya menjadi pewaris mulai meninggalkannya. Ancaman ini kian menjadi-jadi karena sikap pragmatis memang melanda masyarakat.
Mungkin, lanskap pembelajaran bahasa daerah dapat menjadi kerangka dasar untuk mengetahui melemahnya bahasa daerah di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam kacamata pembelajaran, melemahnya atau bahkan punahnya bahasa daerah dapat ditelusur dari komunikasi di keluarga, sekolah, lembaga publik, dan pemerintah. Lanskap demikian perlu dilakukan guna mengudar kelindan antara bahasa, kultur, politik, dan kekuasaan.
Bagaimana lanskap berbahasa daerah dalam keluarga? Inilah beberapa lanskap yang teramati. Dewasa ini, banyak orangtua sudah tidak memiliki kemampuan berceritera menggunakan ceritera rakyat menggunakan bahasa daerah yang baik dan benar. Tipe kode bahasa daerah yang digunakan bercampur bahasa daerah-dan-bahasa Indonesia. Ragamnya juga disilang ragam baku-dengan-kolokial. Tambahan pula, pada tataran mikrolinguistik, bahasa orangtua menggunakan struktur frasa dan klausa bahasa baku yang tidak diminati oleh anak yang cenderung menggunakan bahasa gaul atau bahasa kacau etika maupun kaidah. Pada tataran sosio-psikologis, persepsi anak terhadap ceritera dan berceritera rakyat tidak positif karena dikalahkan dengan media sosial digital yang kreatif, menarik, dan mengundang mimpi yang tiada akhir. Lanskap penggunaan bahasa daerah dalam keluarga berujung pada menguatkan bilingualism dan multilingualisme.
Bagaimana lanskap bahasa daerah di sekolah? Dalam kurikulum 2013, tidak ada mata pelajaran khusus bahasa daerah. Mata pelajaran bahasa daerah merupakan modifikasi dari mata pelajaran tambahan seperti seni budaya, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, serta prakarya dan kewirausahaan. Pemerintah daerah memiliki kebebasan untuk menentukan konten pendidikan, termasuk menyelipkan mata pelajaran bahasa daerah. Namun kebebasan ini digunakan untuk tidak mengajarkan bahasa daerah dan menggantinya dengan prakarya atau seni budaya.
Jika dilihat dari alokasi waktu, mata pelajaran kelompok tambahan memiliki proporsi yang sangat sedikit. Mata pelajaran kelompok tambahan hanya mendapatkan alokasi waktu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pendidikan agama dan budi pekerti, bahasa Indonesia, dan matematika. Di bangku sekolah menengah pertama, mata pelajaran bahasa daerah mendapatkan porsi 2×45 menit dalam seminggu, sedangkan di bangku menengah atas, mata pelajaran bahasa daerah hanya dilangsungkan selama 60 menit dalam seminggu. Dengan waktu sesingkat itu, banyak materi yang tidak diajarkan, dan bahkan dilewatkan. Pelajaran bahasa daerah kurang diminati, karena teknik pengajarannya cenderung membosankan. Metode pengajaran bahasa daerah didominasi dengan mengerjakan lembar kerja siswa. Wawasan yang diperoleh tidak membuat peserta didik memahami dan menguasai bahasa daerah.
Pada tataran semiotika periklanan, lanskap penggunaan bahasa daerah amat kering. Dalam dunia periklanan, bahasa Indonesia atau bahasa Inggris digunakan untuk membujuk perokok. Iklan rokok menggunakan bahasa Indonesia atau Inggris. Struktur frasa maupun klausanya menggunakan diksi-diksi Indonesia dan Inggris. Ini merupakan kecenderungan adanya imperialisme linguistik, meminjam istilah Robert Phillipson (1992). Menurutnya, imperialisme linguistik adalah pengenaan satu bahasa pada penutur bahasa lain. Istilah ini juga dikenal sebagai nasionalisme linguistik, dominasi linguistik, dan imperialisme bahasa.
Pada tataran lain, kita sering menemukan kecenderungan suatu institusi menggunakan frasa ‘call center’, alih-alih narahubung. Selain itu, ada pula lembaga pendidikan yang memilih untuk menulis ‘digital library’ daripada perpustakaan digital. Ada juga poster yang berbunyi: SAYA SUDAH DI VAKSIN di ruang publik. Tentu saja, fenomena di- yang dirangkai dan di yang dipisah bisa mencerminkan kebiasaan kita dalam berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Komentar