Pengembangan Kendaraan Listrik di SMK Terkendala Pendanaan
DENPASAR, NusaBali.com – SMK sering kali menjadi pusat inovasi khususnya di bidang teknologi. Tentu masih segar di ingatan tentang mobil Kiat Esemka yang kini digadang-gadang jadi kendaraan nasional. Tetapi tidak jarang inovasi itu mandek dan surut oleh waktu karena masalah pendanaan.
Belakangan ini ketika Indonesia menemukan cadangan nikel yang mumpuni di tanah air, juga ketika Indonesia resmi mengemban presidensi di G20, inovasi kendaraan listrik tanah air semakin bergeliat.
Kegeliatan sektor ini dinilai karena politik minyak dan gas yang selama ini menguasai industri otomotif dipaksa manut. Politik yang menjadikan migas memegang hegemoni dunia otomotif ini kini di bawah kendali tanggung jawab Indonesia sebagai kepala organisasi negara-negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini.
“Politik migas ini sudah jadi rahasia umum. Karena ini kan momennya G20, jadi perkembangan kendaraan listrik itu sedang bagus. Tetapi bagaimana nanti setelah ini?” ujar seorang guru Teknik Mesin dari SMKN 1 Denpasar, I Putu Agus Saskara Yoga, 30, dijumpai di sela-sela mengajar, Selasa (8/11/2022).
Sayangnya, pada saat momentum yang tepat untuk memperkecil politik migas setelah presidensi Indonesia berakhir, sedikit terhalang khususnya di taraf pendidikan kejuruan. Minimnya pendanaan dan ketidakmampuan sekolah dalam menanggung biaya inovasi produk berbasis energi ramah lingkungan adalah dua faktor di balik tergopohnya sekolah kejuruan.
Hal ini pun dirasakan oleh SMKN 1 Denpasar yang mentereng di bidang teknologi. Pada tahun 2021, sekolah kejuruan negeri yang terletak di Jalan HOS Cokroaminoto nomor 84 Denpasar ini telah menggelontorkan dana senilai Rp 80 juta. Dana tersebut merupakan dana ekses dari pengeluaran lain yang didistribusikan ke sedikitnya 11 kompetensi keahlian.
Di lain sisi, untuk melakukan pengembangan kendaraan listrik dalam hal ini konversi, dana tersebut kurang dari cukup. Menurut Yoga selaku pembina inovasi konversi kendaraan berbahan bakar minyak ke listrik di bekas sekolah teknik mesin tersebut, konversi satu unit motor sedikitnya menghabiskan Rp 15 juta. Biaya tersebut belum termasuk harga motor yang diambil dari motor keluaran lama semacam Honda Supra.
“Kalau benar-benar konversi dari awal (termasuk body motor), per satuan itu bisa mencapai Rp 40-50 juta,” ungkap Yoga.
Biaya tersebut didominasi oleh harga baterai yang bisa mencapai 40-60 persen dari biaya komposisi komponen. Apalagi kandungan dalam negeri baterai tersebut masih rendah dan sebagian besar diimpor. Maka tidak heran, untuk mengembangkan satu unit motor listrik dari nol bisa menelan biaya yang sulit dipenuhi oleh lembaga pendidikan.
“Seharusnya sekarang sekolah yang berbasis teknologi didukung penuh dengan pendanaan. Pada dasarnya siswa itu sudah memiliki kompetensi yang baik dan bisa membuat apa saja. Tetapi kalau dananya tidak ada, ya tidak ada hasilnya,” tegas Waka Bidang Hubungan Masyarakat SMKN 1 Denpasar, Dra Desak Made Rai MPd, 59, dijumpai pada kesempatan yang sama.
Menurut Desak, selama ini SMK didorong menginovasikan ini dan itu tetapi tidak ada dukungan berupa pendanaan. Sedangkan sekolah apalagi sekolah negeri seperti SMKN 1 Denpasar bukan lembaga profit yang dapat mengekstraksi keuntungan dari peserta didik yang kemudian dipakai membiayai program inovasi.
“Sekolah sangat boleh menerima CSR (Corporate Social Responsibility) tetapi tentu kami tidak bisa kalau ada keterikatan dengan yang namanya branding suatu lembaga profit,” jelas Desak.
Kondisi ini sedikit miris lantaran SMKN 1 Denpasar sudah banyak terlibat dalam program pemerintah, BUMN, maupun swasta untuk progres konversi kendaraan listrik. Sampai saat ini, setidaknya sudah ada 54 motor berhasil dikonversi oleh tangan terampil siswa.
Sekitar 24 di antaranya merupakan program Kementerian ESDM dan PLN. Sejumlah motor tersebut dipamerkan baru-baru ini di kawasan ITDC The Nusa Dua serangkaian acara G20. *rat
1
Komentar