Ketut dan Komang Bakal Punah?
Seminar tentang hubungan program keluarga berencana (KB) dengan dinamika tradisi Bali diselenggarakan di Denpasar, pada suatu hari
Aryantha Soethama
Pengarang
Judulnya seru, Keluarga Berencana Versus Tradisi Bali. Ada yang berkomentar, ini topik yang ‘bringas’ karena menggunakan istilah versus, seakan tradisi dipertentangkan dengan kependudukan.
Program nasional KB sesungguhnya bukan hal baru bagi Bali. Di zaman orde baru, Bali bahkan dielu-elukan sebagai etnik yang paling sukses menyelenggarakan program KB. Yang disanjung itu adalah KB Banjar, kegiatan yang mengandalkan kelenturan dan dinamika banjar. Sesungguhnya itu adalah program yang mengandalkan dinamika kelompok. Karena Bali sudah punya kelompok banjar, sekaa, langsung saja KB tancap gas. Sementara di daerah-daerah lain di Tanah Air pemerintah tengah sibuk membentuk kelompok, di Bali KB melaju kencang di jalan tol.
Di Bali, kantor paling mentereng adalah kantor BKKBN di kawasan Renon Denpasar, yang mengurus program KB. Banyak proyek digelar kala itu, pelatihan petugas KB lapangan sangat acap diselenggarakan. Yang getol kemudian digelorakan adalah program dua anak cukup, laki-perempuan sama saja, sebagai sasaran untuk mencapai pertumbuhan nol (zero). Generasi muda dicekoki paham agar menunda usia nikah, mengatur jarak kelahiran anak pertama dan kedua, dan kalau sudah dua anak stop.
Bali menyambut riang gembira program KB itu. Tapi di tengah gegap gempita program KB, orang Bali kemudian menimbang-nimbang, ada yang akan hilang jika program dua anak itu berhasil. Tradisi Bali mengenal empat anak (Wayan/Gede/Putu, Made/Nengah, Nyoman/Komang dan Ketut) hadir dalam keluarga. Ketika baby boom usai Perang Dunia II, banyak keluarga yang punya lebih empat anak. Mereka yang kini berusia enam puluh tahun ke atas pasti punya enam sampai sembilan saudara dari satu ibu. Tapi, nama-nama anak-anak itu tetap merunut empat anak, sehingga jika anak kelima dan seterusnya disebut Putu Balik, Made Balik, Nyoman Balik, dan Ketut Balik. Anak kesembilan tidak dipanggil Putu Balik Balik, tetap saja Putu Balik, tak juga disebut Putu Bolak-balik. Orang Bali taat pada sistem penamaan empat anak.
Maka jika kemudian orang Bali sudi punya dua anak, itu revolusi mental namanya. Tapi, selalu ada orang Bali yang kritis, mempertanyakan apa akibat jika orang Bali taat dan tertib dengan dua anak. Kelompok ini yakin anak-anak ketiga (Komang) dan anak keempat (Ketut) akan lenyap. Kekhawatiran Komang dan Ketut bakal punah sudah dipertanyakan awal tahun 80-an, ketika program KB mencapai sukses besar di Bali. Karena muncul di zaman orde baru, pertanyaan itu tenggelam, larut dalam kecemasan untuk mengungkapkannya, karena kalau terlalu getol diutarakan bisa dituding anti-pembangunan.
Persoalan Komang dan Ketut punah itulah yang dibahas dalam seminar tradisi Bali versus KB, pada suatu hari di Denpasar itu. Karena dibahas di zaman bebas, bermacam komentar tajam muncul. Seusai seminar beberapa orang meneruskan pembahasan itu melalui chatting lewat smart phone. Salah seorang berpendapat, benarkah kita sungguh-sungguh menginginkan kehadiran Komang dan Ketut? Sejatinya, berapa orang anak kah yang diinginkan oleh keluarga Bali? Jika keluarga-keluarga menginginkan empat anak, benarkah yang mereka inginkan kehadiran anak, atau itu cuma romantisme tradisi kepemilikan Komang dan Ketut? Jangan-jangan orang Bali cuma ingin nama Komang dan Ketut tetap hadir, tapi mereka ragu punya anak lebih dari dua. Atau cukup tiga, sehingga yang punah itu si Ketut.Ada yang berpendapat, program dua anak itu bisa menjadi ironi bagi Bali. Keluarga Bali didorong untuk beranak dua, sementara para pendatang punya anak tiga sampai lima yang akan mendesak keluarga Bali. Ini tak beda dengan orang Bali dianjurkan bertransmigr
asi, sementara pendatang memadati Pulau Bali. Maka sesungguhnya yang dibahas bukan kepunahan Komang dan Ketut, tapi derasnya kehadiran kaum pendatang, yang dikhawatirkan akan kian mendesak orang Bali.
Kelompok ini memberi alasan, nama-nama orang Bali kini mengikuti deras arus modernisasi yang penuh gaya. Kalaupun hadir anak ketiga dan keempat, toh kerabat akan memanggil Selvi, Nora, Julia, Angga, untuk nama-nama Komang Selvianawati, atau Nyoman Noraini, Ketut Juliastuti, dan Ketut Anggawijaya. Kita tak memanggil mereka Komang dan Ketut.
Boleh jadi yang dicemaskan bukan ketidakhadiran Komang dan Ketut, tapi desakan arus deras kaum pendatang itu. Orang-orang waswas Bali semakin padat dan semrawut, kriminalitas kian sulit ditangani, dan semakin beragam pula. Jika dilakukan riset, belum tentu semua orang Bali ingin punya empat anak, karena mengurus anak itu tidak mudah dan biayanya mahal. Karena sekarang zaman bebas, yang pingin dua anak silakan, punya empat jangan dilarang, jangan dikucilkan. Jadi, apakah Komang dan Ketut akan punah, belum ada jawaban, butuh waktu lama untuk membuktikan. *
Komentar