Pohon Majegau, Taru Taksu Bali Langka yang Harus Dilestarikan
Refleksi Hari Pohon Sedunia
Bali di era globalisasi ini sejalan dengan berbagai kegiatan sosial budaya, seni dan agama disertai dengan kecanggihan teknologi. Kecanggihan teknologi mau tidak mau harus dihadapi.
Penulis : Ni Putu Ayu Erninda Oktaviani Suputri
Mahasiswa Program Studi Doktor Biologi, Fakultas Biologi, UGM
Kondisi tersebut didorong oleh kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi dengan piranti media yang canggih. Masyarakat tradisional secara turun temurun selalu mengembangkan dan melestarikan kearifan lokal tentang pengetahuan nonformal yang bermanfaat praktis bagi kelangsungan hidup dan perkembangan budaya mereka.
Salah satu potensi tersebut adalah pengetahuan lokal pengelolaan tumbuhan yang berkaitan dengan aspek etnobotani, yaitu kajian tentang sistem pengetahuan dalam penggunaan tumbuhan dengan fokus utama yang dipersepsikan pada berbagai lingkungan masyarakat Bali sebagai obat, praktik keagamaan, sastra, ritual, serta kehidupan sosial. Namun demikian, potensi yang begitu besarnya tidaklah berarti jika tidak adanya upaya nyata sebelumnya untuk tetap melestarikan kearifan lokal tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu usaha nyata dalam melestarikan kearifan lokal terhadap tumbuhan endemik Bali yang sangat erat berkaitan terhadap budaya kita yang sangat luar biasa.
Mengingat tanggal 21 November, seluruh dunia memperingati Hari Pohon Sedunia (World Tree Day) dimana sejarah hari ini yang dilatarbelakangi oleh Julius Sterling Morton yang mendorong warga untuk menanam pohon dalam rangka melestarikan lingkungan dengan menanam satu juta pohon di Nebraksa pada tanggal 10 April 1872. Melalui hari ini perlu dilakukan suatu refleksi dan usaha konkret dalam melestarikan tanaman endemik bali yang hampir punah salah satunya “Pohon Majegu”.
Taru Majegau
Jenis flora yang penting dan sakral yang menjadi “Taksu” di Bali itu sendiri dan keberadaannya mulai langka adalah Pohon Majegau atau Majagaha. Majegau adalah pohon dari famili Meliaceae dengan nama spesies Dysoxylum densiflorum berarti "bunga yang rimbun Pohon ini ditetapkan sebagai flora identitas Provinsi Bali. Majegau mempunyai karakteristik batang yang keras dan awet. Maka dari itu di Bali, tanaman batang tanaman ini sering dimanfaatkan sebagai bahan pembangunan pura,sebagaimana yang tertulis dalam Lontar Asta Kosala Kosali batang majegau digunakan untuk membuat bangunan suci Pura.
Pada Lontar Usana Bali Batang majegau dipercaya sebagai simbolisasi Bhatara Sadasiwa sebagai kayu bakar upacara (pasepan) karena memiliki bau yang harum yang aman memiliki makna filosofi “Untuk kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak ada akhirnya”. Potensi majegau lainnya adalah tanaman majegau sebagai tanaman obat khususnya obat tradisional Bali disebutkan dalam lontar Usada Taru Premana. Secara etnomedis yang telah diteliti dan dikembangan oleh Hu dkk, zat metabolit majegau memiliki aktivitas sebagai antimikroba terhadap gram positif dan memiliki aktivitas sititoksik terhadap 6 sel tumor (MCF-7, HeLa, HepG2, SGC-7901, NCI-H460, dan BGC-823).
Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No.77 tahun 2014 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP) Bali Tahun 2014-2034, pemerintah telah mengupayakan lahan untuk konservasi tanaman majegau sebesar 20 ha yang terletak di Hutan Lindung Batukaru. Pemilihan Kawasan ini sebagai daerah konservasi insitu dikarekan letaknya pada daerah pegunungan strategis dan merupakan daerah resapan dan perlindungan tata air yang bagus. Kawasan ini juga memiliki nilai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang penting dan prioritas di Provinsi Bali.
Namun seiring perkembangan jaman perubahan fungsi lahan hutandapat terus terjadi, antara lain perambahan kawasan hutan oleh kelompok masyarakat yang berdiam di dekat hutan dan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan serta faktor alam seperti kebakaran. Khusus untuk kebakaran, diperkirakan rata-rata 350 ha lahan hutan di Bali terbakar tiap tahunnya. Maka dari itu perlu berdasarkan potensi dan ancaman dari majegau, tanaman ini perlu dilakukan perbanyakan guna konservasi dan perbanyakan untuk keperluan riset.
Inovasi metode modifikasi DNA terbaru adalah tembakan gen atau yang dikenal CRISPR Activation. Prospek yang bagus dari CRISPR/Activation terhadap pengembangan majegau yang memiliki daya embriosomatik (bakal individu baru) yang tinggi dalam usaha pembibitan. Diawali dengan mekanisme pengenalan gen kunci berupa gen RKD4 adalah gen kunci yang fungsinya menstimulasi embriogenesis dari sel somatik yang akan diaktifkan pada organisme target yang kita inginkan, dimana kesimpulannya metode ini bisa mengembangkan 1 tunas majegau hasil zigotik (alamiah) dengan metode CRISPR/Activation 1 tunas tersebutakan membelah menjadi 1000 bagian/bibit. Sehingga metode ini sangat efektif dan efesien untuk prospek budidaya kedepannya.
Pertanyaan besar yang pasti timbul di masyarakat sanggupkah para pembudidaya menerapkannya. Pada dasarnya mengedit suatu gen dari makhluk hidup dibutuhkan suatu alat yang canggih, modern dan membutuhkan banyak uang. Karena prinsip wirausaha adalah menghasilkan produk yang berkualitas dengan menekan biaya sekecil mungkin. Pemecahan masalah yaitu para pembudidaya skala kecil membeli bibit hasil pengeditan gen oleh CRISPR dari suatu perusahaan yang dikoordinatori badan riset pemerintah kemudian mereka akan membudidayakan bibit tersebut menjadi bibit yang siap diedar dan diuji mutu bibitnya dan dapat diedarkan ke masyarakat luas.*
Photo: Majegau at Baluran National Park. (Image: Fantastic Ranger Wildlife Photography)
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar