Bahaya Sampah Makanan Hasilkan Gas Metana
Volume dan komposisi sampah yang diproduksi di Bali sebesar 60 persen adalah sampah organik yang sebagian bersumber dari sisa makanan.
DENPASAR, NusaBali
Zat organik dalam sampah makanan (food waste) yang tidak diolah dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Sampah makanan menghasilkan emisi gas dalam bentuk metana, memiliki potensi 25 kali lebih besar dibanding karbondioksida dalam meningkatkan pemanasan global.
Hal tersebut disampaikan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), dalam acara Seminar Nasional Pertanian Berkelanjutan ke-2 dengan tema ‘Mitigasi Climates Change dan Pengelolaan Food Waste untuk Mendukung Pariwisata Berkelanjutan’, yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar, bertempat di Aula Kampus Mahasaraswati Denpasar, Kamis (17/11).
Seminar nasional ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran maupun aksi terhadap upaya-upaya pengurangan food loss and food waste.
“Food waste adalah sampah makanan di tingkat konsumen setelah proses distribusi. Data United Nations Environment Programme (UNEP) bahwa ada kurang lebih 1,3 miliar ton food waste yang sebenarnya masih layak dikonsumsi, di mana 61 persen berasal dari rumah tangga, 26 persen berasal dari layanan makanan, kafe, dan 13 persen berasal dari ritel,” kata Wagub Cok Ace yang juga Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Bali ini.
Menurut Wagub Cok Ace, masalah sampah makanan menjadi ironi dalam isu-isu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah berkomitmen untuk mendukung pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) Tahun 2030 (poin ke-12), yaitu pengurangan separuh food waste dan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai Paris Agreement pada 2030.
Komitmen tersebut ditunjukkan dengan mengarusutamakan tujuan, sasaran, dan indikator SDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 dan menjadikan Pembangunan Rendah Karbon (Low Carbon Development) menjadi salah satu program prioritas pada Prioritas Nasional 6 (membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim).
Sesuai dengan data The Economist Intelligence, Indonesia termasuk penghasil sampah makanan (food waste) sebanyak 300 kg/kapita/tahun, di urutan kedua setelah Arab Saudi sebanyak 427 kg/kapita/tahun.
Sedangkan berdasarkan data dari Bappenas terdapat timbunan food loss/waste (FLW) di Indonesia pada 2000-2019 sebanyak 23-48 juta ton/tahun atau 115-184 per kapita/tahun. “Volume dan komposisi sampah yang diproduksi di Bali sebesar 60 persen adalah sampah organik yang sebagian bersumber dari sisa makanan. Gambaran fakta pola konsumsi pangan oleh masyarakat yang boros terhadap pangan,” kata Wagub Cok Ace.
Wagub Cok Ace mengungkapkan, sesuai dengan kajian FLW 2021, nasi adalah jenis sisa makanan terbuang yang paling rutin dilaporkan. Rata-rata dalam 4 dari 7 hari ada nasi yang terbuang sebanyak 0,5–8 sendok makan. Umumnya sisa nasi ini berasal dari proses penyimpanan dalam penghangat nasi yang memang cenderung membuat nasi di dinding wadah lebih cepat mengering.
Olahan sayuran ada di posisi kedua yang paling sering terbuang karena urusan penyimpanan menjadi salah satu permasalahan.
Dampak negatif dari FLW terhadap climate change yaitu berkontribusi dalam peningkatan emisi gas karbondioksida akibat penumpukan limbah makanan di TPA (tempat pembuangan akhir) yang merupakan salah satu penyebab terjadinya global warming.
Sebagian besar emisi gas yang dihasilkan berbentuk gas metana, yang potensinya 25 kali lebih tinggi daripada karbondioksida dalam meningkatkan pemanasan global.
“Berdasarkan hal tersebut diperlukan upaya yang dilakukan bagi pengurangan food loss dan food waste melibatkan berbagai pihak, mulai dari produsen sampai dengan konsumen,” ujar Wagub Cok Ace.
Rektor Universitas Mahasaraswati Denpasar I Made Sukamerta, menyampaikan bahwa acara seminar tersebut dilatarbelakangi oleh isu global yang saat ini sedang gencar, yaitu isu ketahanan pangan global yang harus dicarikan solusi. Diharapkan seminar yang menghadirkan beberapa narasumber yang ahli dalam bidangnya dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan yang positif. *cr78
Hal tersebut disampaikan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), dalam acara Seminar Nasional Pertanian Berkelanjutan ke-2 dengan tema ‘Mitigasi Climates Change dan Pengelolaan Food Waste untuk Mendukung Pariwisata Berkelanjutan’, yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar, bertempat di Aula Kampus Mahasaraswati Denpasar, Kamis (17/11).
Seminar nasional ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran maupun aksi terhadap upaya-upaya pengurangan food loss and food waste.
“Food waste adalah sampah makanan di tingkat konsumen setelah proses distribusi. Data United Nations Environment Programme (UNEP) bahwa ada kurang lebih 1,3 miliar ton food waste yang sebenarnya masih layak dikonsumsi, di mana 61 persen berasal dari rumah tangga, 26 persen berasal dari layanan makanan, kafe, dan 13 persen berasal dari ritel,” kata Wagub Cok Ace yang juga Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Bali ini.
Menurut Wagub Cok Ace, masalah sampah makanan menjadi ironi dalam isu-isu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah berkomitmen untuk mendukung pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) Tahun 2030 (poin ke-12), yaitu pengurangan separuh food waste dan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai Paris Agreement pada 2030.
Komitmen tersebut ditunjukkan dengan mengarusutamakan tujuan, sasaran, dan indikator SDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 dan menjadikan Pembangunan Rendah Karbon (Low Carbon Development) menjadi salah satu program prioritas pada Prioritas Nasional 6 (membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim).
Sesuai dengan data The Economist Intelligence, Indonesia termasuk penghasil sampah makanan (food waste) sebanyak 300 kg/kapita/tahun, di urutan kedua setelah Arab Saudi sebanyak 427 kg/kapita/tahun.
Sedangkan berdasarkan data dari Bappenas terdapat timbunan food loss/waste (FLW) di Indonesia pada 2000-2019 sebanyak 23-48 juta ton/tahun atau 115-184 per kapita/tahun. “Volume dan komposisi sampah yang diproduksi di Bali sebesar 60 persen adalah sampah organik yang sebagian bersumber dari sisa makanan. Gambaran fakta pola konsumsi pangan oleh masyarakat yang boros terhadap pangan,” kata Wagub Cok Ace.
Wagub Cok Ace mengungkapkan, sesuai dengan kajian FLW 2021, nasi adalah jenis sisa makanan terbuang yang paling rutin dilaporkan. Rata-rata dalam 4 dari 7 hari ada nasi yang terbuang sebanyak 0,5–8 sendok makan. Umumnya sisa nasi ini berasal dari proses penyimpanan dalam penghangat nasi yang memang cenderung membuat nasi di dinding wadah lebih cepat mengering.
Olahan sayuran ada di posisi kedua yang paling sering terbuang karena urusan penyimpanan menjadi salah satu permasalahan.
Dampak negatif dari FLW terhadap climate change yaitu berkontribusi dalam peningkatan emisi gas karbondioksida akibat penumpukan limbah makanan di TPA (tempat pembuangan akhir) yang merupakan salah satu penyebab terjadinya global warming.
Sebagian besar emisi gas yang dihasilkan berbentuk gas metana, yang potensinya 25 kali lebih tinggi daripada karbondioksida dalam meningkatkan pemanasan global.
“Berdasarkan hal tersebut diperlukan upaya yang dilakukan bagi pengurangan food loss dan food waste melibatkan berbagai pihak, mulai dari produsen sampai dengan konsumen,” ujar Wagub Cok Ace.
Rektor Universitas Mahasaraswati Denpasar I Made Sukamerta, menyampaikan bahwa acara seminar tersebut dilatarbelakangi oleh isu global yang saat ini sedang gencar, yaitu isu ketahanan pangan global yang harus dicarikan solusi. Diharapkan seminar yang menghadirkan beberapa narasumber yang ahli dalam bidangnya dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan yang positif. *cr78
Komentar