MUTIARA WEDA: Di mana Hebatnya Berderma?
Na dānādduskarataram trisu lokesu vidyate, Arthe hi mahati trsnā sa ca krcchrena labhyate. (Sarasamucchaya, 178)
Tidak ada yang lebih sulit daripada memberikan apa yang diperoleh dengan kerja yang menyakitkan. Lagipula, kerinduan dan dahaga seseorang begitu dalam dan besar.
TEKS menyebutkan bahwa pahala orang yang melakukan derma sangat banyak. Beberapa di antaranya seperti keselamatan, kenikmatan yang melimpah, umur panjang, murah rezeki, dekat dengan Tuhan, dan bahkan jaminan surga. Setiap agama bahkan mengajarkan hal yang sama. Derma adalah perilaku mulia yang menyebabkan para Dewa langsung memberikan anugerah-Nya. Orang yang banyak melakukan derma akan dipuji orang, dimuliakan, dan bahkan dipuja. Demikian tinggi kemuliaan derma itu sehingga ini dijadikan sebagai barometer keberhasilan seseorang dalam olah spiritual. Namun, apakah benar demikian? Mengapa orang yang memberikan kekayaannya kepada orang lain justru dikatakan akan mendapat kenikmatan yang melimpah? Tidakkah berbalik, orang yang diberikan derma justru memperoleh kenikmatan dan orang yang memberi berkurang kenikmatannya.
Paradoks memang. Tetapi, mengapa derma begitu ditinggikan dengan janji-janji? Teks di atas mungkin menguraikan penyebabnya. Oleh karena berderma adalah pekerjaan yang paling sulit. Mengapa sulit? Karena dahaga dan kerinduan orang akan kekayaan begitu besar. Bagaimana mungkin mereka mudah melepaskan materi yang diperolehnya dengan susah payah? Orang menjadi kaya itu tidak serta merta. Mereka harus bekerja keras, melewati berbagai kesulitan, melewati banyak kerugian. Ketika semua didapat, lalu disuruh melepaskannya, tentu menjadi pekerjaan berat. Namun, dalam rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera, harta yang dimilikinya mesti dikontribusikan kepada mereka yang benar-benar memerlukan. Harta tersebut mesti dapat dijadikan sebagai pijakan untuk kehidupan atau usaha orang lain. Intinya, derma itu penting dilakukan dalam rangka kesejahteraan sosial, agar masyarakat terhindar dari kelaparan dan penderitaan.
Lalu mengapa harus dengan janji-janji seperti kenikmatan dan yang lainnya? Pertama, orang secara alami greedy, disadari atau tidak. Tidak akan ada orang mau melakukan sesuatu tanpa balasan. Ini adalah hukum. Sehingga, agar orang mau memberikan hartanya untuk kepentingan orang lain, maka dia harus diberikan janji bahwa perbuatannya itu mulia dan akan dibalas berlipat-lipat. Orang tertarik berbagi karena keuntungan berlipatnya itu. Orang sering menyebut sebagai ‘menabung karma baik’. Bagaimana mungkin orang mau membagikan hartanya jika tidak ada keyakinan akan adanya balasan surga, keselamatan, kesehatan, kekayaan yang berlipat, dan yang sejenisnya. By design orang selalu earning.
Kedua, meskipun tertarik dengan janji-janjinya tersebut, sesungguhnya secara spiritual orang akan bertumbuh. Mengapa? Karena rasa ikhlas dan lapang hati tumbuh di dalam dirinya. Meskipun janji surga dan kenikmatan tak terbatas diyakininya, tetapi tidak ada jaminan pasti, sehingga pada saat dia berbagi, keikhlasan itu hadir. Sebenarnya, inti berderma itu adalah di sini, yakni mengembangkan kesadaran spiritual itu. Derma adalah media untuk meningkatkan rasa tulus dan ikhlas. Perkembangan spiritual bisa terjadi hanya ketika kemelekatan dengan hal-hal duniawi menipis. Jadi, praktik derma adalah latihan untuk itu. Agar ketulusan hati hadir, maka janji-janji itu bisa dijadikan pancingan. Keserakahannya harus diakomodasi. Jika dari awal orang diajarkan bahwa derma itu akan berdampak secara spiritual, mungkin tidak ada yang mau melakukannya, tetapi jika dikatakan akan memberikan kesenangan yang berlipat, banyak orang tertarik.
Ketiga, tidak tertutup kemungkinan bahwa kesenangan yang berlipat itu bisa diraih oleh mereka yang berderma. Seperti misalnya: Orang itu akan dihormati oleh masyarakat. Bagi orang yang memiliki banyak uang, maka rasa hormat lebih tinggi nilainya dibandingkan hartanya, sehingga dia rela berbagi. Tentu rasa hormat yang diberikan kepadanya membuat kesenangannya berlipat. Demikian juga karena rasa ikhlas itu muncul dalam dirinya, maka dia akan bekerja lebih tenang, lebih fokus, dan berorientasi pada proses, sehingga hasilnya pun berlipat. Ini terjadi oleh karena rasa ikhlasnya telah tumbuh. Dia tidak lagi sepenuhnya berorientasi pada hasil, sehingga ada ruang untuk melakukan pekerjaan dengan berorientasi pada proses. Biasanya, kesuksesan besar akan diperoleh jika orang bekerja berorientasi pada proses. *
I Gede Suwantana
1
Komentar