Bisa Bikin Bayi Lancar Bicara, Ditabuh Saat Upacara Dewa Yadnya
Selain hanya boleh ditabuh untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya di Desa Pakraman Gadungan, Gong Dewa juga tidak dibolehkan pentas di luar utama mandala pura
Keberadaan Gong Sakral di Banjar Wani, Desa Pakraman Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur
TABANAN, NusaBali
Ada sebarung gong sakral di Banjar Wani, Desa Pakraman Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan. Gong sakral yang diberi nama ‘Gong Dewa’ ini hanya boleh ditabuh saat upacara Dewa Yadnya, itu pun harus ditabuh di utama mandala (jeroan) pura. Krama setempat percaya Gong Dewa ini berkhasiat untuk membuat anak balita bisa ngo-mong dengan lancar.
Sepintas, Gong Dewa ini sama seperti barungan gong umumnya di Bali. Yang membedakan adalah suara selendro-nya yang tidak senyaring seperti gong umumnya. Selebihnya, bagian-bagian gong pun sama seperti gong milik krama Bali di tempat lain. Ada cengceng (7 cakep), kempli, kempur, tawa-tawa, reong, terompong, jublag, gangsa, dan gong.
Gong Dewa di Desa Pakraman Gadungan ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1930. Gong sakral ini adalah milik 17 orang dalam satu keluarga besar, yang secara turun temurun trah (keturunan)-nya menjadi anggota sekaa. Mereka tergabung dalam Sekaa Gong Suci.
Mereka pula yang menabuh Gong Dewa inilah yang menabuh Gong Dewa. Terakhir, Gong Dewa ditabung saat piodalan (upacara Dewa Ya-dnya) di salah merajan (pura keluarga) di Banjar Wani, Desa Pakraman Gadungan pada Sukra Paing Pahang, Jumat (12/5).
Kelian Sekaa Gong Suci, I Ketut Parwa, 41, menyatakan Gong Dewa ini sejak awal keberadaannya tahun 1930 sudah lengkap sebarung. Keberadaan Gong Dewa ini berawal dari perkumpulan leluhurnya yang berjumlah 17 orang dan mereka berniat memiliki sebarung (seperangkat) gong.
Akhirnya, mereka membeli sebarung gong yang kemudian diberi nama Gong Dewa. Sebarung Gong Dewa ini disimpan di Banjar Wani, Desa Pakraman Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur. Namun, anggota Sekaa Gong Suci yang menabuh Gong Dewa tidak hanya asal Banjar Wani, namun dari berbagai banjar lingkup Desa Gadungan. Mereka sebagian besar masih trah 17 orang yang awalnya membeli Gong Dewa.
“Gong sakral ini dinamakan Gong Dewa, karena selalu ditabuh untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya. Sejak awal hingga sekarang, krama desa mempercayai kalau melaksanakan upacara keagamaan (Dewa Yadnya), harus dilengkapi dengan tabung Gong Dewa,” jelas Ketut Parwa, Jumat kemarin.
Saat ini, kata Ketut Parwa, Gong Dewa lebih banyak dimainkan oleh krama yang sudah lanjut usia. Masalahnya, jarang ada generasi muda yang bisa memainkan gending-gending dalam tabuh Gong Dewa, yang rata-rata sulit. Untuk mempelajarinya sangat sukar, karena bunyi gong yang bero. "Orang susah belajarnya, karena suara gongnya bero,” beber Ketut Parwa.
Menurut Ketut Parwa, dalam upacara Dewa Yadnya, ada 10 gending yang harus ditabuh Sekaa Gong Suci. Di antaranya, tabuh Pemungkah, tabuh Pengundang, tabuh Taksu, tabuh Selulung, tabuh Dendeng Doreng, tabuh Bias Membah, dan tabuh Pengaritan. Gending-gending tabuh ini diwarisi secara turun temurun. "Kalau generasi sekarang sulit memainkannya, jika tidak betul-betul getol dan intens belajar,” katanya.
Selain ditabuh khusus untuk mengiringi pelaksanaan upacara Dewa Yadnya, kata Ketut Parwa, Gong Dewa ini juga dipercayai bertuah untuk membuat bayi cepat lancar ngomong. Jika ada krama yang bayinya belum bisa ngomong, biasanya mereka nunas tirta (air suci) Gong Dewa. “Tirta itu kemudian diminum oleh si bayi. Biasanya, setelah dapat tirta Gong Dewa, si bayi jadi lancar ngomong,” ungkap Ketut Parwa.
Ketut Parwa mengisahkan, Gong Dewa milik Sekaa Gong Suci ini sangat disakralkan. Saking sakralnya, saat pentas dalam upacara Dewa Yadnya, Gong Dewa ini hanya boleh ditabuh di utama mandala pura. Gong Dewa pantang ditabuh di madya mandala, apalai di nista mandala pura.
Meletakkan Gong Dewa juga tidak boleh juga di bawah, melainkan ada tempat khusus yang dibawa oleh Sekaa Gong Suci. Sisi pingit lainnya, Gong Dewa hanya boleh ditabuh saat upacara Dewa Yadnya. Tidak boleh membunyikan Gong Dewa saat upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya.
Menurut Ketut Parwa, suatu ketika pernah terjadi peristiwa di mana Gong Dewa ditabuh saat upacara kematian (Pitra Yadnya). Apa yang terjadi? Tiba-tiba, banyak krama yang kerauhan (kesurupan massal), sementara suara Gong Dewa kedengaran tidak karuan. "Makanya, sampai saat ini kami tidak berani melanggar pantangan itu. Gong Dewa hanya ditabuh saat upacara Dewa Yadnya,” sebut Ketut Parwa.
Kendati sakral, Gong Dewa sangat sering ditabuh, tergantung intensitas upacara Dewa Yadnya yang digelar krama di Desa Pakraman Gadungan dan sekitarnya. Makin sering ada upacara Dewa Yadnya, kian sering pula Gong Dewa ditabuh. Biasanya, Gong Dewa ditabuh berdasarkan pesanan (diupah) untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya.,
Ketut Parwa menjelaskan, jika diupah menabuh full seharian untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya, Sekaa Gong Suci dibayar Rp 1 juta. “Sebaliknya, jika diupah menabuh setengah hari, kami dibayar sebesar Rp 600.000,” terang Ketut Parwa.
Versi Ketut Parwa, di seantero Tabanan, ada gong serupa Gong Dewa hanya ada di tiga tempat. Pertama, Gong Dewa di Banjar Wani, Desa Pakraman Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur ini. Kedua, di Banjar Wani, Desa Wani, Kecamatan Kerambitan. Ketiga, di Banjar Kesiut, Desa Timpag, Kecamatan Kerambitan. "Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan sudah pernah mendata kami," terang Ketut Parwa. * d
Komentar