Prof Bandem Bicara Desakralisasi Seni Sakral di Bali
Kesenian Wali dan Bebali Harus Dipertahankan Eksistensinya
DENPASAR, NusaBali
Budayawan Bali Prof Dr I Made Bandem MA mengungkapkan banyak kesenian sakral di Bali yang dipentaskan untuk tujuan di luar ritual keagamaan.
Prof Bandem mengatakan kesenian-kesenian sakral tersebut justru dipentaskan untuk tujuan hiburan (profan) sehingga kesenian sakral saat ini dihadapkan pada proses desakralisasi.
Perihal tersebut disampaikannya ketika menjadi salah satu narasumber pada Pasamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022 yang berlangsung 26-27 November 2022 di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center) Denpasar, Minggu (27/11).
"Konteksnya berbeda. Akan hilang taksunya, sakralnya kalau seni sakral untuk mencari penghargaan, menyambut tamu yang bukan kepentingan sakralisasi," ujar Prof Bandem. Prof Bandem mengatakan, isu desakralisasi menjadi tema sentral dalam Pesamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022. Menurutnya usaha untuk mengklasifikasikan kesenian Bali sudah dilakukan sebelumnya, menjadi kesenian wali, bebali, dan balih-balihan. Kesenian sakral sendiri berada pada ranah wali dan bebali.
Menurut Prof Bandem kesenian wali dan bebali sebagai seni sakral harus dipertahankan eksistensinya. Pasalnya kedua jenis seni sakral tersebut juga sebagai inspirasi dalam penciptaan seni balih-balihan di Bali.
Lebih jauh Prof Bandem menyampaikan tiga seni sakral Bali, yaitu Tari Rejang, Tari Sanghyang, dan Tari Baris Gede telah dikukuhkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Dari ketiganya Tari Rejang yang kerap terdengar dipentaskan menjadi tarian profan untuk kepentingan di luar ritual. "Banyak sekali orang menciptakan Rejang baru, banyak sekali dipentaskan di luar konteks keagamaan. Penciptaan baru juga mungkin tidak melewati proses sakralisasi, proses itu penting kalau mau dipentaskan di Pura nanti," ungkap mantan Ketua STSI Denpasar dan Rektor ISI Jogjakarta ini. Prof Bandem menjelaskan ada sekitar 52 Tari Rejang di Bali yang sejatinya memiliki fungsi sebagai tarian penyambutan Bhatara-Bhatari pada ritual keagamaan Hindu di Bali.
Tari Rejang umumnya ditarikan oleh perempuan. Prof Bandem melihat tidak jadi soal jika ada laki-laki yang menarikannya. Namun konteksnya tetap pada saat ritual keagamaan, bukan sebagai lelucon seperti yang belakangan beredar secara viral di media sosial. "Saya kurang setuju dan itu harus dihapus," tegas Prof Bandem.
Dikatakannya, penghapusan ribuan video terkait pelecehan kesenian Bali sudah pernah dilakukan bekerjasama dengan ITB Stikom Bali. Selanjutnya Prof Bandem mendorong Disbud Provinsi Bali kembali melakukan peretasan terhadap video-video serupa yang satu persatu kembali bermunculan.
Sebelumnya Gubernur Bali Wayan Koster dalam sambutan saat membuka Pesamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022, Sabtu (26/11), meminta masyarakat agar tidak mementaskan Tari Rejang sebagai tari penyambutan tamu dalam berbagai acara. Sebab, Tari Rejang bersifat sakral dan tidak elok dipentaskan di luar konteks upacara keagamaan. “Sakral ya sakral, jangan diobral. Tari Rejang termasuk tari yang sakral, jadi jaga dia,” tegasnya. “Oleh karena itu, Tari Rejang ini jangan ditarikan ke mana-mana, dipakai nyambut Gubernur, itu salah. Karena itu dipakai untuk menyambut Ida Bhatara dan para Dewa,” kata Gubernur Koster.
Mantan anggota DPR RI ini menambahkan, banyak yang salah kaprah terhadap penempatan tarian sakral di Bali. Hal itu menurutnya menjadi tantangan tersendiri bagi orang Bali. “Mengapa saya perlu menekankan ini karena (penggunaan tarian tersebut) sudah lari ke mana-mana. Tari Rejang Renteng, Tari Rejang Dewa, Tari Rejang yang lainnya dibawa ke mana-mana dan di tempat yang tidak sepantasnya. Inilah yang merusak dan kitalah yang juga merusak,” sebut Gubernur Koster. Dia menambahkan, ada banyak tari kreasi Bali yang bisa digunakan sebagai tari penyambutan. Dia meminta seluruh komponen yang tergabung dalam Majelis Kebudayaan Bali (MKB) agar turut menjaga kesenian Bali agar ditempatkan sebagaimana fungsi dan tujuan aslinya.
Sementara Ketua Sabha Prajuru Majelis Kebudayaan Bali, Prof Dr Komang Sudirga melaporkan bahwa Pesamuhan Agung Kebudayaan Bali digelar berkat kerja sama Dinas Kebudayaan Provinsi Bali bekerjasama dengan Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Tingkat Provinsi Bali. Acara ini akan berlansung selama dua hari, dari tanggal 26-27 November 2022 dengan mengambil tema ‘Budaya Pramananing Caksu Siddhi Taksu Jagat Bali’ yang berarti Budaya sebagai Spirit Menghidupkan Taksu Bali. Pesamuhan ini dilaksanakan untuk mengembalikan nilai-nilai kebudayaan Bali yang saat ini mulai terdestruksi oleh gempuran arus globalisasi, dan kemajuan teknologi informasi. *cr78
Perihal tersebut disampaikannya ketika menjadi salah satu narasumber pada Pasamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022 yang berlangsung 26-27 November 2022 di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center) Denpasar, Minggu (27/11).
"Konteksnya berbeda. Akan hilang taksunya, sakralnya kalau seni sakral untuk mencari penghargaan, menyambut tamu yang bukan kepentingan sakralisasi," ujar Prof Bandem. Prof Bandem mengatakan, isu desakralisasi menjadi tema sentral dalam Pesamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022. Menurutnya usaha untuk mengklasifikasikan kesenian Bali sudah dilakukan sebelumnya, menjadi kesenian wali, bebali, dan balih-balihan. Kesenian sakral sendiri berada pada ranah wali dan bebali.
Menurut Prof Bandem kesenian wali dan bebali sebagai seni sakral harus dipertahankan eksistensinya. Pasalnya kedua jenis seni sakral tersebut juga sebagai inspirasi dalam penciptaan seni balih-balihan di Bali.
Lebih jauh Prof Bandem menyampaikan tiga seni sakral Bali, yaitu Tari Rejang, Tari Sanghyang, dan Tari Baris Gede telah dikukuhkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Dari ketiganya Tari Rejang yang kerap terdengar dipentaskan menjadi tarian profan untuk kepentingan di luar ritual. "Banyak sekali orang menciptakan Rejang baru, banyak sekali dipentaskan di luar konteks keagamaan. Penciptaan baru juga mungkin tidak melewati proses sakralisasi, proses itu penting kalau mau dipentaskan di Pura nanti," ungkap mantan Ketua STSI Denpasar dan Rektor ISI Jogjakarta ini. Prof Bandem menjelaskan ada sekitar 52 Tari Rejang di Bali yang sejatinya memiliki fungsi sebagai tarian penyambutan Bhatara-Bhatari pada ritual keagamaan Hindu di Bali.
Tari Rejang umumnya ditarikan oleh perempuan. Prof Bandem melihat tidak jadi soal jika ada laki-laki yang menarikannya. Namun konteksnya tetap pada saat ritual keagamaan, bukan sebagai lelucon seperti yang belakangan beredar secara viral di media sosial. "Saya kurang setuju dan itu harus dihapus," tegas Prof Bandem.
Dikatakannya, penghapusan ribuan video terkait pelecehan kesenian Bali sudah pernah dilakukan bekerjasama dengan ITB Stikom Bali. Selanjutnya Prof Bandem mendorong Disbud Provinsi Bali kembali melakukan peretasan terhadap video-video serupa yang satu persatu kembali bermunculan.
Sebelumnya Gubernur Bali Wayan Koster dalam sambutan saat membuka Pesamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022, Sabtu (26/11), meminta masyarakat agar tidak mementaskan Tari Rejang sebagai tari penyambutan tamu dalam berbagai acara. Sebab, Tari Rejang bersifat sakral dan tidak elok dipentaskan di luar konteks upacara keagamaan. “Sakral ya sakral, jangan diobral. Tari Rejang termasuk tari yang sakral, jadi jaga dia,” tegasnya. “Oleh karena itu, Tari Rejang ini jangan ditarikan ke mana-mana, dipakai nyambut Gubernur, itu salah. Karena itu dipakai untuk menyambut Ida Bhatara dan para Dewa,” kata Gubernur Koster.
Mantan anggota DPR RI ini menambahkan, banyak yang salah kaprah terhadap penempatan tarian sakral di Bali. Hal itu menurutnya menjadi tantangan tersendiri bagi orang Bali. “Mengapa saya perlu menekankan ini karena (penggunaan tarian tersebut) sudah lari ke mana-mana. Tari Rejang Renteng, Tari Rejang Dewa, Tari Rejang yang lainnya dibawa ke mana-mana dan di tempat yang tidak sepantasnya. Inilah yang merusak dan kitalah yang juga merusak,” sebut Gubernur Koster. Dia menambahkan, ada banyak tari kreasi Bali yang bisa digunakan sebagai tari penyambutan. Dia meminta seluruh komponen yang tergabung dalam Majelis Kebudayaan Bali (MKB) agar turut menjaga kesenian Bali agar ditempatkan sebagaimana fungsi dan tujuan aslinya.
Sementara Ketua Sabha Prajuru Majelis Kebudayaan Bali, Prof Dr Komang Sudirga melaporkan bahwa Pesamuhan Agung Kebudayaan Bali digelar berkat kerja sama Dinas Kebudayaan Provinsi Bali bekerjasama dengan Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Tingkat Provinsi Bali. Acara ini akan berlansung selama dua hari, dari tanggal 26-27 November 2022 dengan mengambil tema ‘Budaya Pramananing Caksu Siddhi Taksu Jagat Bali’ yang berarti Budaya sebagai Spirit Menghidupkan Taksu Bali. Pesamuhan ini dilaksanakan untuk mengembalikan nilai-nilai kebudayaan Bali yang saat ini mulai terdestruksi oleh gempuran arus globalisasi, dan kemajuan teknologi informasi. *cr78
1
Komentar