Youngpreneur Mode Bali Lebih Suka Kebaya Indonesia Jadi Single Nomination
DENPASAR, NusaBali.com – Youngpreneur atau pengusaha muda di bidang mode lebih memilih Indonesia mengajukan kebaya sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO sebagai single nomination ketimbang joint bidding dengan empat negara lain.
Seperti yang diberitakan, ada empat negara yang memutuskan berkongsi untuk mengajukan kebaya sebagai WBTb UNESCO pada tahun 2023 yakni Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, pada sebuah diskusi interaktif, pengajuan WBTb ke UNESCO melalui jalur joint bidding ini dinilai lebih mudah untuk tembus ketimbang single nomination. Oleh karena itu, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini menyarankan agar Indonesia turut bergabung saja dengan empat negara tersebut.
“Tetapi, karena Komisi X DPR RI dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sudah ketuk palu bahwa kebaya akan diajukan sebagai single nomination maka kami di Kemenparekraf akan mendukung di sektor hilirnya, di bidang kerajinannya,” ungkap Sandiaga, Minggu (27/11/2022) malam.
Namun, masyarakat cukup berang lantaran menilai kebaya sebagai budaya berpakaian bangsa Indonesia yang banyak dipakai di daerah Sumatera, Jawa, dan Bali, juga beberapa daerah lain di Indonesia. Apalagi, sejak tahun 1978, kebaya ditetapkan sebagai busana nasional perempuan Indonesia.
Meskipun fakta lapangan pada saat ini mengatakan kebaya lebih subur di Indonesia ketimbang di empat negara tersebut, belum dapat dipastikan versi nama yang benar perihal asal kebaya itu sendiri. Ada versi yang mengatakan kebaya berasal dari Timur Tengah, khususnya Persia. Ada pula yang mengatakan kebaya sudah ada sejak era Majapahit yang wilayahnya mencakup Nusantara sehingga kebaya berkembang di Asia Tenggara bukan saja di Indonesia.
Terlepas dari polemik tersebut, dua youngpreneur muda Bali yang memiliki jaringan komunitas masing-masing ini cenderung lebih mendukung Indonesia mengajukan kebaya jadi single nomination WBTb salah satu lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermarkas di Paris, Prancis tersebut.
Dua tokoh muda tersebut adalah Krisna Adi, 25, pemilik usaha mode Makara sekaligus salah satu pemenang Bali Designpreneur Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Bali dari kalangan tunadaksa dan Dayu Harmaita, 31, pemilik usaha mode khusus wanita Anacaraka.
Krisna Adi berpendapat bahwa pelestarian kebaya lebih marak dilakukan di Indonesia dan model dasar dari kebaya pun masih lebih banyak ditemui di Indonesia dibandingkan empat negara lainnya tersebut. Sedangkan di negara-negara tersebut khususnya Brunei, model kebaya di negara tersebut sudah berbeda dari bentuk aslinya lantaran mendapat pengaruh kebudayaan Islam agar berpakaian lebih tertutup.
“Seperti misalnya ada kebaya kurung dan kebaya yang dibuat lebih panjang menutupi badan. Dari segi model, kebaya seperti ini sudah jauh berbeda dari model asalnya yang masih jauh lebih serupa dengan kebaya yang ditemui di Indonesia,” ujar Krisna ketika ditemui di sela-sela acara pameran IKM Bali Bangkit Tahap IX di Arts Centre Denpasar, Senin (28/11/2022) siang.
Oleh karena itu, apabila negara ingin mengusulkan kebaya sebagai single nomination, lulusan Desain Mode, Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar ini mengingatkan pentingnya untuk mengangkat kekhasan yang dimiliki bangsa Indonesia. Hal ini lantaran istilah kebaya yang diajukan oleh keempat negara tersebut belum jelas, apakah itu kebaya secara umum atau kebaya yang berkembang di empat negara pengaju tersebut.
Kasus seperti ini sama dengan pengajuan WBTb pencak silat sebelumnya. Di mana, UNESCO sama-sama mengakui bahwa silat merupakan warisan budaya yang berasal dari Malaysia sedangkan pencak silat dari Indonesia.
Sementara itu, senada dengan Krisna, Dayu Harimaita pun lebih memilih kebaya sebagai single nomination WBTb di UNESCO. Dayu yang memiliki jaringan komunitas mode hingga ke Jawa Timur ini mengaku di dalam komunitas tersebut berang ada negara lain yang mengajukan kebaya sebagai WBTb dunia.
Menurut perempuan asal Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar yang sudah 10 tahun menekuni usaha kebaya lukis ini, saat ini perempuan Indonesia sedang gemar-gemarnya memakai kebaya di berbagai kesempatan. Sebabnya, meskipun dari segi dampak ekonomi joint bidding dengan empat negara tersebut dianggap lebih menguntungkan karena Indonesia akan dapat mengekspor kebaya ke luar negeri, nilai eksklusivitasnya dinilai akan berkurang.
“Ini akan memunculkan kesan kurang eksklusif dan tidak ada rasa memiliki atas warisan busana kebaya itu. Kalau Indonesia maju lewat single nomination seperti misalnya tenun, rasa kepemilikan itu jadi tinggi dibuktikan dengan banyak pejabat saat ini membeli dan menggunakan kain tenun. Kemudian, akan berdampak pula bagi para perajin,” tutur Dayu Harmaita, dijumpai di tempat yang sama secara terpisah.
Meskipun sepaham dalam hal jalur perjuangan pengajuan WBTb kebaya, keduanya kurang sependapat perihal kekhasan apa yang perlu diangkat dari Indonesia.
Menurut Krisna, kebanyakan perempuan Indonesia saat ini menggunakan kebaya berbahan brokat dengan motif khas yang dimiliki beberapa daerah. Oleh karena itu, kebaya brokat ini dapat jadi alternatif kekhasan kebaya dari Indonesia.
Di lain sisi, Dayu tidak sependapat dengan Krisna lantaran brokat filosofinya dianggap kurang karena dibuat oleh pabrik. Selain kurang dari segi filosofi, dampak sosial ekonominya pun menjadi minim terhadap para perajin yang lebih artisan. Dayu juga berpendapat bahwa di Indonesia setidaknya ada tiga pakem kebaya yakni Kutubaru, Kartini, dan Encim (Betawi).
“Model Encim dan bordir tangan ini yang justru saya lihat filosofinya, karena sudah ada dari zaman penjajahan. Apalagi di Indonesia, khususnya di wilayah Tasikmalaya itu ada sentra bordir. Sedangkan brokat ini beberapa saya temui produksi Prancis dan Italia, jadi saya lihat kurang memberdayakan perajin kita,” tegas Dayu Harmaita.
Bola panas pendaftaran WBTb kebaya ini kini berada di tangan Pemerintah Pusat. Dikatakan oleh Menparekraf RI Sandiaga Uno bahwa tahun ini ada tiga dokumen aktif milik Indonesia di UNESCO, yakni Reog Ponorogo yang juga sempat diklaim Malaysia, minuman jamu, dan tempe. Namun, belum diketahui apakah Kemdikbudristek RI dan Kementerian Luar Negeri RI dalam hal ini Kedutaan Besar RI untuk Prancis dan UNESCO bakal menggeser ketiga dokumen ini dengan kebaya pada tahun depan. *rat
Komentar