Sekelumit Kisah Petani Garam di Kusamba, Bertahan di Tengah Sulitnya Regenerasi
SEMARAPURA, NusaBali.com – Matahari pagi terasa hangat menyentuh kulit. Deburan ombak terdengar merdu mengiringi aktivitas pagi masyarakat di Pantai Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali.
Kesibukan masyarakat pesisir pantai ini memang tergolong cukup padat. Selain aktivitas para nelayan, Pantai Kusamba juga menjadi jalur penyeberangan tradisional menuju Pulau Nusa Penita. Tak heran, kawasan pantai yang menjadi saksi bisu sejarah Perang Kusamba ini selalu ramai, hingga menjelang senja hari.
Di tengah padatnya aktivitas masyarakat, terlihat seseorang lelaki renta sibuk dengan pekerjaannya sendiri.
Walaupun terlihat berumur, tubuhnya masih kuat untuk menopang air laut dan menyiramkannya pada lahan menggunakan alat tradisional buatannya. Tetesan keringat pun terlihat jelas membasahi keningnya.
Itulah sosok I Wayan Rena, 69, salah seorang petani garam di Pantai Kusamba. “Tunggu sebentar nggih, saya masih bekerja,” ujar I Wayan Rena dengan ramah saat ditemui di Kelompok Garam Organik Uyah Kusamba, Jalan Eka Bhuana, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Selasa (29/11/2022) pagi.
Meski sudah lanjut usia, bapak tiga anak ini masih terlihat kuat untuk bekerja. Kaos lengan panjang dan topi bambu menjadi pelindung setia dari sengatan sinar matahari.
Dengan alat seadanya, I Wayan Rena terlihat kiat menopang sekitar 70 liter air laut di pundaknya. Sejurus kemudian, lelaki berpostur berisi ini masuk ke dalam gubuk untuk menaruh alat tradisionalnya itu.
Sambil mengipas-ngipaskan topi bambunya, I Wayan Rena mulai bercerita tentang pekerjaan yang selama ini ia geluti.
“Saya merupakan generasi ke-4 yang meneruskan usaha garam Kusamba ini dan sudah menggelutinya sejak tahun 1976,” jelas lelaki berkulit legam ini dengan tatapan menerawang.
Lebih lanjut, I Wayan Rena bercerita jika awalnya ia hanya sebagai kuli bangunan. Setelah tahun 1973 ia menikah dan berkeluarga, istrinya yang merupakan anak seorang petani garam masih berkutat membantu orangtuanya.
Akhirnya ia turut membantu istrinya sebagai petani garam namun menjadi petani garam hanya menjadi sebuah perkerjaan sampingan baginya saat itu.
“Aktivitas pagi saya gunakan untuk berlaut mencari ikan kemudian setelah itu baru memanen air laut,” ujarnya.
Namun seiring bertambahnya usia, ia tidak lagi menjadi seorang nelayan dan fokus menjadi seorang petani garam Kusamba. Setelah fokus menjadi petani garam, ironisnya
Ia mengungkapkan kini di pasar tradisional para pedagang nakal membohongi konsumennya tentang garam Kusamba.
“Itu hanya pedagangnya saja bilang bahwa itu garam Kusamba. Kalau pedagang itu membeli garam Kusamba tidak mungkin dia bisa bersaing karena garam oplosan itu lebih murah. Kalau garam Kusamba disamakan dengan garam lain sudah pasti petani garam tidak bisa hidup,” ujar I Wayan Rena.
Lantas, berapa produksi garam Kusamba dalam satu hari? Ditanya demikian, I Wayan Rena menjelaskan jika tiap harinya, ia bisa menghasilkan sebanyak 10 kilogram garam organik atau palung dan 15-20 kilogram untuk garam jenis geomembran.
Hal ini pun tergantung dari aktivitas terik matahari. Jika cuaca mendung dan tidak hujan, ia hanya bisa menghasilkan setengah dari angka tersebut.
“Kalau musim hujan saya hanya mengandalkan stok saja. Jadi saat musim kemarau, semua garam hasil panen itu tidak saya jual semuanya. Agar saat musim hujan saya masih bisa mendapatkan penghasilan,” ujar I Wayan Rena lirih.
Kini, regenerasi garam tradisional di Pantai Kusamba pun terancam tinggal kenangan. Selain akibat cuaca yang tidak menentu, para generasi muda juga enggan menjadi petani garam.
“Mereka lebih memilih untuk kerja kantoran agar bisa menggunakan pakaian yang rapi. Mereka sudah takut duluan untuk menjadi petani garam karena pekerjaannya yang berat,” ucap I Wayan Rena.
Ia berbicara lirih ketika mengucapkan ‘takut duluan’ dikarenakan menjadi seorang petani garam memang pekerjaan yang melelahkan dan pekerjaan yang berat.
Pasalnya proses pengerjaan dari awal memanen air laut hingga proses penyulingan masih dengan nuansa tradisional. Pada proses awal, sedari pukul 06.00 Wita ia harus memikul air laut dengan satu pikulan saja mencapai 70 liter air laut dan harus menuangkannya sedikit demi sedikit sebanyak 60 kali putaran untuk tahap pemerataan di pasir pantai sampai pukul 10.00 Wita.
“Bedanya dulu kami langsung mengambil air laut ke pantai dan memikul sampai 60 kali. Kalau sekarang sudah dapat bantuan dari pemerintah daerah sejak tahun 2017 berupa genset untuk menarik air. Jadi kami tampung di dalam bak dan kita ambil di dalam gubuk. Jadi lebih dekat prosesnya lebih ringan,” ujarnya.
I Wayan rena turut membeberkan alasannya meminta bantuan genset penarik air kepada pemerintah untuk merangsang minat anak-anak muda bekerja sebagai petani garam.
“Kalau dulu dia (anak muda) melihat petani garam ambil air ke laut kan mereka sudah ngeri duluan sebelum mencoba. Inilah tujuan saya walaupun belum banyak yang tertarik,” ujarnya.
Di usianya yang menjelang senja, I Wayan Rena berharap kepada anak-anak muda di Desa Kusamba untuk turun membuat garam agar regenerasi petani garam tidak ‘tenggelam’ di tanahnya sendiri.
“Harapan saya sudah jelas, mudah-mudahan anak-anak muda mau terjun langsung untuk melestarikan garam Kusamba ini. Kenapa? Karena ini sudah mendapat perhatian oleh pemerintah dan juga pasar saat ini sudah ada,” pungkasnya. *ris
1
Komentar