Intip Proses Memanen Air Laut Secara Tradisional, Hasilkan Kristal Putih Alami nan Gurih
SEMARAPURA, NusaBali.com – Tidak seperti garam pada umumnya, proses memanen air laut secara tradisional menjadi sebuah kristal putih yang gurih tentu perlu memakan waktu yang banyak dan melelahkan. Namun, proses secara tradisional ini menjadi lebih unik karena dapat menghasilkan butiran garam yang lebih kasar dengan cita rasa yang khas.
Salah satu proses memanen air hujan secara tradisional masih dapat kita lihat di Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali.
Dalam prosesnya, air laut masih dipanen secara manual menggunakan alat dan cara yang tentunya tradisional dan memerlukan kesabaran yang ekstra sebelum garam Kusamba bisa dikonsumsi.
Ada rangkaian kegiatan berhari-hari sampai air laut berubah menjadi garam yang siap untuk dikonsumsi.
Mau tahu proses pembuatannya? Berikut NusaBali.com rangkum sesuai dengan hasil pengamatan bersama narasumber yakni I Wayan Rena, 69, salah seorang petani garam di Pantai Kusamba.
I Wayan Rena menjelaskan langkah pertama yang harus ia lakukan yakni mengambil air laut menggunakan alat tradisional (teku) berbahan karet. Dalam satu panggul I Wayan Rena bisa menopang sekitar 70 liter air laut di pundaknya.
Proses selanjutnya air laut tersebut ia siram perlahan ke pasir pantai atau ladang garam buatannya yang panas di bawah terik matahari.
“Proses ini diulang 3-4 kali untuk mendapatkan air tua (lapisan air paling atas dalam pembuatan garam, Red). Saya bisa memikul air laut ini sebanyak 60 kali dalam sehari. Setelah itu kita tunggu keringnya bisa sampai 4 jam. Setelah kering harus kita garuk dan kita kumpulkan ke dalam bak kayu,” ujarnya yang juga menyebutkan ini adalah proses yang dinamakan tahap penyulingan.
Proses dalam bak inilah, kata I Wayan Rena yang menjadi pemisahan antara garam dan pasir. Selanjutnya pasir akan kembali disiram menggunakan air laut yang sudah diproses. Proses ini memerlukan ketelitian dan kehati-hatian, karena kristal-kristal dalam pasir akan mengalir melalui lubang kecil yang berada di bawah bak kayu. Air dari bak ini ditampung dalam wadah, bak yang terbuat dari batang pohon kelapa.
“Pasir tersebutlah yang nantinya akan disiram kembali dengan air laut sehingga mendapatkan air garam pertama atau yeh wayah, air yang siap dijadikan garam. Air garam murni hasil sulingan itu nanti di taruh pada alat tradisional berupa pohon kelapa yang dibelah menjadi dua dan kemudian di taruh di bawah terik sinar matahari,” ujar I Wayan Rena.
I Wayan Rena tak lupa menjelaskan, jika proses pembuatan garam Kusamba tidak bisa dihasilkan dalam satu hari melainkan melalui proses 2 sampai tiga hari tergantung dengan terik matahari.
Namun jika air garam yang telah dijemur mendapat panas matahari yang cukup, air tersebut akan mengkristal dan inilah yang disebut dengan garam organik Kusamba. Saat proses pengambilannya pun masih menggunakan tempurung kelapa sehingga menghasilkan butiran-butiran garam kecil.
Sehingga dalam satu kali produksi, I Wayan Rena bisa menghasilkan sebanyak 10 kilogram garam organik atau palung dan 15-20 kilogram untuk garam jenis geomembran. Hal ini pun tergantung dari aktivitas terik matahari. Jika cuaca mendung dan tidak hujan, ia hanya bisa menghasilkan setengah dari angka tersebut.
“Kalau musim hujan saya hanya mengandalkan stok saja. Jadi saat musim kemarau, semua garam hasil panen itu tidak saya jual semuanya. Agar saat musim hujan saya masih bisa mendapatkan penghasilan,” ujar Wayan Rena lirih.
Selama proses pengerjaan, memang bisa dikatakan butuh kesabaran ekstra. Namun, hasil kesabaran para petani garam berbuah manis, butiran-butiran garam kasar khas Kusamba bisa dinikmati dengan rasa asin yang tidak meninggalkan rasa pahit di lidah dan menjadi garam favorit bagi turis mancanegara asal Jepang.
“Tentu dari segi rasa berbeda walau sama-sama asin. Kalau yang palung itu rasanya lebih gurih dan tidak pahit,” tandasnya. *ris
1
Komentar