Berbahasa di Akar, Batang, dan Ujung Rumput
EKOSISTEM bahasa Bali terbentuk oleh hubungan timbal balik antara penutur ‘basa Bali’ dengan lingkungan.
Interaksi timbal balik antara penutur dan kemajuan teknologi akan memunculkan struktur kaotik dalam penggunaan bahasa Bali di akar rumput, batang rumput maupun ujung rumput. Contoh paling jelas disadap dari banyolan Golak, Made Punk, Nyoman Klepon, dan Ketut Nyamprut tokoh utama komik ‘Punk Kwala Ngibur’, seperti ‘kijap-kijep tusing ngerti’, Booee, masa?’, ‘Ya, iyalah’, ‘Apang sing jelemane gen ane sok kekinian’, dan seterusnya. Alih kode, campur kode, dan silang kode saling berseteru dalam pemakaiannya. Sungguh dapat dimaklumi pemakaian bahasa Bali di akar rumput seperti itu. Dan, mungkin itu ada relasinya dengan pendidikan yang kurang. Semestinya, ahli ekolinguistik Bali tergerak untuk menerapi secara fonetis, gramatikal, semantis, maupun stilistis kesalahan dan kekacuan berbahasa di akar rumput. Kalau tidak dilakukan terapi cepat dan tepat, dikhawatirkan bahasa Bali terkungkung sindrom Lemming, penghancuran diri sadar.
Berbahasa Bali di ‘batang rumput’ atau penutur berpendidikan menengah, fenomena lingual serupa muncul. Misalnya, ‘Bahasa Bali ini sudah memasuki masa expired’, ‘Sira malih request lagu-lagu dangdut?’, ‘Apang sing jelemane gen ane sok kekinian’. Pendidikan terbukti tidak mencerdaskan penutur basa Bali agar benar dalam berbahasa tulis maupun lisan. Mereka fasih menyebut diri generasi Z, tetapi olah kalbu dan olah pikir mereka tidak beranjak jauh dari generasi ‘Baby Boom’. Menurut Steffensen (2007), tokoh ekolinguistik dialektikal, bahasa dibentuki oleh praksis sosial atau merupakan produk sosial dari aktivitas penutur.
Berbahasa Bali di kalangan ‘ujung rumput’, seperti pengusaha besar, birokrat, politisi, alih kode dari bahasa lokal ke bahasa Indonesia atau bahasa asing lumrah terjadi. Karena kompetensi berbahasa kurang, strategi berbahasanya menerapkan alih kode, agar komunikasi lancar dan berlanjut. Agar ide mengalir maka persoalan sampah, pilkada, dan hal lainnya disampaikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Sepertinya, mereka tak berpusing mengajegkan bahasa Bali dengan segala pakem dan kompleksitas persoalannya? Mereka kurang memikirkan nilai-nilai kekinian apa yang semestinya menjadi bahan segar dalam meracik, meramu, dan memasak menu bahasa Bali agar menjadi bahasa dinamis? Keterlangsungan suatu bahasa sebagai produk budaya amat terikat oleh kuasa ‘penutur ujung rumput’ itu. Diksi pertanian, seperti ‘tenggala, ngangon, nyau, ngempel yeh, nyuluh lindung’ tak mendapatkan tempat karena keberadaan sawah semakin diparut aspal, dipagut hotel, diwarisi perumahan, dan dilatahi pertokoan. Adakah upaya serius untuk mencegah pengalihfungsian lahan secara yuridis sistematis?
Kekacauan berbahasa Bali ini mungkin dapat diterapi secara budaya. Jepang, misalnya mengonstruksi sikap dan budaya berbahasa Jepang lewat berbagai media. Mereka memanfaatkan komik, film, media sosial, dan media pertunjukan sebagai booster untuk mendekatkan penutur bahasa Bali dengan realitanya. Sehingga, anak, remaja, dan orang dewasa Bali akan lebih akrab secara fonetis, leksis, gramatikal, dan langgam berbahasa Bali dibandingkan bahasa Indonesia atau bahasa asing. Dengan pendekatan budaya, maka diharapkan krama Bali mengakrabi Patih Kebo Iwa dibandingkan Samurai Miyamoto Mushashi; lebih memaknai ‘mejukut di natah—lelor’, majempong bebek—ngambul’; atau ‘ngejuk balang ngaba alutan’ dan tidak diribetkan dengan ‘sor singgih’ yang cenderung kaku dan formal. Jadi, pendekatan ekologi terhadap bahasa Bali adalah memetakan konsumsi ‘pangan’ dan mengetahui struktur serta skala ‘pangan’ dari bahasa Bali beserta penutur dalam dan luarnya, atau siapa penuturnya, siapa interlokutornya pada tingkat mana penggunaannya dan seterusnya. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc,PhD
1
Komentar