Ritual Matigtig di Desa Adat Bebandem Digelar 33 Tahun Sekali saat Purnama Kaenem
Sarana Menolak Bala Sekaligus Tradisi Budaya
Ritual matigtig diikuti krama laki-laki dengan cara berhadapan-hadapan, saling serang secara bergantian menggunakan senjata pelepah pisang.
AMLAPURA, NusaBali
Ritual matigtig (saling pecut gunakan senjata pelepah pisang) dipercaya sebagai sarana mengusir wabah (tolak bala) dan melenyapkan kotoran batin di dalam diri seseorang. Ritual kali ini diselenggarakan di Jaba Pura Bale Agung, Banjar Desa Tengah, Desa Adat Bebandem, Kecamatan Bebandem, Karangasem pada Saniscara Kliwon Wariga, Sabtu (10/12) sekitar pukul 15.00 Wita.
Ritual matigtig diselenggarakan usai Ida Bhatara Samudaya dari Desa Adat Bebandem, Kecamatan Karangasem katuran upacara mabiasa (persembahan, upacara mengelilingi wilayah Desa Adat Bebandem), bersama Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug, Kecamatan Karangasem.
Awalnya Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug, di antaranya Ida Bhatara Lingsir Bugbug, Ida Bhatara Ratu Galuh, Ida Bhatara Ratu Pasek, Ida Bhatara Bagus Besakih, Ida Bhatara gede Gumang, Ida Bhatara Ratu Ayu Pudal, katuran (mendapatkan persembahan) terkait Aci Ngusaba Ageng di Pura Puseh, Desa Adat Datah, Kecamatan Abang saat Purnama Kaenem pada Wraspati Pon Wariga, Kamis (8/12).
Selanjutnya sekembali Ida Bhatara Desa Adat Bugbug dari Pura Puseh Desa Adat Datah, singgah di Pura Bale Agung Desa Adat Bebandem, Kecamatan Bebandem pada Saniscara Kliwon Wariga, Sabtu (10/12). Selama di Desa Adat Bebandem, Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug bersama Ida Bhatara di Desa Adat Bebandem, dapat persembahan ritual mabiasa (mengelilingi) wilayah Desa Adat Bebandem.
Berlanjut upacara mapurwadaksina, berkeliling di Pura Bale Agung, Desa Adat Bebandem, kemudian seluruh pralingga Ida Bhatara distanakan di panggungan dan Bale Agung di Pura Bale Agung Desa Adat Bebandem.
Selanjutnya krama pangayah dari Desa Adat Bebandem melaksanakan ritual matigtig di jaba Pura Bale Agung, dengan bersenjatakan pelepah pisang.
Peserta matigtig krama Desa Adat Bebandem syaratnya tanpa mengenakan busana atasan.
Bendesa Adat Bebandem I Gede Warsa menyatakan matigtig merupakan ritual bertujuan untuk melenyapkan segala kotoran batin yang melekat dalam diri, dan diyakini sebagai sarana mengusir wabah di wilayah Desa Adat Bebandem.
Pada ritual matigtig, pesertanya krama laki-laki dengan cara berhadapan-hadapan, saling serang secara bergantian hingga senjata pelepah pisang hancur. Krama anak-anak berhadap-hadapan sesama anak-anak, sedangkan krama dewasa dengan sesama dewasa, begitu juga krama yang telah berusia lingsir lawannya krama sebaya, agar secara fisik seimbang. Krama yang mengikuti ritual matigtig berasal dari 9 banjar adat.
Gede Warsa mengatakan, ritual matigtig ini dilaksanakan setiap Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug datang ke Pura Bale Agung, Desa Adat Bebandem manakala usai menghadiri upacara Karya Aci Ngusaba Ageng di Desa Adat Datah. Upacara tersebut berlangsung setiap 33 tahun sekali, bertepatan Purnama Kaenem.
Gede Warsa meyakini, ritual itu mampu menetralisir musuh-musuh dalam diri manusia, yang selama ini dipengaruhi bhuta kala (kekuatan jahat), berdasarkan keyakinan krama Desa Adat Bebandem, di antaranya, tri mala (tiga kotoran jiwa), catur ma (empat kemabukan), panca wisaya (lima jenis racun), panca ma (madat, mabuk-mabukan, judi, dan madon), sad ripu (enam musuh dalam diri), sad atatayi (enam pembunuh), sapta timira (tujuh kegelapan), asta duta (delapan pembunuh), dan sebagainya.
“Di sini, Desa Adat Bebandem menggelar upacara matigtig, usai Ida Bhatara mabiasa keliling Desa Adat Bebandem, bersama Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug. Tujuannya agar wilayah Desa Adat Bebandem diberkati kedamaian,” kata Gede Warsa.
Usai upacara matigtig, Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug dari Desa Adat Datah, ngarerep (bermalam) di Desa Adat Bebandem.
Apabila upacara matigtig tidak terlaksana, apa dampak yang akan terjadi? “Oh, tidak ada sanksinya, upacara matigtig ini selain berdasarkan keyakinan untuk menolak bala, juga tradisi budaya,” tandas Gede Warsa.
Penyarikan Pamaksan Pura Gumi, Desa Adat Bebandem I Ketut Madia, juga mengatakan hal serupa. “Upacara matigtig digelar saat kedatangan Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug, untuk pembersihan wilayah desa secara batin,” ujar Ketut Madia. *k16
Ritual matigtig diselenggarakan usai Ida Bhatara Samudaya dari Desa Adat Bebandem, Kecamatan Karangasem katuran upacara mabiasa (persembahan, upacara mengelilingi wilayah Desa Adat Bebandem), bersama Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug, Kecamatan Karangasem.
Awalnya Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug, di antaranya Ida Bhatara Lingsir Bugbug, Ida Bhatara Ratu Galuh, Ida Bhatara Ratu Pasek, Ida Bhatara Bagus Besakih, Ida Bhatara gede Gumang, Ida Bhatara Ratu Ayu Pudal, katuran (mendapatkan persembahan) terkait Aci Ngusaba Ageng di Pura Puseh, Desa Adat Datah, Kecamatan Abang saat Purnama Kaenem pada Wraspati Pon Wariga, Kamis (8/12).
Selanjutnya sekembali Ida Bhatara Desa Adat Bugbug dari Pura Puseh Desa Adat Datah, singgah di Pura Bale Agung Desa Adat Bebandem, Kecamatan Bebandem pada Saniscara Kliwon Wariga, Sabtu (10/12). Selama di Desa Adat Bebandem, Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug bersama Ida Bhatara di Desa Adat Bebandem, dapat persembahan ritual mabiasa (mengelilingi) wilayah Desa Adat Bebandem.
Berlanjut upacara mapurwadaksina, berkeliling di Pura Bale Agung, Desa Adat Bebandem, kemudian seluruh pralingga Ida Bhatara distanakan di panggungan dan Bale Agung di Pura Bale Agung Desa Adat Bebandem.
Selanjutnya krama pangayah dari Desa Adat Bebandem melaksanakan ritual matigtig di jaba Pura Bale Agung, dengan bersenjatakan pelepah pisang.
Peserta matigtig krama Desa Adat Bebandem syaratnya tanpa mengenakan busana atasan.
Bendesa Adat Bebandem I Gede Warsa menyatakan matigtig merupakan ritual bertujuan untuk melenyapkan segala kotoran batin yang melekat dalam diri, dan diyakini sebagai sarana mengusir wabah di wilayah Desa Adat Bebandem.
Pada ritual matigtig, pesertanya krama laki-laki dengan cara berhadapan-hadapan, saling serang secara bergantian hingga senjata pelepah pisang hancur. Krama anak-anak berhadap-hadapan sesama anak-anak, sedangkan krama dewasa dengan sesama dewasa, begitu juga krama yang telah berusia lingsir lawannya krama sebaya, agar secara fisik seimbang. Krama yang mengikuti ritual matigtig berasal dari 9 banjar adat.
Gede Warsa mengatakan, ritual matigtig ini dilaksanakan setiap Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug datang ke Pura Bale Agung, Desa Adat Bebandem manakala usai menghadiri upacara Karya Aci Ngusaba Ageng di Desa Adat Datah. Upacara tersebut berlangsung setiap 33 tahun sekali, bertepatan Purnama Kaenem.
Gede Warsa meyakini, ritual itu mampu menetralisir musuh-musuh dalam diri manusia, yang selama ini dipengaruhi bhuta kala (kekuatan jahat), berdasarkan keyakinan krama Desa Adat Bebandem, di antaranya, tri mala (tiga kotoran jiwa), catur ma (empat kemabukan), panca wisaya (lima jenis racun), panca ma (madat, mabuk-mabukan, judi, dan madon), sad ripu (enam musuh dalam diri), sad atatayi (enam pembunuh), sapta timira (tujuh kegelapan), asta duta (delapan pembunuh), dan sebagainya.
“Di sini, Desa Adat Bebandem menggelar upacara matigtig, usai Ida Bhatara mabiasa keliling Desa Adat Bebandem, bersama Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug. Tujuannya agar wilayah Desa Adat Bebandem diberkati kedamaian,” kata Gede Warsa.
Usai upacara matigtig, Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug dari Desa Adat Datah, ngarerep (bermalam) di Desa Adat Bebandem.
Apabila upacara matigtig tidak terlaksana, apa dampak yang akan terjadi? “Oh, tidak ada sanksinya, upacara matigtig ini selain berdasarkan keyakinan untuk menolak bala, juga tradisi budaya,” tandas Gede Warsa.
Penyarikan Pamaksan Pura Gumi, Desa Adat Bebandem I Ketut Madia, juga mengatakan hal serupa. “Upacara matigtig digelar saat kedatangan Ida Bhatara dari Desa Adat Bugbug, untuk pembersihan wilayah desa secara batin,” ujar Ketut Madia. *k16
1
Komentar