Kerja di SMKN 1 Tejakula, Kerap Dicemooh Masuk SD di Usia 54 Tahun
Kakak adik Wayan Ngungsiana dan Ketut Sujiana yang tinggal di Desa Penuktukan, Kecamatan Tejakula, Buleleng sekolah Kejar Paket A di Kota Singaraja yang berjarak 38 km dari rumahnya
Dua Kakak Adik Paruh Baya Ikut Ujian Kejar Paket A buat Penuhi Persyaratan di Tempat Kerja
SINGARAJA, NusaBali
Ada yang unik dalam ujian Kejar Paket A (setingkat SD) di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Hasta Kria Singaraja, Buleleng, Selasa (16/5). Dari 11 peserta ujian Paket A tersebut, 2 orang di antaranya merupakan kakak adik paruh baya asal Desa Penuktukan, Kecamatan Tejakula, Buleleng, yakni I Wayan Ngungsiana, 54, dan I Ketut Sujiana, 47.
Wayan Ngungsiana dan Ketut Sujiana ikut ujian Kejar Paket A, untuk memenuhi persyaratan di tempat kerjanya. Kebetulan, dua kakak adik ini sama-sama bekerja sebagai pegawai di SMKN 1 Tejakula. Si sulung Wayan Ngungsiana yang kini berusia 54 tahun, bekerja di SMKN 1 Tejakula sebagai cleaning service. Sedangkan si bungu Ketut Sujiana, yang kini berusia 47 tahun, diterima sebagai penjaga malam di SMKN 1 Tejakula. Keduanya diterima kerja tanpa berbekel ijazah.
Ditemui NusaBali saat jeda pelaksanaan ujian Kejar Paket A di PKBM Hasta Kria Singaraja yang berlokasi di Kelurahan Penarukan, Kecamatan Buleleng, Selasa kemarin, kedua kakak adik ini mengakui mereka memang putus sekolah sebelum tamat SD. Mereka gagal menamatkan sekolah tingkat dasar, karena terjerumus pergaulan yang tidak sehat.
Selasin itu, kedua kakak adik asal Desa Penuktukan (Buleleng Timur) ini juga berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka akhirnya ikut-ikutan putus sekolah setelah bergaul dengan anak-anak yang putus sekolah. “Dulu saya putus sekolah hanya berselang tiga hari menjelang ujian. Memang sudah salah pergaulan, saat t itu saya ada masalah dengan teman di sekolah,” kenang Wayan Ngungsiana.
Dalam keluarganya, Wayan Ngungsiana merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Sedangkan Ketut Sujiana merupakan anak keempat dalam keluarga meraka. Ternyata, Ketut Sujiana juga ikut-ikutan putus sekolah karena faktor yang sama: terimbas pergaulan yang buruk. “Saya berhenti sekolah saat duduk di bangku Kelas V SD. Saya ikut-ikutan putus sekolah dengan teman-teman sekampung yang sudah lebih dulu drop out,” cerita Ketut Sujiana.
Nah, kegagalan tamat SD akhirnya menjadi penyesalan mendalam bagi kakak adik Wayan Ngungsiana-Ketut Sujiana setelah mereka dewasa. Sebab, mereka hanya bisa bekerja sebagai buruh kasar. Sebelum diterima jadi pegawai rendahan di SMKN 1 Tejakula tahun 2009, keduanya bekerja sebagai buruh bangunan.
Baik Wayan Ngungsiana maupun Ketut Sujiana tidak merasa putus asa. Begitu ada lowongan kerja sebagai pegawai rendahan di SMKN 1 Tejakula tahun 2009, mereka memberanikan diri mengajukan lamaran, sehingga akhirnya diterima. Sejak menjadi pegawai rendahan, barulah kedua kakak adik ini mulai berpikir untuk memiliki ijazah yang memang merupakan persyaratan utama dalam pekerjaannya.
Sebenarnya, ide untuk ikut ujian Kejar Paket A sudah muncul di benak mereka sejak beberapa tahun lalu. Namun sayang, mereka selalu terlambat mengunjungi sanggar belajar yang memfasilitasi ujian Kejar Paket A. Mereka datang ketika pendaftaran sudah ditutup. “Kami sempat ke SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) di Pemaron, Kecamatan Buleleng, tapi katanya Kejar Paket A sudah tutup,” cerita Ketut Sujiana.
Sampai akhirnya mereka mendapatkan informasi PKBM Hasta Kria di Kelurahan Penarukan masih menyelenggaran Kejar Paket A. Mereka pun masuk di sana. Namun, perjuangan untuk itu tidaklah ringan. Sebab, kakak adik ini harus menempuh jaral sekitar 38 kilometer dari Desa Penuktukan-Kota Singaraja untuk mengikuti sekolah Kejar Paket A. Artinya, dalam sehari mereka harus bolak-balik sejauh 76 kilometer.
Kedua kakak adik ini biasanya datang ke PKBM Hasta Kria Singaraja untuk belajar 2-3 kali dalam seminggu, dengan naik motor. Semangat kedua kakak adik yang memiliki selisih usia 7 tahun ini untuk meraih ijazah tingkat SD tidak pernah padam. Mereka tidak peduli, meskipun kerap ada orang yang mencemoohnya kejar ijazah SD di usia sepuh.
“Yang terpenting, kami bisa dapat ijazah dan menjadi contoh bagi anak-anak, bahwa belajar itu tidak mengenal umur,” jelas Wayan Ngungsiana. “Setelah tamat Kejar Paket A, kami berencana menlanjutkan ke jenjang lebih tinggi yakni Kejar Paket B (setingkat SMP) dan Paket C (setingkat SMA),” sambung Ketut Sujiana.
Sementara itu, Ketua PKBM Hasta Kria Singaraja, Ketut Raka, mengatakan para siswa Kejar Paket A di sekolahnya ini secara keseluruhan berjumlah 20 orang. Dari jumlah itu, 12 orang di antaranya Kelas VI yang kini mengikuti ujian Kejar Paket A. Sedangkan 8 orang lagi masih duduk di bangku Kelas IV.
“Untuk yang ikut ujian jumlahnya 12 orang. Tapi, dari kemarin yang hadir cuma 11 orang. Satu siswa kami yang tidak hadir belakangan tidak dapat dihubungi. Saat ke rumahnya, dibilang yang bersangkutan sudah bekerja di Denpasar,” ungkap Ketut Raka kepada NusaBali, Selasa kemarin.
Ditanya soal proses pembelajaran, menurut Ketut Raka, sistemnya sangat fleksibel. Di sekolah Kejar Paket A ini, pertemuan hanya 20 persen, selebihnya 30 persen adalah tutorial dan 50 persen mandiri. Karenanya, dalam seminggu hanya terjadi 2-3 kali pertemuan tatap muka para siswa, yang waktunya disesuaikan.
Meski demikian, kata Ketut Raka, pihaknya mengambil tindakan tegas dengan tidak meluluskan siswa yang kehadirannya di bawah 35 persen dari kuota tatap mukai. Menurut Ketut Raka, peserta yang usianya cukup tua biasanya ikut sekolah Kajar Paket untuk mencari ijazah sebagai pemenuhan syarat kerja.
“Sedangkan anak muda biasanya ikut sekolah setelah kami cari dan infokan ke desa-desa,” katanya. “Kami berharap dengan adanya PKBM Hasta Kria ini, dapat membantu lebih banyak warga untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun,” lanjut Ketut Raka. * k23
1
Komentar