Merasa Lahannya Diserobot, Ahli Waris Pejuang Lapor Polda
Bendesa Adat Gulingan: Itu Tanah Ayahan Desa
DENPASAR, NusaBali.com – Merasa lahan miliknya yang berlokasi di Banjar Ulun Uma Badung, Desa Adat Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, diserobot, I Gusti Ngurah Eka Wijaya, 76, melaporkan tiga warga desa adat setempat ke Polda Bali.
Dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/306/VI/2022/SPKT/Polda Bali, disebutkan soal penyerobotan tanah yang asal-usulnya diklaim sebagai milik ayahnya, almarhum I Gusti Putu Oka, seorang pejuang ‘Puputan Margarana.’
Adapun tiga terlapor adalah I Ketut Dana, I Made Tony Hermana dan I Putu Namayasa yang dilaporkan atas sangkaan pengambilalihan benda tidak bergerak atau penyerobotan tanah yang diketahui pada pertengahan 2018.
“Saya baru tahu ada yang mensertifikatkan tanah saya saat mengajukan permohonan penerbitan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Badung,” kata IGN Eka Wijaya, Senin (12/12/2022).
Permohonan penerbitan sertifikat tersebut dilakukan dengan dasar alas hak berupa Pipil, IPEDA (Iuran Pendapatan Daerah), SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang), Letter C, dan dokumen pendukung lainnya.
Didik Supriadi, selaku kuasa hukum dari IGN Eka Wijaya, menyebutkan ketika dicek di buku tanah BPN (Badung, red), tanah Eka Wijaya ternyata sudah ada sertifikatnya atas nama Desa Adat Gulingan. “Sungguh aneh, karena tidak ada peralihan hak, namun didirikan bangunan tanpa seizin klien kami selaku pemilik," terang Didik.
Didik juga mengatakan pihaknya telah berusaha meminta klarifikasi dari pihak BPN terkait hal tersebut. Menurutnya, pihak BPN mengatakan sertifikat diterbitkan berdasarkan surat Sporadik (Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah) dan pajak.
"Kami pernah mengajukan permohonan klarifikasi ke BPN untuk mempertanyakan, bagaimana bisa terbit sertifikat di atas tanah ini. Tetapi lama sekali kita mendapat jawaban, setelah kita minta tolong ke Ombudsman. Jawaban dari BPN mengatakan berdasarkan Sporadik dan pajak," terang Advokat dan Konsultan Hukum Bali Mode Law Office ini.
Ia pun mempertanyakan Sporadik untuk menerbitkan sertifikat harusnya ada tanda tangan penyanding. “Sementara di atas lokasi tanah ini semua penyandingan atas nama klien kami," kata Didik.
Selain itu, Didik juga menegaskan bahwa kliennya tidak pernah menandatangani dokumen penyanding maupun pelepasan hak atas objek tanah tersebut.
"Klien kami tidak pernah yang namanya menandatangani yang namanya penyanding ini. Kemudian masalah pengajuan pajak di situ adalah tidak atas nama pengaju pemohon, tetapi orang lain. Jadi di sini banyak yang dipaksakan," ungkapnya.
Eka Wijaya didampingi istri dan anaknya, mengatakan bahwa objek tanah tersebut adalah warisan orangtuanya. Sedangkan dirinya di masa kanak-kanak ditampung di YKP Klungkung menyusul berpulangnya sang ayah.
Setelah itu, Eka Wijaya berdomisili di Denpasar. Sedangkan di atas lahan milik ayahnya ditempati oleh pamannya. Sepeninggal pamannya yang tidak memiliki keturunan, diakui lahan dengan bangunan kosong tidak ada penghuni. Namun secara rutin Eka Wijaya selalu datang menengok untuk bersih-bersih dan upacara. “Seminggu sekali datang,” ujarnya. Karena itu Eka Wijaya menuntut keadilan atas beralihnya hak atas lahan miliknya.
Dihubungi secara terpisah, Bendesa Adat Gulingan Ida Bagus Gangga mengakui Eka Wijaya memang sudah berkali-kali mempermasalahkan tanah yang diyakini sebagai tanah pribadi yang diserobot oleh desa adat.
“Sebanyak 90 persen warga di Desa Adat Gulingan ini menempati tanah ayahan adat. Oleh karena itu, pihak yang menempati tanah adat harus melaksanakan kewajiban sebagai krama desa adat,” tegas Gus Gangga ketika dijumpai NusaBali.com di Kantor Desa Adat Gulingan, Banjar Lebah Sari, Senin (12/12/2022) siang.
Gus Gangga menjelaskan bahwa penggugat Eka Wijaya merupakan mantan krama desa yang sudah dikeluarkan secara adat melalui paruman Banjar Adat Ulun Uma Badung pada 30 Oktober 2004.
Alasannya, Eka Wijaya tidak melakukan kewajiban sebagai krama adat seperti berperan aktif dalam kegiatan banjar adat, tidak mengindahkan perintah, saran, dan nasihat Prajuru Desa, dan tidak pernah bertempat tinggal di wewidangan Banjar Adat Ulun Uma Badung.
“Yang bersangkutan (Eka Wijaya) sudah bukan krama Desa Adat Gulingan. Sementara tanah ayahan adat yang sudah ditinggalkan dan tidak dimanfaatkan dikelola kembali oleh desa adat karena pada prinsipnya tanah tersebut merupakan tanah adat yang berkonsekuensi pelaksanaan kewajiban adat,” jelas Gus Gangga.
Maka dari itu, secara adat dan dikuatkan lagi oleh hukum positif berupa SHM, Desa Adat Gulingan menyatakan bahwa tidak ada dalil bahwa kasus ini dapat disebut sebagai penyerobotan seperti yang dilaporkan penggugat. *mao, rat
Komentar