Dirawat Cinta Kasih dan Kemandirian, Museum Arma di Desa Peliatan, Ubud, Gianyar
Kuncinya kembali pada kesadaran diri agar makin mencintai visi dengan aksi. Kenken carane pang raga demen.
GIANYAR, NusaBali
Membangun museum itu berat. Tapi, merawat sebagaimana visi awal pembangunannya, jauh lebih berat. Karena banyak tantangan yang mesti dihadapi pengelolanya.
"Kuncinya, harus berani berjuang untuk mempertahankan kecintaan. Sebagaimana kita memeluk agama, tentu karena ada rasa cinta yang dalam" jelas Anak Agung Rai, pemilik Arma (Agung Rai Museum of Art) di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kecamatan Ubud, Gianyar, Jumat (23/12).
Penekanan Agung Rai tentang kecintaan dimaksud, yakni hasrat kuat untuk mewujudkan visi/misi museum. Museum ini tak cukup hanya memenuhi tujuan yang bersifat formal. Museum tak cukup hanya untuk melestari artefak, namun bestari dalam fungsi kependidikan, penelitian, dan pengembangan kebudayaan. Museum mesti dimahkotakan sebagai wujud curahan kasih saying kKepada Yang Maha Kasih, sesama, dan lingkungan. Hal ini sebagaimana terpatri dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali.
"Kuncinya kembali pada kesadaran diri agar makin mencintai visi dengan aksi. Kenken carane pang raga demen (bagaimana caranya biar diri kita senang,Red)," beber budayawan ini.
Sejurus tekad tersebut, Agung Rai telah memancangkan visi untuk masa depan ARMA. Visi dimaksud museum dengan luas sekitar 6 hektare ini dikekola menjadi ekosistem kehidupan secara utuh dan mandiri. Keutuhan dimaksud agar museum bergerak sebagaimana fungsi yang didasari semangat cinta kasih berlandaskan filosofi Bali, Tri Hita Karana. Capaian itu akan tersemai elok jika museum mampu terawat dengan kemandirian.
Tatkala meseum di negara-negara barat makin oligarkis, maka Arma dinoktahkan berinteraksi dalam satu kearifan ekosistem, atau dengan lingkungan. Museum digerakkan dengan spirit kebersamaan antara manajemen dengan lingkungan, tentu dibarengi rasa memiliki. Makanya, lanjut Agung Rai, museum ini mengembangkan tradisi kependidikan dan pengajaran seni budaya. Bentuknya bisa berupa latihan menari dan melukis, hingga dikusi budaya di wantilan museum. ‘’Inilah yang kami maksudkan Arma sebagai living museum, bahkan ke depan menjadi global temple,’’ jelas suami dari Anak Agung Rai Suartini ini.
Satu hal yang amat khas dalam lingkungan Arma, gugusan bangunan museum berornamen tradisional Bali ini menjadi satu kesatuan dengan tata lingkungan yang dirimbuni pepohonan trofis. Di halaman museum, basnyak tetumbuhan menemukan habitnya sendiri. Dalam arti, banyak tanaman tumbuh alami karena tanpa ada yang menanam. Dari itulah, aura lembut oksigen menjadikan para wisatawan betah berlama-lama menikmati lingkungan museum. Kala itu pula, pengunjung dimanjakan dengan keindahan pelbagai artefak budaya, terutama Bali. ‘’Suasana museum ini sudah terkonsep dalam pikiran saya sejak 50 tahun lalu,’’ jelas mantan pedagang acung di kawasan wisata Kuta, Badung ini. 7lsa
1
Komentar