Benarkah Orang Bali Rendah Hati?
Orang Bali disukai banyak orang, karena mereka dikenal sebagai etnik yang santun. Jika hendak belajar sopan santun, menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, memang sepantasnya belajar sama orang Bali.
Aryantha Soethama
Pengarang
Mereka polos-polos, tidak suka cari musuh. Orang Bali dinilai sering memposisikan diri mereka lebih rendah, sehingga acap tampil merunduk-runduk di depan banyak orang.
Tampil merendah itu sering ditanggapi salah paham. Banyak orang luar yang menduga orang Bali itu lemah, sering menganggap lawan bicara lebih unggul. Muncul kesan orang Bali itu acap tampil kalah sebelum memulai.
Tapi jika kemudian kita sampaikan kelemahan-kelemahan ini kepada orang Bali, mereka pasti langsung menolaknya. Pendapat mereka antara lain, orang Bali justru orang-orang yang kuat, kendati mereka tampak lemah. Watak orang Bali seperti cabang pohon jambu sotong, lentur, tak mudah patah, dan gampang meliuk-liuk. Beda dengan cabang pohon jambu air, yang renyah dan rapuh, tak kuat menahan beban. Kayu sotong itu ngales, liat, kuat menahan beban berat.
Karena orang Bali itu suka merendah, mereka yang punya sawah luas, yang kaya, tak pernah mengaku kaya. Jika mengajak tamu-tamu, kerabat, handai taulan, mampir ke rumah, ia akan berujar, “Sekali-sekali mampirlah ke gubuk saya.” Padahal rumahnya mentereng, luas, lengkap dengan balai-balai berukir dengan warna-warna perada.
Watak orang Bali yang suka merendah itu juga ditandai dengan tak suka menonjolkan diri. Gending yang sangat disukai dan disegani oleh orang-orang Bali adalah tembang tentang Da gaden awak bisa, depang anake ngadanin (Jangan merasa diri hebat, biar orang lain yang menilai) yang mengutamakan sikap rendah hati sebagai tuntunan hidup.
Watak rendah hati ini menghasilkan banyak karya seni yang anonim. Jika ada orang Bali yang mengaku sebagai pencipta karya tertentu, pertanda ia telah menilai diri sendiri, dianggap mengaku-ngaku, narsis, watak dari orang-orang yang individualis.
Tapi karena pengaruh zaman, orang bangga disanjung dan senang mendapat tepukan, menyebabkan orang Bali akhirnya juga tak beda dengan etnik lain. Wajar kemudian muncul pertanyaan, benarkah orang Bali rendah hati? Bukankah kini banyak yang menonjolkan diri, menganggap diri sanggup dan hebat? Jika dulu orang-orang Bali rendah hati, jangan-jangan karena mereka memang tidak berani tampil, takut ke luar dari kungkungan lingkungan, waswas dikucilkan, sehingga mereka yang hebat, yang cerdas, yang pintar, yang kreatif, memilih larut dengan mereka yang dungu dan pemalas, demi keamanan.
Orang-orang berpendapat semua itu diselimuti oleh berkah kebersamaan. Keinginan kelompok menjadi penentu. Dan mereka yang pintar dan kreatif kemudian menjelaskan, ciptaan mereka berkat kerja sama, padahal ia bekerja keras untuk menciptakan sesuatu. Ia tak mengakui karyanya sendiri karena takut digulung oleh pendapat kelompok. Pendapat mayoritas itu oleh orang Bali disebut suriak siu. Sebuah perilaku ditandai dengan yang mayoritas yang menang. Dan itu kemudian dibanggakan sebagai dinamika demokrasi.
Degup banjar di Bali dinilai memegang kuat asas demokrasi, karena keputusan diambil bersama. Tapi keputusan itu kemudian menjadi mengambang, menjadi tanda tanya besar karena diambil dengan gempita suriak siu yang bisa diartikan sebagai gemuruh tepuk tangan seribu. Seru, juga gaduh. Seseorang yang sempat berpendapat kemudian dinilai berani, tapi akhirnya sendiri, kalah karena gemuruh suriak siu. Sebagai orang Bali yang rendah hati, si pecundang itu merunduk, tak punya cara untuk meneruskan pendapatnya untuk mohon keadilan. Ia kalah oleh mereka yang tinggi hati, yang tergabung dalam suriak siu.
Kalau begitu, sesungguhnya orang Bali itu rendah hati atau tidak? Jika mereka rendah hati, mengapa dengki berkobar, dan kerabat saling tikam di tahun 1965? Bisa jadi mereka memang rendah hati, tapi kalah oleh sekian orang yang tinggi hati bergabung menggelorakan dendam. Atau mereka rendah hati kalau menyangkut kegiatan spiritual di tempat suci. Boleh jadi juga rendah hati ketika berhadapan dengan tata krama dan tatanan sosial dalam kehidupan berkasta, yang jelas-jelas menempatkan seseorang lebih rendah dibanding yang lain.
Bisa jadi juga orang Bali rendah hati, tapi juga tinggi hati. Seperti mereka juga baik, tapi juga banyak yang buruk, tak sedikit yang jujur dan suci, namun banyak juga yang penipu dan arogan. Yang pasti, di kalangan orang Bali watak rendah hati itu semakin sayup, kalau melihat banyak yang ingin tampil padahal mereka tidak mampu. Banyak yang ingin jadi pemimpin parpol, padahal tak sanggup. Merasa hebat kalau sudah bisa berteriak lantang dan berpidato. Kini, sulit sekali mencari orang yang rendah hati. *
Mereka polos-polos, tidak suka cari musuh. Orang Bali dinilai sering memposisikan diri mereka lebih rendah, sehingga acap tampil merunduk-runduk di depan banyak orang.
Tampil merendah itu sering ditanggapi salah paham. Banyak orang luar yang menduga orang Bali itu lemah, sering menganggap lawan bicara lebih unggul. Muncul kesan orang Bali itu acap tampil kalah sebelum memulai.
Tapi jika kemudian kita sampaikan kelemahan-kelemahan ini kepada orang Bali, mereka pasti langsung menolaknya. Pendapat mereka antara lain, orang Bali justru orang-orang yang kuat, kendati mereka tampak lemah. Watak orang Bali seperti cabang pohon jambu sotong, lentur, tak mudah patah, dan gampang meliuk-liuk. Beda dengan cabang pohon jambu air, yang renyah dan rapuh, tak kuat menahan beban. Kayu sotong itu ngales, liat, kuat menahan beban berat.
Karena orang Bali itu suka merendah, mereka yang punya sawah luas, yang kaya, tak pernah mengaku kaya. Jika mengajak tamu-tamu, kerabat, handai taulan, mampir ke rumah, ia akan berujar, “Sekali-sekali mampirlah ke gubuk saya.” Padahal rumahnya mentereng, luas, lengkap dengan balai-balai berukir dengan warna-warna perada.
Watak orang Bali yang suka merendah itu juga ditandai dengan tak suka menonjolkan diri. Gending yang sangat disukai dan disegani oleh orang-orang Bali adalah tembang tentang Da gaden awak bisa, depang anake ngadanin (Jangan merasa diri hebat, biar orang lain yang menilai) yang mengutamakan sikap rendah hati sebagai tuntunan hidup.
Watak rendah hati ini menghasilkan banyak karya seni yang anonim. Jika ada orang Bali yang mengaku sebagai pencipta karya tertentu, pertanda ia telah menilai diri sendiri, dianggap mengaku-ngaku, narsis, watak dari orang-orang yang individualis.
Tapi karena pengaruh zaman, orang bangga disanjung dan senang mendapat tepukan, menyebabkan orang Bali akhirnya juga tak beda dengan etnik lain. Wajar kemudian muncul pertanyaan, benarkah orang Bali rendah hati? Bukankah kini banyak yang menonjolkan diri, menganggap diri sanggup dan hebat? Jika dulu orang-orang Bali rendah hati, jangan-jangan karena mereka memang tidak berani tampil, takut ke luar dari kungkungan lingkungan, waswas dikucilkan, sehingga mereka yang hebat, yang cerdas, yang pintar, yang kreatif, memilih larut dengan mereka yang dungu dan pemalas, demi keamanan.
Orang-orang berpendapat semua itu diselimuti oleh berkah kebersamaan. Keinginan kelompok menjadi penentu. Dan mereka yang pintar dan kreatif kemudian menjelaskan, ciptaan mereka berkat kerja sama, padahal ia bekerja keras untuk menciptakan sesuatu. Ia tak mengakui karyanya sendiri karena takut digulung oleh pendapat kelompok. Pendapat mayoritas itu oleh orang Bali disebut suriak siu. Sebuah perilaku ditandai dengan yang mayoritas yang menang. Dan itu kemudian dibanggakan sebagai dinamika demokrasi.
Degup banjar di Bali dinilai memegang kuat asas demokrasi, karena keputusan diambil bersama. Tapi keputusan itu kemudian menjadi mengambang, menjadi tanda tanya besar karena diambil dengan gempita suriak siu yang bisa diartikan sebagai gemuruh tepuk tangan seribu. Seru, juga gaduh. Seseorang yang sempat berpendapat kemudian dinilai berani, tapi akhirnya sendiri, kalah karena gemuruh suriak siu. Sebagai orang Bali yang rendah hati, si pecundang itu merunduk, tak punya cara untuk meneruskan pendapatnya untuk mohon keadilan. Ia kalah oleh mereka yang tinggi hati, yang tergabung dalam suriak siu.
Kalau begitu, sesungguhnya orang Bali itu rendah hati atau tidak? Jika mereka rendah hati, mengapa dengki berkobar, dan kerabat saling tikam di tahun 1965? Bisa jadi mereka memang rendah hati, tapi kalah oleh sekian orang yang tinggi hati bergabung menggelorakan dendam. Atau mereka rendah hati kalau menyangkut kegiatan spiritual di tempat suci. Boleh jadi juga rendah hati ketika berhadapan dengan tata krama dan tatanan sosial dalam kehidupan berkasta, yang jelas-jelas menempatkan seseorang lebih rendah dibanding yang lain.
Bisa jadi juga orang Bali rendah hati, tapi juga tinggi hati. Seperti mereka juga baik, tapi juga banyak yang buruk, tak sedikit yang jujur dan suci, namun banyak juga yang penipu dan arogan. Yang pasti, di kalangan orang Bali watak rendah hati itu semakin sayup, kalau melihat banyak yang ingin tampil padahal mereka tidak mampu. Banyak yang ingin jadi pemimpin parpol, padahal tak sanggup. Merasa hebat kalau sudah bisa berteriak lantang dan berpidato. Kini, sulit sekali mencari orang yang rendah hati. *
Komentar