PDIP Terima Masukan Opinion Leader
Terdepan Membendung Politik Identitas di Pemilu 2024
JAKARTA, NusaBali
PDI Perjuangan terus menguatkan soliditas internal jelang Pemilu 2024. Setelah mengumpulkan sesepuh partai beberapa waktu lalu, kini giliran tokoh pemuka pendapat (opinion leader) diundang DPP PDIP di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis (5/1).
Acara ini digelar menjelang perayaan HUT PDIP yang ke-50 pada 10 Januari 2024 mendatang. Jajaran DPP PDIP dipimpin oleh Sekjen Hasto Kristiyanto didampingi Ketua DPP PDIP seperti Ahmad Basarah, Tri Rismaharini, Djarot Saiful Hidayat, Yasona Laoly, Rudianto Tjen, Sukur Nababan, dan Mindo Sianipar. Hadir juga Ketua Dewan Pakar Balitpus PDIP Sonny Keraf, Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Andreas Pareira dan Deddy Yevri Sitorus. Lalu Sekjen dan Ketua DPP TMP (Taruna Merah Putih) Restu Hapsari serta Hanjaya Setiawan.
Sementara opinion leader yang hadir adalah Fachry Ali, Connie Rahakundini Bakrie, Ubeidilah Badrun, Airlangga Pribadi Kusman, Philip J Vermonte, Yudi Latif, Adi Prayitno, Arya Fernandez, dan Adi Prayitno. Hasto menjelaskan pertemuan dengan opinion leader itu dilakukan dalam rangka perayaan HUT PDIP ke 50 pada 10 Januari mendatang.
“Usia ke-50 tahun ini PDI Perjuangan melakukan kritik dan otokritik, mendengarkan masukan para pakar, agar bisa lebih mantap di dalam melakukan pelembagaan partai, memperkuat komitmen pada wong cilik dan juga tanggung jawab bagi masa depan. Itulah motivasi utama pertemuan ini,” ucap Hasto melalui keterangan tertulisnya, Kamis (5/1).
Dengan hadirnya para opinion leaders, PDIP ingin mendapat saran dan masukan bagi kiprah partai ke depan, khususnya menyongsong Pemilu 2024 dan Indonesia Emas 2045.
Di dalam pertemuan itu, Fachry Ali mengatakan modal paling besar bagi PDIP adalah modal budaya yang berkembang di tengah masyarakat, yakni simpati di hati sanubari masyarakat terhadap partai berlambang kepala banteng itu.
Kata dia, rasa cinta itu, sudah terbangun sejak era Soekarno dan kemudian di era Megawati Soekarnoputri yang ditekan di masa Orde Baru. “Hal ini penting untuk dikemukakan karena pada pemilu 2004 saat PDIP kalah, modal cultural itu disia-siakan,” kata Fachry Ali.
Baginya, PDIP harus waspada dengan kutukan “kekuasaan” dalam artian siapapun yang berkuasa, dia harus menjaga rasa cinta rakyat karena itulah modal terkuat partai politik. Selain itu, Fachry juga menyatakan, bahwa PDIP adalah partai politik yang bisa disebut sebagai pahlawan demokrasi. “Yakni ketika Mbak Mega menolak gagasan pemunduran pemilu dan menolak gagasan tiga periode presidensi,” imbuh Fachry Ali. Dan jelang umur 50 tahun, PDIP terlihat selalu bergerak secara konstitusional dan minus manuver politik.
Karenanya, dia menyarankan PDIP agar lebih sering melakukan manuver politik. “Terkesan PDIP selalu defensif, yang sebenarnya dalam konteks berpolitik, itu kurang positif. Dalam konteks visi misi presiden nanti, sikap defensif PDIP ini menurut saya harus dihilangkan dulu,” kata Fachry Ali.
Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, sebagai parpol terbesar di Indonesia, PDIP memiliki peran strategis dalam menentukan arah masa depan bangsa Indonesia. PDIP dinilainya akan menjadi salah satu faktor penting. Misalnya, yang bisa merubah paradigma pertahanan dan diplomasi politik luar negeri Indonesia dari yang saat ini defensif menjadi lebih ofensif. “Saya percaya PDIP mampu mewujudkan organisasi politik yang solid, dan teguh memegang ideologinya untuk membawa Indonesia maju sebagai negara yang kuat,” kata Connie.
Sementara Yudi Latif mengatakan, ada sejumlah tantangan global yang urgen untuk dipahami. Yakni tantangan menghadapi diverse democracy, seluruh masyarakat demokrasi dunia tergagap meresponsnya.
Tantangan kedua adalah menghadapi stagnasi dan krisis ekonomi di dalam situasi kesenjangan ekonomi yang lebar. Situasi saat ini butuh empati dan solidaritas tinggi, namun nyatanya yang berkembang adalah saling benci dan menyangkal. Tantangan ketiga adalah bagaimana mengembangkan kemajuan peradaban dalam konteks global order yang juga ramah terhadap perubahan ekosistem lingkungan global.
Jadi, kata Yudi Latif, bagaimana dunia maju teknologi tapi juga harmoni dengan lingkungan. Yudi menegaskan, sebenarnya semua tantangan global itu sudah direspons oleh Pancasila. Sayangnya, orang Indonesia kerap tak sadari soal Pancasila. Justru, misalnya berkiblat kepada demokrasi model Amerika Serikat (AS). “PDIP adalah jangkar atau pasak bumi bagaimana mengembangkan demokrasi dalam masyarakat multikultur. Cara Indonesia selesaikan masalah keragaman, misalnya. Maka masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim bersedia memberikan hak yang sama kepada minoritas,” urai Yudi Latif.
Yudi Latif melihat modal dasar itu, belakangan tergerus karena munculnya politik identitas akibat pengaruh global. "Sehingga bagaimana ke depan kita kendalikan tendensi eksplosif politik identitas dan PDIP ada terdepan menyangkut masalah itu,” tegas Yudi Latif. *k22
1
Komentar