KPU-Bawaslu Wajib Deklarasi, Jika Keluarga Nyaleg atau Jadi Tim Kampanye
Kategori kerabat yakni; ayah kandung, ibu kandung, istri atau suami termasuk kakak dan adik kandung.
SINGARAJA, NusaBali - Awak Penyelenggara Pemilu dan Pengawas Pemilu (KPU dan Bawaslu) wajib mendeklarasikan diri, jika ada salah satu keluarganya yang maju sebagai calon legislatif (caleg) ataupun tim kampanye di Pemilu 2024. Deklarasi wajib dilakukan untuk menerangkan adanya hubungan antara penyelenggara dengan peserta pemilu secara transparan.
Hal itu terungkap dalam dalam Sosialisasi Kode Etik Penyelenggara Pemilu 2024, di Desa Pemaron, Buleleng, Selasa (20/12). Ketua KPU Buleleng Komang Dudhi Udiyana mengatakan, deklarasi hubungan kekerabatan itu sudah ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Hal tersebut untuk mengantisipasi adanya tindakan tidak profesional penyelenggara pada Pemilu 2024 mendatang.
“Hak ikut serta sebagai peserta pemilu itu ada pada setiap orang, tidak menutup kemungkinan keluarga dari penyelenggara juga bisa saja mencalonkan diri atau jadi tim kampanye. Itu harus dideklarasi, sehingga sejak awal diketahui publik. Hal ini juga mengantisipasi adanya ketidak profesionalan dalam penyelenggaraan,” ucap Dudhi.
Disebutkan Dudhi, yang termasuk dalam kategori kerabat yakni; ayah kandung, ibu kandung, istri atau suami termasuk kakak dan adik kandung. “Hubungan keluarga ini, harus dibuka transparan,” tegasnya.
Sementara TPD-DKPP (Tim Pemeriksa Daerah-Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) Provinsi Bali, Ngakan Made Giriyasa yang hadir dalam acara sosialiasi mengatakan, sejauh ini potensi pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu di Bali sangat rendah. Terbukti pada Pemilu 2019 lalu tidak ada laporan yang melibatkan penyelenggara masuk ke DKPP.
Menurut Giriyasa, dari kasus-kasus yang sudah terjadi, potensi pelanggaran penyelenggara banyak ditemukan pada tenaga ad hoc. “Pelanggaran kode etik itu biasanya terkait profesionalisme. Rata-rata dari kasus yang pernah terjadi pada tenaga ad hoc, yakni kurang pengalaman menjadi kurang profesional, sehingga menjadi laporan,” kata Giriyasa.
Potensi pelanggaran kode etik oleh penyelenggara dalam beberapa kasus di Indonesia, kata dia, terjadi sebelum tahapan pemilu maupun saat pencalonan. “Pelanggaran sebelum tahapan pemilu banyak muncul justru tidak ada kaitannya dengan kepemiluan. Seperti persoalan seksualitas menyangkut oknum penyelenggara yang diungkap publik, hingga pembocoran soal CAT (Computer Assisted Test) untuk seleksi ad hoc,” beber Giriyasa.
“Kalau indeks kerawanan pelanggaran kode etik penyelenggara itu di tahap pencalonan yang tinggi, terutama saat verifikasi faktual calon DPD atau legislatif. Ini menjadi riskan jika proses verifikasi faktual tidak dilakukan dengan benar, sehingga menjadi potensi pelanggaran kode etik dan juga potensi sengketa pemilu,” tegas Giriyasa.k23
1
Komentar