Seluruh Penari Berjenis Kelamin Laki-Laki, Diakhiri Tradisi Ngunying
Melihat Uniknya Pelaksanaan Tradisi Mepajar di Desa Adat Jimbaran, Kuta Selatan, Badung
Tradisi Mepajar sangat dijaga kelestariannya oleh masyarakat Desa Adat Jimbaran, karena dipercaya memiliki nilai-nilai sakral dalam setiap pertunjukannya.
MANGUPURA, NusaBali
Ratusan krama memadati jalan raya di depan Pura Parerepan di Desa Adat Jimbaran, Kuta Selatan, Badung pada Wraspati Umanis Dungulan, Kamis (5/1) sore. Maklum saja, sore hingga malam hari itu digelar Tradisi Mepajar di Desa Adat Jimbaran. Mepajar sendiri merupakan upacara dalam bentuk pementasan tarian sakral yang bertujuan untuk menjaga kesucian, kesejahteraan, dan keharmonisan warga penyungsung dan wilayah sekitarnya.
Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga mengatakan Mepajar memiliki arti menyampaikan sesuatu atau pesan. Dimana kata Pajar berarti (voice atau pesan) yang disampaikan. Implementasi tradisi Mepajar di Jimbaran hampir sama dengan upacara mesolah.
“Sama saja dengan kegiatan nyolahan Ida Bhatara Pelawatan atau Barong. Namun sisi lain ada beberapa hal yang berbeda, karena dalam hal sesolahan di Jimbaran ini waktunya memang sangat berbeda, yakni mencari kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan sejak kapan tradisi Mepajar dimulai, ini terkait waktu yang tak tercatat jadi kita tidak bisa katakan mulai tahun sekian itu tidak bisa, karena para tetua juga sudah ketemu kondisi seperti ini,” ujar Bendesa Gusti Made Rai Dirga saat ditemui di Pura Parerepan, Desa Adat Jimbaran, Kamis sore lalu. Tradisi Mepajar yang ada di Desa Adat Jimbaran merupakan pertunjukan sakral yang memiliki nilai magis dan unsur ritual, sebagai sungsungan masyarakat Desa Adat Jimbaran. Keberadaan awal mula munculnya kesenian Mepajar hanya didapatkan melalui sebuah kisah yang didapatkan secara turun temurun melalui penuturan.
“Tetapi tadi kami dapat bercerita dengan semeton (saudara, Red) dari Kapal, bahwa para penekun, para seniman, begitu melihat benda-benda yang ada ini perkiraan peralatan Barong dibangun dari abad 16-17 dan kemungkinan besar ini sudah ada sekitar tahun 1700-an,” tambahnya. Tradisi Mepajar ini masih sangat dijaga kelestariannya oleh masyarakat Desa Adat Jimbaran, karena pertunjukan ini dipercaya memiliki nilai-nilai sakral yang ada dalam setiap pertunjukannya.
Nilai-nilai sakral yang terdapat pada Mepajar ini terlihat dari ditempatkannya peralatan yang digunakan seperti topeng dan gelungan di sebuah tempat penyimpanan yang khusus, kemudian adanya prosesi upacara yang dilakukan sebelum kesenian ini dipertunjukkan. Bendesa Gusti Made Rai Dirga menjelaskan prosesi tradisi ini dimulai dengan persiapan sarana dan prasarana yang memakan waktu selama 3 bulan lamanya. Karena pihaknya mempercayai bahwa untuk melakukan tradisi ini perlu hari baik yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.
Selanjutnya seluruh warga Desa Adat Jimbaran akan melanjutkan prosesi tradisi ini pada tanggal 22 Januari 2023 mendatang dengan berjalan kaki ke Pura Luhur Uluwatu. “Jadi seluruh masyarakat pengiring itu akan ngiring Ida Bhatara dengan berjalan kaki, hanya saja perlengkapan gong dibawa oleh kendaraan. Sekitar kurang lebih 2,5 jam kita sampai di Desa Pecatu lalu sorenya kita ke Puru Luhur Uluwatu, kemudian menginap semalam di sana dan besok paginya kita kembali ke Jimbaran. Setelah itulah kita menunggu setiap Kajeng Kliwon baru mesolah lagi,” jelasnya.
Pertunjukan ini biasanya diawali dengan munculnya tari Sandaran (sejenis Tari Telek), Telek, Sandar Gede dilanjutkan dengan pertunjukan Tari Barong Ket, Rarung dan Rangda. Pertunjukan kesenian Mepajar di Desa Adat Jimbaran mempunyai keunikan tersendiri, dimana seluruh pertunjukan ini ditarikan oleh laki-laki kurang lebih 14 orang penari, yang terdiri dari 6 orang sebagai Sandar Cenik dan satu orang penari berperan sebagai Telek yang merupakan pemimpin dari kelompok penari Sandar Cenik yang menari dengan dipayungi dan memakai topeng yang sama, namun topeng tersebut memakai hiasan telinga dan hiasan rumbing.
Keunikan lain yang terlihat adalah adanya 7 orang penari Sandar, namun ketujuh penari Sandar Gede ini mempunyai nama yang berbeda dan warna wajah topeng yang berbeda-beda. Kemudian 2 orang penari Barong Ket, 2 orang penari Rarung perwujudan serba merah dan serba putih dan 1 orang penari Rangda. Seluruh penarinya warga asli Desa Adat Jimbaran. Kemudian adanya tokoh-tokoh, gerak tari, kostum, cerita serta fungsi pertunjukan ini sebagai sarana ritual yang bersifat sakral.
“Pertama kali ditarikan ini adalah tari Telek kalau di sini namanya tari Sandar dan Oman, kalau di tempat lain namanya Telek dan Jauk, itu penarinya masing-masing 6 orang, untuk Teleknya atau pimpinannya 7 orang yang semuanya laki-laki yang semuanya remaja putra yang belum berkeluarga,” papar Bendesa Gusti Made Rai Dirga.
Kesakralan pertunjukannya masih sangat dijaga meski di tengah modernisasi dan perkembangan pariwisata. Apalagi kini Desa Adat Jimbaran menjadi tujuan wisata kuliner, di samping tujuan seni dan budayanya. Tradisi Mepajar ini sendiri terakhir dipentaskan pada tahun 2017 silam. Krama dari 13 Banjar di Desa Adat Jimbaran pun nampak antusias memadati sepanjang jalan raya depan Pura Parerepan, Desa Adat Jimbaran.
“Ini tradisi pertama kali setelah pandemi dan tahun 2017 bulan April itu terakhir digelar. Maka dari itu antusiasme masyarakat sangat luar biasa. Sebenarnya kerinduan masyarakat kita akan tradisi ini sudah lama, karena kita di Hindu mengenal yang namanya dharma agama dan dharma negara. Jadi dharma agama bisa jalan kalau dharma negara memungkinkan, kalau dharma negaranya tidak memungkinkan ya kita tunggu dulu, jadi kita harus tetap disiplin dalam kewajiban kita sebagai warga negara,” tuturnya.
Pertunjukan ini berdurasi sekitar kurang lebih lima jam sejak pukul 16.00 Wita sampai 20.00 Wita yang diiringi dengan gamelan Bebarongan. Pertunjukan Mepajar di Desa Adat Jimbaran ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakatnya, oleh karena pertunjukan ini dianggap memiliki makna sakral dan religius, sebagai sarana permohonan keselamatan bagi seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini. Pada akhir pertunjukan terjadi kerauhan dan atraksi ngunying yang diikuti oleh 200 orang lebih yang nantinya seluruh prosesi akan diakhiri di Pura Ulun Suwi Kahyangan Jagat, Desa Adat Jimbaran.
“Ngunying itu berkaitan dengan Ida Bhatara Dewa Ayu, nanti setelah Telek dan Barong ini dilanjutkan dengan Ida Sesuhunan Ida Ratu Dewa Prabu, Napak Pertiwi kemudian di kegiatan itu diikuti oleh para pepatih yang jumlahnya saat ini 200 orang yang akan melakukan tradisi ngunying,” pungkas Bendesa Gusti Made Rai Dirga. *ol3
Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga mengatakan Mepajar memiliki arti menyampaikan sesuatu atau pesan. Dimana kata Pajar berarti (voice atau pesan) yang disampaikan. Implementasi tradisi Mepajar di Jimbaran hampir sama dengan upacara mesolah.
“Sama saja dengan kegiatan nyolahan Ida Bhatara Pelawatan atau Barong. Namun sisi lain ada beberapa hal yang berbeda, karena dalam hal sesolahan di Jimbaran ini waktunya memang sangat berbeda, yakni mencari kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan sejak kapan tradisi Mepajar dimulai, ini terkait waktu yang tak tercatat jadi kita tidak bisa katakan mulai tahun sekian itu tidak bisa, karena para tetua juga sudah ketemu kondisi seperti ini,” ujar Bendesa Gusti Made Rai Dirga saat ditemui di Pura Parerepan, Desa Adat Jimbaran, Kamis sore lalu. Tradisi Mepajar yang ada di Desa Adat Jimbaran merupakan pertunjukan sakral yang memiliki nilai magis dan unsur ritual, sebagai sungsungan masyarakat Desa Adat Jimbaran. Keberadaan awal mula munculnya kesenian Mepajar hanya didapatkan melalui sebuah kisah yang didapatkan secara turun temurun melalui penuturan.
“Tetapi tadi kami dapat bercerita dengan semeton (saudara, Red) dari Kapal, bahwa para penekun, para seniman, begitu melihat benda-benda yang ada ini perkiraan peralatan Barong dibangun dari abad 16-17 dan kemungkinan besar ini sudah ada sekitar tahun 1700-an,” tambahnya. Tradisi Mepajar ini masih sangat dijaga kelestariannya oleh masyarakat Desa Adat Jimbaran, karena pertunjukan ini dipercaya memiliki nilai-nilai sakral yang ada dalam setiap pertunjukannya.
Nilai-nilai sakral yang terdapat pada Mepajar ini terlihat dari ditempatkannya peralatan yang digunakan seperti topeng dan gelungan di sebuah tempat penyimpanan yang khusus, kemudian adanya prosesi upacara yang dilakukan sebelum kesenian ini dipertunjukkan. Bendesa Gusti Made Rai Dirga menjelaskan prosesi tradisi ini dimulai dengan persiapan sarana dan prasarana yang memakan waktu selama 3 bulan lamanya. Karena pihaknya mempercayai bahwa untuk melakukan tradisi ini perlu hari baik yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.
Selanjutnya seluruh warga Desa Adat Jimbaran akan melanjutkan prosesi tradisi ini pada tanggal 22 Januari 2023 mendatang dengan berjalan kaki ke Pura Luhur Uluwatu. “Jadi seluruh masyarakat pengiring itu akan ngiring Ida Bhatara dengan berjalan kaki, hanya saja perlengkapan gong dibawa oleh kendaraan. Sekitar kurang lebih 2,5 jam kita sampai di Desa Pecatu lalu sorenya kita ke Puru Luhur Uluwatu, kemudian menginap semalam di sana dan besok paginya kita kembali ke Jimbaran. Setelah itulah kita menunggu setiap Kajeng Kliwon baru mesolah lagi,” jelasnya.
Pertunjukan ini biasanya diawali dengan munculnya tari Sandaran (sejenis Tari Telek), Telek, Sandar Gede dilanjutkan dengan pertunjukan Tari Barong Ket, Rarung dan Rangda. Pertunjukan kesenian Mepajar di Desa Adat Jimbaran mempunyai keunikan tersendiri, dimana seluruh pertunjukan ini ditarikan oleh laki-laki kurang lebih 14 orang penari, yang terdiri dari 6 orang sebagai Sandar Cenik dan satu orang penari berperan sebagai Telek yang merupakan pemimpin dari kelompok penari Sandar Cenik yang menari dengan dipayungi dan memakai topeng yang sama, namun topeng tersebut memakai hiasan telinga dan hiasan rumbing.
Keunikan lain yang terlihat adalah adanya 7 orang penari Sandar, namun ketujuh penari Sandar Gede ini mempunyai nama yang berbeda dan warna wajah topeng yang berbeda-beda. Kemudian 2 orang penari Barong Ket, 2 orang penari Rarung perwujudan serba merah dan serba putih dan 1 orang penari Rangda. Seluruh penarinya warga asli Desa Adat Jimbaran. Kemudian adanya tokoh-tokoh, gerak tari, kostum, cerita serta fungsi pertunjukan ini sebagai sarana ritual yang bersifat sakral.
“Pertama kali ditarikan ini adalah tari Telek kalau di sini namanya tari Sandar dan Oman, kalau di tempat lain namanya Telek dan Jauk, itu penarinya masing-masing 6 orang, untuk Teleknya atau pimpinannya 7 orang yang semuanya laki-laki yang semuanya remaja putra yang belum berkeluarga,” papar Bendesa Gusti Made Rai Dirga.
Kesakralan pertunjukannya masih sangat dijaga meski di tengah modernisasi dan perkembangan pariwisata. Apalagi kini Desa Adat Jimbaran menjadi tujuan wisata kuliner, di samping tujuan seni dan budayanya. Tradisi Mepajar ini sendiri terakhir dipentaskan pada tahun 2017 silam. Krama dari 13 Banjar di Desa Adat Jimbaran pun nampak antusias memadati sepanjang jalan raya depan Pura Parerepan, Desa Adat Jimbaran.
“Ini tradisi pertama kali setelah pandemi dan tahun 2017 bulan April itu terakhir digelar. Maka dari itu antusiasme masyarakat sangat luar biasa. Sebenarnya kerinduan masyarakat kita akan tradisi ini sudah lama, karena kita di Hindu mengenal yang namanya dharma agama dan dharma negara. Jadi dharma agama bisa jalan kalau dharma negara memungkinkan, kalau dharma negaranya tidak memungkinkan ya kita tunggu dulu, jadi kita harus tetap disiplin dalam kewajiban kita sebagai warga negara,” tuturnya.
Pertunjukan ini berdurasi sekitar kurang lebih lima jam sejak pukul 16.00 Wita sampai 20.00 Wita yang diiringi dengan gamelan Bebarongan. Pertunjukan Mepajar di Desa Adat Jimbaran ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakatnya, oleh karena pertunjukan ini dianggap memiliki makna sakral dan religius, sebagai sarana permohonan keselamatan bagi seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini. Pada akhir pertunjukan terjadi kerauhan dan atraksi ngunying yang diikuti oleh 200 orang lebih yang nantinya seluruh prosesi akan diakhiri di Pura Ulun Suwi Kahyangan Jagat, Desa Adat Jimbaran.
“Ngunying itu berkaitan dengan Ida Bhatara Dewa Ayu, nanti setelah Telek dan Barong ini dilanjutkan dengan Ida Sesuhunan Ida Ratu Dewa Prabu, Napak Pertiwi kemudian di kegiatan itu diikuti oleh para pepatih yang jumlahnya saat ini 200 orang yang akan melakukan tradisi ngunying,” pungkas Bendesa Gusti Made Rai Dirga. *ol3
Komentar