Tahura, Hidup Harmoni dengan Buaya
Idealnya adalah co-exist atau living with harmony, manusia dan sarwa wawalungan bisa hidup bersama dan berdampingan.
DENPASAR, NusaBali
Tepat pada Hari Raya Galungan, Buda Kliwon Dungulan, Rabu (4/1), masyarakat Bali khususnya di sekitaran Bali selatan digegerkan dengan keberadaan buaya di kawasan wisata Pantai Legian, Kuta, Badung. Buaya yang belakangan diketahui merupakan jenis buaya muara (Crocodylus porosus) tersebut tengah asyik berjemur pada kawasan pantai berpasir putih itu.
Alhasil, personel Balawista (Badan Penyelamat Wisata Tirta) Pantai Kuta, Badung, dibantu warga segera menggiring buaya agar tidak menuju laut dan meresahkan wisatawan. Buaya akhirnya berhasil dievakuasi dengan peralatan seadanya dan diangkut ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tabanan menggunakan mobil rescue BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Bali.
Singkat cerita, buaya muara tersebut akhirnya mati setelah dirawat sekitar 1 - 2 jam di PPS Tabanan. Matinya buaya jenis pemangsa manusia tersebut meninggalkan misteri mengenai asal-usulnya.
Kepala BKSDA Bali Agus Budi Santosa menyatakan dengan matinya buaya tersebut praktis semakin sulit mengidentifikasi asal muasal buaya tersebut hingga mengakibatkannya terdampar di bibir Pantai Legian. Sebelumnya, Agus Budi menyatakan jika buaya muara tersebut kemungkinan berasal dari kawasan muara Bali selatan tepatnya Tahura (Taman Hutan Raya) Ngurah Rai. Kata dia, beberapa kali telah mengevakuasi buaya dari kawasan tersebut. Di lain sisi, Agus Budi juga tidak menutup kemungkinan bahwa buaya tersebut memang peliharaan warga yang lepas.
Terlepas dari masih misteriusnya asal-usul buaya yang kuburannya dirahasiakan pihak BKSDA Bali, cukup mengkhawatirkan jika benar buaya muara yang ditemukan di Pantai Legian berasal dari habitat Tahura Ngurah Rai. Sebagian kawasan Tahura Ngurah Rai diketahui padat aktivitas warga, seperti memancing ataupun berwisata. Bahkan para pemimpin negara G20 sempat mengelilingi salah satu bagian kawasan ini.
"Sebagian lokasi Tahura Ngurah Rai merupakan areal bagi warga setempat untuk mencari nafkah, perjumpaan dengan satwa buaya tentunya bukan hal yang diinginkan. Di sisi lain, satwa liar buaya akan berkelana untuk mencari makan dengan menuju tempat keberadaan makanannya (prey)," sebut Agus Budi, Jumat (6/1).
Dia merinci sejak tahun 2019 setidaknya sudah empat buaya dievakuasi dari kawasan Tahura Ngurah Rai. Namun begitu ukurannya tidak ada yang sampai 3,5 meter seperti yang dijumpai di Pantai Legian. "BKSDA Bali sudah beberapa kali evakuasi buaya akibat konflik, termasuk dari Tahura Ngurah Rai, namun panjangnya tidak pernah lebih dari 2 meter," terangnya.
Sama dengan makhluk hidup lainnya di muka bumi ini, buaya (muara) pastinya memiliki fungsi pada keseimbangan ekosistemnya. Buaya muara melengkapi rantai makanan ekosistem peralihan darat dan laut. Buaya muara ini diketahui aktif pada siang dan malam hari. Mangsanya meliputi ikan, amfibi, reptilia, atau burung. Tahura Ngurah Rai dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
Alhasil, personel Balawista (Badan Penyelamat Wisata Tirta) Pantai Kuta, Badung, dibantu warga segera menggiring buaya agar tidak menuju laut dan meresahkan wisatawan. Buaya akhirnya berhasil dievakuasi dengan peralatan seadanya dan diangkut ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tabanan menggunakan mobil rescue BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Bali.
Singkat cerita, buaya muara tersebut akhirnya mati setelah dirawat sekitar 1 - 2 jam di PPS Tabanan. Matinya buaya jenis pemangsa manusia tersebut meninggalkan misteri mengenai asal-usulnya.
Kepala BKSDA Bali Agus Budi Santosa menyatakan dengan matinya buaya tersebut praktis semakin sulit mengidentifikasi asal muasal buaya tersebut hingga mengakibatkannya terdampar di bibir Pantai Legian. Sebelumnya, Agus Budi menyatakan jika buaya muara tersebut kemungkinan berasal dari kawasan muara Bali selatan tepatnya Tahura (Taman Hutan Raya) Ngurah Rai. Kata dia, beberapa kali telah mengevakuasi buaya dari kawasan tersebut. Di lain sisi, Agus Budi juga tidak menutup kemungkinan bahwa buaya tersebut memang peliharaan warga yang lepas.
Terlepas dari masih misteriusnya asal-usul buaya yang kuburannya dirahasiakan pihak BKSDA Bali, cukup mengkhawatirkan jika benar buaya muara yang ditemukan di Pantai Legian berasal dari habitat Tahura Ngurah Rai. Sebagian kawasan Tahura Ngurah Rai diketahui padat aktivitas warga, seperti memancing ataupun berwisata. Bahkan para pemimpin negara G20 sempat mengelilingi salah satu bagian kawasan ini.
"Sebagian lokasi Tahura Ngurah Rai merupakan areal bagi warga setempat untuk mencari nafkah, perjumpaan dengan satwa buaya tentunya bukan hal yang diinginkan. Di sisi lain, satwa liar buaya akan berkelana untuk mencari makan dengan menuju tempat keberadaan makanannya (prey)," sebut Agus Budi, Jumat (6/1).
Dia merinci sejak tahun 2019 setidaknya sudah empat buaya dievakuasi dari kawasan Tahura Ngurah Rai. Namun begitu ukurannya tidak ada yang sampai 3,5 meter seperti yang dijumpai di Pantai Legian. "BKSDA Bali sudah beberapa kali evakuasi buaya akibat konflik, termasuk dari Tahura Ngurah Rai, namun panjangnya tidak pernah lebih dari 2 meter," terangnya.
Sama dengan makhluk hidup lainnya di muka bumi ini, buaya (muara) pastinya memiliki fungsi pada keseimbangan ekosistemnya. Buaya muara melengkapi rantai makanan ekosistem peralihan darat dan laut. Buaya muara ini diketahui aktif pada siang dan malam hari. Mangsanya meliputi ikan, amfibi, reptilia, atau burung. Tahura Ngurah Rai dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
Dia menambahkan, meskipun International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menyatakan buaya muara memiliki status kepunahan 'risiko rendah', di Indonesia buaya muara justru merupakan jenis satwa yang dilindungi.
Jika benar masih ada buaya di Tahura Ngurah Rai, konflik kepentingan tentunya tidak dapat dihindari dengan aktivitas manusia di dalamnya. Namun begitu, Agus Budi meminta masyarakat dapat hidup harmonis 'berdampingan' dengan buaya. "Kondisi idealnya adalah co-exist atau living with harmony, manusia dan sarwa wawalungan bisa hidup bersama dan berdampingan," ujarnya.
Meski begitu warga tampaknya juga mesti waspada dengan keberadaan buaya muara di sekitar. Buaya ini adalah salah satu dari buaya-buaya yang berbahaya bagi manusia. Panjang tubuh buaya ini (termasuk ekor) biasanya antara 4,5 sampai 5,5 meter, namun bisa mencapai lebih dari 6 meter. Menjadikannya spesies buaya terbesar di dunia.
Keberadaan buaya pada masa sekarang di Bali menjadi hal unik. Tidak demikian halnya di masa lalu. Keberadaan buaya di kawasan muara sungai kerap diceritakan tetua orang Bali. Karena itu para tetua meminta untuk berhati-hati ketika berada di kawasan muara sungai. *cr78
Jika benar masih ada buaya di Tahura Ngurah Rai, konflik kepentingan tentunya tidak dapat dihindari dengan aktivitas manusia di dalamnya. Namun begitu, Agus Budi meminta masyarakat dapat hidup harmonis 'berdampingan' dengan buaya. "Kondisi idealnya adalah co-exist atau living with harmony, manusia dan sarwa wawalungan bisa hidup bersama dan berdampingan," ujarnya.
Meski begitu warga tampaknya juga mesti waspada dengan keberadaan buaya muara di sekitar. Buaya ini adalah salah satu dari buaya-buaya yang berbahaya bagi manusia. Panjang tubuh buaya ini (termasuk ekor) biasanya antara 4,5 sampai 5,5 meter, namun bisa mencapai lebih dari 6 meter. Menjadikannya spesies buaya terbesar di dunia.
Keberadaan buaya pada masa sekarang di Bali menjadi hal unik. Tidak demikian halnya di masa lalu. Keberadaan buaya di kawasan muara sungai kerap diceritakan tetua orang Bali. Karena itu para tetua meminta untuk berhati-hati ketika berada di kawasan muara sungai. *cr78
Komentar