Penjor
Bagaimana penjor, bambu melengkung berhias itu, berevolusi, bisa menjadi pantulan dan jejak seperti apa perubahan Bali.
Hiasan penjor yang semula sederhana namun sarat filosofi, kini berubah wujud menjadi batang bambu yang sungguh-sungguh meriah dengan hiasan. Dia lebih mementingkan tampilan tinimbang ungkapan rasa syukur dan bahagia.
Dulu, sebelum tahun ‘80an, tidak semua keluarga Bali menancapkan penjor menjelang Hari Raya Galungan. Beberapa keluarga menancapkan penjor sederhana di depan rumah, bisa jadi tetangganya tidak memasang penjor. Di sebuah desa, di kota apalagi, penjor-penjor itu berselang-seling di antara gerbang-gerbang rumah. Mungkin lima keluarga berderet memasang penjor sebelah menyebelah, setelah itu tidak ada penjor terpasang beberapa rumah setelahnya.
Tapi, Galungan tetap meriah. Bukan penjor itu benar menjadi ukuran apakah orang-orang merayakan Galungan dengan riang, dan anak-anak bermain serta bersepeda di sepanjang jalan desa yang berdebu. Penjor tidak menjadi ciri Galungan dilaksanakan dengan khidmat atau tidak. Seseorang mungkin sibuk merias bambu melengkung sehari sebelum Galungan. Tetangganya lewat, yang lagi sibuk menancapkan penjor bertanya, “Sing memenjor, Bli?” (Tidak pasang penjor, Bli?). Yang ditanya menjawab enteng, “Gak ada waktu, lagi sibuk mengurus babi dan sapi.” Dan yang memasang penjor cuma manggut-manggut, “Ooooooo keto?”
Pernah ada perbincangan Galungan nadi, saat orang-orang diharuskan memenjor. Seperti diajak menghayati kembali makna penjor, masyarakat pun mulai sadar, bahwa menancapkan penjor untuk Galungan itu penting sebagai bagian dari penghayatan akan nilai-nilai budaya dan tradisi, untuk meresapi makna ciri khas yang diwariskan.
Namun, tidak setiap Galungan nadi orang-orang kemudian memenjor. Tidak Galungan nadi pun mereka pasang penjor. Maka, saban Galungan kemudian selalu ada penjor ditancapkan di depan gerbang rumah. Tak peduli itu di dusun atau di kota. Dan penjor kemudian tidak lagi sederhana, tidak lagi menjadi tempat untuk mencurahkan filosofi keberuntungan, kebahagiaan atau rasa syukur. Penjor sungguh-sungguh menjadi bagian penting dari kemeriahan Galungan. Tidak memenjor Galungan menjadi tidak lengkap, ada yang kurang, geregetnya hilang.
Perlahan-lahan memenjor menjadi suatu kebutuhan, yang kemudian berkembang menjadi ketagihan. Bersamaan dengan tumbuhnya kelas menengah di desa dan kota, penjor-penjor mahal oleh hiasan kian banyak dan membuat tepi jalan, gerbang rumah, menjadi semarak. Tanpa kita sadari, penjor mengalami evolusi, dari bambu melengkung yang sederhana menjadi penjor berhias ramai bukan main. Banyak orang kemudian tamasya ke desa-desa, ke luar masuk kota dari satu kabupaten ke kabupaten lain, semata untuk melihat-lihat penjor, menikmati bambu berhias itu penuh takjub.
Tapi, selalu saja ada orang yang tidak suka akan evolusi penjor. Salah satu orang itu tinggal di Denpasar, di sekitarnya adalah masyarakat majemuk. Tentu banyak tetangganya orang Bali, sudah pasti saban Galungan memenjor. Ada pula tetangga dari Jawa Barat, Jakarta, Surabaya, Solo. Orang-orang ini jelas tidak memenjor, karena mereka tidak merayakan Galungan.
Mereka kemudian bertanya pada orang Bali, Ketut Polih, yang tidak memenjor itu. “Pak, bapak kan orang Bali, kok tidak pasang penjor?” Ketut Polih pun tersipu-sipu, dan cuma menjawab pendek. “Saya lagi sibuk di kantor, Pak.” Orang Solo itu bertanya lagi, “Kan bisa beli Pak?” Polih tersenyum, “Saya lebih suka bikin penjor sendiri, lebih menghayati, tapi saya lagi repot.”
Mereka yang dari luar Bali itu tahu, Polih tak pernah memenjor saban Galungan. Sesungguhnya ia malas bikin penjor, namun kepada tetangga ia kadang berdalih, “Di Bali sudah terlalu banyak ada penjor. Tidak hari raya pun, jika ada turis datang, festival musik, lomba macam-macam, sering ada penjor. Di gang sekitar tempat tinggal kita saja ada puluhan penjor.” Namun orang-orang dari luar Bali itu telanjur sangat suka sama penjor. Mereka merasa benar-benar tinggal di Bali kalau menyaksikan penjor berjajar, tidak ada di daerah mana pun.
Karena itu mereka heran, mengapa di Gianyar, penjor itu dicabut paksa, dirusak, justru oleh orang Bali sendiri. Dan perkaranya sampai ke pengadilan, menjadikan para pemimpin adat sebagai tersangka. *
Aryantha Soethama
1
Komentar