Sempat Koma Selama Seminggu, Kini Mulai Bisa Membuka Mata
Maestro Seni Tabuh I Wayan Djebeg Terbaring Lemah di ICU RS Ari Shanti Desa Mas, Ubud
GIANYAR, NusaBali
Maestro seni tabuh I Wayan Djebeg, 85, tengah terbaring lemah di Ruang ICU RS Ari Shanti Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar. Seniman asal Banjar Batur, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini dirawat intensif sejak 14 Mei 2017 lalu, karena didiagnose mengalami penggumpalan darah di kepala, masalah saluran kencing, dan saraf yang tidak berfungsi normal.
Stelah sepekan lebih dirawat di ICU RS Ari Santhi, Wayan Djebeg yang dikenal sebagai seniman alam sepesialis tabuh Lelambatan sudah mulai bisa membuka mata dan menggerakkan tubuh bagian kanan. “Sebelumnya, Pekak (kakek) sempat tidak sadarkan diri selama seminggu,” ungkap salah seorang cucu Pekak Djebeg, yakni I Wayan Eka Jaya Saputra, 28, saat ditemui NusaBali di rumahnya kawasan Banjar Batur, Desa Batubulan, Senin (22/5).
Wayan Eka Jaya menyebutkan, sebelum terbaring lemah di ICU RS Ari Asanthi, kakeknya yang kini berusia 85 tahun masih sempat membina Gong Kebyar Wanita Kabupaten Gianyar. Menurut Eka Jaya, tidak ada istilah sakit bagi kakeknya jika sudah diminta untuk membina seni tabuh. “Tapi, kali ini beda, mungkin karena sudah usia dan banyak pikiran, makanya kondisi Pekak drop,” tutur Eka Jaya.
Sepengetahuan Eka Eka Jaya, Pekak Djebeg yang telah menyabet sejumlah penghargaan atas kiprahnya di bidang seni tabuh, memang tidak pernah menderita sakit parah. Sakit yang menjadi langganan hanyalah maag, karena telat makan lantaran padatnya aktivitas berkesenian.
Pekak Djebeg, kata Eka Jaya, termasuk seniman yang sanhat idealis. Sebetilnya, Pekak Djebeg berpotensi membuat sanggar seni di rumahnya. Namun, Pekak Djebag tidak mau melakukannya, karena khawatir bisa menduakan Sanggar Pemaksan Barong yang berada di bawah naungan Banjar Batur, Desa Batubulan.
“Pernah saya tanyakan kepada beliau (Pekak Djebeg), kenapa nggak bikin sanggar saja? Langsung saja pertanyaan itu dimentahkan Pekak. ‘Nguda ci bin ngae sanggar jumah? To di banjar sube ade, selegan melajah ditu’ (Ngapai kamu bikin sanggar lagi di rumah? Itu di banjar sudah ada sanggar, belajarlah di sana dengan baik, Red)’,” kenang Eka Jaya menirukan pesan Pekak Djebeg.
Pekak Djebeg sendiri merupakan seniman alam yang belajar menabuh secara otodidak. Kiprahnya di bidang seni tabuh Lelambatan diawali dengan menjadi penauh Gong Kebyar Kabupaten Gianyar pada Pesta Kesenian Bali (PKB) 1982. Pekak Djebeg juga pernah keliling Eropa selama 8 bulan sebagai duta seni. “Terakhir, Pekak berangkat ke India tahun 1998,” jelas Eka Jaya, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang kini menjadi pegawai LPD Jero Kuta, Batubulan.
Sebagai sosok seniman yang idealis, kemampuan Pekak Djebeg pembina tabuh hingga melanglang buana ke seluruh Bali, tidak lantas dijadikan amunisi oleh keturunannya demi mendapatkan pekerjaan. Pekak Djebeg tetaplah seorang pembina tabuh yang lahir dari keluarga miskin dan hidup sederhana bersama 5 anak perempuannya.
Karena tekanan-tekanan ekonomi, Pekak Djebeg dulunya hanya sempat mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR)---setingkat SD. “Secara teori, Pekak memang kurang. Tapi prakteknya, saya akui sangat luar biasa. Saya sebagai penerusnya pun merasa tidak akan bisa seperti beliau,” jelas Eka Jaya.
Berbekal semangat yang membara disertai ketekunan dan kerja keras, Pekak Djebeg mulai terjun berkesenian sejak 1942, saat usianya menginjak 10 tahun. Saat itu, dia berkesenian dengan menjadi penari gandrung, joged laki-laki. Pekak Djebeg bisa terjun berkesenian hannya berbekal semangat yang tinggi dan kerja keras, tanpa mencari penguruk (pelatih).
“Setelah tamat dari SR, beliau sering ikut menabuh ke mana-mana selama 15 tahun. Dengan pengalamannya itu, beliau bisa menambah ilmu dan menambah skil di dalam bidang kesenian,” terang Eka Jaya.
Pada 1962, Pekak Djebeg diajak bekerja di URIL atau Ajendam Indonesia selama 27 tahun. Selama itu pula, Pekak Djebeg bekerja keliling Indonesia sebagai penghibur masyarakat, TNI AD, dan lainnya yang memerlukan hiburan kesenian Bali.
Kemudian, tahun 1982 Pekak Djebeg ditunjuk sebagai penabuh Gong Kebyar Kabupaten Gianyar untuk Pesta Kesenian Bali (PKB). Saat menabuh, dia sering memainkan instrumen terompong dan kendang. Tiga tahun kemudian, Pekak Djebeg langsung diangkat sebagai pembina Gong Kebyar Kabupaten Gianyar pada 1985. Salah satu tabuh ciptaannya yang fenomenal adalah tabuh Lelambatan. Atas prestasinya, Pekak Djebeg sempat dianugerahi Penghargaan Wija Kusuma Kabupaten Gianyar Tahun 1986.
Menurut salah seorang kerabatnya, Dewa Made Wedantara, budayawan Prof Dr I Made Bandem sering bertandang ke kediaman Pekak Djebeg untuk memperdalam ilmu berkesenian. “Prof Bandem sering datang ke sini untuk sharing tentang tabuh,” ungkap Dewa Wedantara, yang Senin kemarin berada di rumah keluarga besar Pekak Djebeg.
Dewa Wedantara menyebutkan, perhatian pemerintah terhadap sosok Pekak Djebeg masih sangat minim. Padahal, hasil karya dan pembinaan Pekak Djebeg telah dimanfaatkan dan dinikmati oleh para seniman tabuh. “Setahu saya, perhatian pemerintah masih minim terhadap beliau. Padahal kiprahnya luar biasa untuk kesenian Bali,” ungkap Dewa Wedantara.
Pekak Djebeg, maestro seni tabuh yang kini terbaring lemah di rumah sakit, merupaman suami dari Ni Wayan Lambon (almarhum). Dari pernihannya dengan Wayan Lambon, Pekak Djebeg dikaruniai 5 anak perempuan, yakni Ni Wayan Darni, Ni Ketut Nadi, Ni Wayan Sudiarti, Ni Made Kormi (tinggal di rumah asal dengan suami nyentana), dan Ni Nyoman Sukanti (almarhum). Sang cucu, Wayan Eka Jaya Saputra, merupakan anak dari Ni Made Kormu dengan suami nyentana I Made Marjaya. *nvi
Maestro seni tabuh I Wayan Djebeg, 85, tengah terbaring lemah di Ruang ICU RS Ari Shanti Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar. Seniman asal Banjar Batur, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini dirawat intensif sejak 14 Mei 2017 lalu, karena didiagnose mengalami penggumpalan darah di kepala, masalah saluran kencing, dan saraf yang tidak berfungsi normal.
Stelah sepekan lebih dirawat di ICU RS Ari Santhi, Wayan Djebeg yang dikenal sebagai seniman alam sepesialis tabuh Lelambatan sudah mulai bisa membuka mata dan menggerakkan tubuh bagian kanan. “Sebelumnya, Pekak (kakek) sempat tidak sadarkan diri selama seminggu,” ungkap salah seorang cucu Pekak Djebeg, yakni I Wayan Eka Jaya Saputra, 28, saat ditemui NusaBali di rumahnya kawasan Banjar Batur, Desa Batubulan, Senin (22/5).
Wayan Eka Jaya menyebutkan, sebelum terbaring lemah di ICU RS Ari Asanthi, kakeknya yang kini berusia 85 tahun masih sempat membina Gong Kebyar Wanita Kabupaten Gianyar. Menurut Eka Jaya, tidak ada istilah sakit bagi kakeknya jika sudah diminta untuk membina seni tabuh. “Tapi, kali ini beda, mungkin karena sudah usia dan banyak pikiran, makanya kondisi Pekak drop,” tutur Eka Jaya.
Sepengetahuan Eka Eka Jaya, Pekak Djebeg yang telah menyabet sejumlah penghargaan atas kiprahnya di bidang seni tabuh, memang tidak pernah menderita sakit parah. Sakit yang menjadi langganan hanyalah maag, karena telat makan lantaran padatnya aktivitas berkesenian.
Pekak Djebeg, kata Eka Jaya, termasuk seniman yang sanhat idealis. Sebetilnya, Pekak Djebeg berpotensi membuat sanggar seni di rumahnya. Namun, Pekak Djebag tidak mau melakukannya, karena khawatir bisa menduakan Sanggar Pemaksan Barong yang berada di bawah naungan Banjar Batur, Desa Batubulan.
“Pernah saya tanyakan kepada beliau (Pekak Djebeg), kenapa nggak bikin sanggar saja? Langsung saja pertanyaan itu dimentahkan Pekak. ‘Nguda ci bin ngae sanggar jumah? To di banjar sube ade, selegan melajah ditu’ (Ngapai kamu bikin sanggar lagi di rumah? Itu di banjar sudah ada sanggar, belajarlah di sana dengan baik, Red)’,” kenang Eka Jaya menirukan pesan Pekak Djebeg.
Pekak Djebeg sendiri merupakan seniman alam yang belajar menabuh secara otodidak. Kiprahnya di bidang seni tabuh Lelambatan diawali dengan menjadi penauh Gong Kebyar Kabupaten Gianyar pada Pesta Kesenian Bali (PKB) 1982. Pekak Djebeg juga pernah keliling Eropa selama 8 bulan sebagai duta seni. “Terakhir, Pekak berangkat ke India tahun 1998,” jelas Eka Jaya, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang kini menjadi pegawai LPD Jero Kuta, Batubulan.
Sebagai sosok seniman yang idealis, kemampuan Pekak Djebeg pembina tabuh hingga melanglang buana ke seluruh Bali, tidak lantas dijadikan amunisi oleh keturunannya demi mendapatkan pekerjaan. Pekak Djebeg tetaplah seorang pembina tabuh yang lahir dari keluarga miskin dan hidup sederhana bersama 5 anak perempuannya.
Karena tekanan-tekanan ekonomi, Pekak Djebeg dulunya hanya sempat mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR)---setingkat SD. “Secara teori, Pekak memang kurang. Tapi prakteknya, saya akui sangat luar biasa. Saya sebagai penerusnya pun merasa tidak akan bisa seperti beliau,” jelas Eka Jaya.
Berbekal semangat yang membara disertai ketekunan dan kerja keras, Pekak Djebeg mulai terjun berkesenian sejak 1942, saat usianya menginjak 10 tahun. Saat itu, dia berkesenian dengan menjadi penari gandrung, joged laki-laki. Pekak Djebeg bisa terjun berkesenian hannya berbekal semangat yang tinggi dan kerja keras, tanpa mencari penguruk (pelatih).
“Setelah tamat dari SR, beliau sering ikut menabuh ke mana-mana selama 15 tahun. Dengan pengalamannya itu, beliau bisa menambah ilmu dan menambah skil di dalam bidang kesenian,” terang Eka Jaya.
Pada 1962, Pekak Djebeg diajak bekerja di URIL atau Ajendam Indonesia selama 27 tahun. Selama itu pula, Pekak Djebeg bekerja keliling Indonesia sebagai penghibur masyarakat, TNI AD, dan lainnya yang memerlukan hiburan kesenian Bali.
Kemudian, tahun 1982 Pekak Djebeg ditunjuk sebagai penabuh Gong Kebyar Kabupaten Gianyar untuk Pesta Kesenian Bali (PKB). Saat menabuh, dia sering memainkan instrumen terompong dan kendang. Tiga tahun kemudian, Pekak Djebeg langsung diangkat sebagai pembina Gong Kebyar Kabupaten Gianyar pada 1985. Salah satu tabuh ciptaannya yang fenomenal adalah tabuh Lelambatan. Atas prestasinya, Pekak Djebeg sempat dianugerahi Penghargaan Wija Kusuma Kabupaten Gianyar Tahun 1986.
Menurut salah seorang kerabatnya, Dewa Made Wedantara, budayawan Prof Dr I Made Bandem sering bertandang ke kediaman Pekak Djebeg untuk memperdalam ilmu berkesenian. “Prof Bandem sering datang ke sini untuk sharing tentang tabuh,” ungkap Dewa Wedantara, yang Senin kemarin berada di rumah keluarga besar Pekak Djebeg.
Dewa Wedantara menyebutkan, perhatian pemerintah terhadap sosok Pekak Djebeg masih sangat minim. Padahal, hasil karya dan pembinaan Pekak Djebeg telah dimanfaatkan dan dinikmati oleh para seniman tabuh. “Setahu saya, perhatian pemerintah masih minim terhadap beliau. Padahal kiprahnya luar biasa untuk kesenian Bali,” ungkap Dewa Wedantara.
Pekak Djebeg, maestro seni tabuh yang kini terbaring lemah di rumah sakit, merupaman suami dari Ni Wayan Lambon (almarhum). Dari pernihannya dengan Wayan Lambon, Pekak Djebeg dikaruniai 5 anak perempuan, yakni Ni Wayan Darni, Ni Ketut Nadi, Ni Wayan Sudiarti, Ni Made Kormi (tinggal di rumah asal dengan suami nyentana), dan Ni Nyoman Sukanti (almarhum). Sang cucu, Wayan Eka Jaya Saputra, merupakan anak dari Ni Made Kormu dengan suami nyentana I Made Marjaya. *nvi
Komentar