Libatkan 4.000 Orang, Desa Adat Munggu Gelar Tradisi Tolak Bala Mekotek
MANGUPURA, NusaBali.com - Tepat di Hari Raya Kuningan, Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (14/1/2023) siang, krama Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung, melaksanakan tradisi tolak bala mekotek.
Bendesa Adat Munggu, I Made Rai Sujana, 56, mengungkapkan tradisi ini sudah berlangsung sejak abad ke-18.
Sebelumnya tradisi ini dimulai sebagai bentuk perayaan terhadap kemenangan Bala Yudha Kerajaan Mengwi dari Taruna Munggu. Saat itu Kerajaan Mengwi berhasil mempertahankan wilayahnya di Blambangan, Jawa Timur.
“Sebelum bala pasukan berangkat menuju medan pertempuran, Ida Cokorda Nyoman Sakti Aleng Kajeng bersamedi di Pura Dalem Desa Adat Munggu tepat pada hari Tumpek Kuningan,” kata Rai Sujana dijumpai sebelum acara dimulai.
Ida Cokorda Nyoman Sakti Aleng Kajeng ini merupakan penguasa wilayah Munggu dari Kerajaan Mengwi. Setelah sang kakanda wafat, Cokorda Aleng Kajeng menjadi penguasa Kerajaan Mengwi.
Masa pertapaan pada Tumpek Kuningan ini hingga kini dijadikan hari perayaan dan tolak bala mekotek. Meskipun tumbak sebagai alat mekotek sudah diganti kayu untuk mengurangi kecurigaan penjajah Belanda.
Prosesi tradisi diawali dengan persembahyangan di Pura Dalem Desa Adat Munggu. Pada tahap pertama ini, Tamiang Kolem berupa tameng peninggalan bala pasukan di masa lalu ditedunkan (diturunkan) untuk diarak ke Pura Puseh lan Desa di Banjar Kerobokan, Munggu.
Setelah sasuhunan Tamiang Kolem ini sampai dari Pura Dalem di Banjar Pempatan, persembahyangan kembali dilaksanakan untuk menedunkan tumbak dan panji perang.
Dari Pura Puseh lan Desa inilah, seluruh krama Desa Adat Munggu yang terdiri dari 12 banjar adat bakal memulai tradisi tolak bala mekotek.
“Pandemi lalu, pesertanya terbatas. Hari ini semua krama yang terdiri kurang lebih 4.000 krama minimal usia 14 tahun diwajibkan seluruhnya berpartisipasi,” jelas Rai Sujana.
Setidaknya ada 4 catus pata desa yang bakal menjadi titik kulminasi mekotek. Di titik-titik ini, kayu pulet yang menjadi alat mekotek dipadukan dan dipanjat krama. Bunyi ‘tek, tek, tek’ ini menjadi representasi kebahagiaan dan doa agar wewidangan desa adat bebas dari angkara murka yang menempati catus pata (pertemuan beberapa jalan) desa.
Tradisi ini sempat dilarang di masa lalu oleh penjajah Belanda. Akibatnya, terjadilah gering ageng yakni wabah penyakit, kelaparan, dan kematian massal bertahun-tahun.
“Kami berharap dengan dilaksanakannya tradisi mekotek ini, wewidangan Desa Adat Munggu khususnya, dan Kabupaten Badung pada umumnya dapat terhindar dari mara bahaya dan dilimpahkan kesejahteraan,” tandas Rai Sujana. *rat
1
Komentar