Makotek Libatkan 4.000 Krama Adat
Ritual Sakral yang Sempat Dibatasi saat Pandemi Covid-19
MANGUPURA, NusaBali
Tradisi makotek melibatkan sekitar 4.000 krama adat kembali digelar Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung, pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (14/1).
Tradisi sakral ini kembali digelar setelah sempat dibatasi selama Pandemi Covid-19, karena PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) oleh pemerintah.
Ribuan krama dari 12 banjar di Desa Adat Munggu tumpah ruah mengikuti ritual sakral yang digelar setiap rahina (hari) Suci Kuningan tersebut. Ritual makotek diawali dengan penyiapan kayu pulet, yang ujungnya dihiasi daun pandan serta tamiang (hiasan janur) oleh masing-masing krama pada pukul 12.00 Wita. Prosesi dilanjutkan dengan menyucikan dan nedunang (menurunkan) Tamiang Kolem yang disthanakan di Pura Puseh, Desa Adat Munggu.
Bendesa Adat Munggu, I Made Rai Sujana mengungkapkan, sejatinya tidak ada yang berbeda dari pelaksanaan tradisi makotek kemarin dengan sebelumnya. “Saat pandemi Covid-19 jumlah pesertanya dibatasi dan waktu pelaksanaan dikurangi. Namun kini pelaksanaan tradisi makotek sudah kembali normal karena PPKM sudah dicabut,” ujar Rai Sujana.
"Tradisi makotek di Desa Adat Munggu hari ini (kemarin, red) sudah bisa berjalan dengan baik. Seluruh krama adat ikut ngayah. Peserta terdiri dari krama dari 12 banjar adat se-Desa Adat Munggu, dengan perkiraan lebih dari 4.000 jiwa," imbuhnya.
Rai Sujana menuturkan, tradisi makotek diperkirakan sudah ada sejak tahun 1.700 masehi. Saat itu, Kerajaan Mengwi yang memiliki wilayah kekuasaan sampai di Wilayah Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur sedang menghadapi perang. Wilayah Blambangan ingin direbut oleh kerajaan yang ada di Pulau Jawa. Sehingga diutuslah Pasukan Taruna Munggu untuk mempertahankan wilayah kekuasaan yang ada di Wilayah Blambangan. "Sebelum pasukan ini berangkat ke medan perang, mereka mengadakan semedi di Pura Dalem Munggu tepat pada Rahina Tumpek Kuningan," jelas Rai Sujana.
Singkat cerita, Pasukan Taruna Munggu berhasil dalam misi mempertahankan wilayah kekuasaan di Blambangan yang kemudian dirayakan dengan makotek. “Hingga sekarang, setiap Tumpek Kuningan tradisi makotek digelar sebagai peringatan kemenangan Pasukan Taruna Munggu. Tradisi ini juga sebagai penghormatan pada pahlawan yang telah gugur dalam misi tersebut," kata Rai Sujana.
Selain sebagai peringatan kemenangan, kata Rai Sujana, ternyata tradisi makotek juga memiliki fungsi lain yakni sebagai penolak bala. Jika tidak dilaksanakan, bencana wabah dikhawatirkan akan melanda wilayah Desa Munggu.
Terbukti pada zaman penjajahan Belanda, tradisi ini pernah dilarang karena dicurigai sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penguasa ketika itu. Apalagi saat itu, makotek masih menggunakan tombak. Namun setelah beberapa kali tidak dilakukan ritual makotek karena dilarang, terjadi wabah penyakit yang menyebabkan banyak warga Munggu meninggal dunia.
"Para tetua kami bernegosiasi dengan Belanda, dan akhirnya tradisi ini kembali diizinkan untuk dilaksanakan. Namun yang dulunya pakai tombak, diganti dengan kayu pulet. Mulai saat itu, diyakini bahwa makotek juga sebagai penolak bala atau memohon keselamatan dan kemakmuran oleh masyarakat Munggu. Karenanya, saat makotek warga mengelilingi Desa Adat Munggu sambil menyatukan kayu pulet," ujar Rai Sujana. *ind
Komentar