Peringati Asal Muasal, Desa Adat Blahkiuh Lestarikan Tradisi Ngerebeg Matiti Suara Warisan Singasari
Diproyeksikan Menjadi Warisan Budaya Takbenda dari Kabupaten Badung
MANGUPURA, NusaBali.com – Desa Adat Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal menggelar tradisi Ngerebeg Matiti Suara warisan Kerajaan Singasari pada Redite Umanis Langkir, Minggu (15/1/2023) sore.
Tradisi yang diadakan setiap Umanis Kuningan ini sudah berlangsung sejak keberadaan Kerajaan Singasari pada abad ke-17. Penyebutan nama Singasari merujuk kepada sebuah wilayah bawahan Kerajaan Mengwi yang berpusat di Desa Adat Blahkiuh.
Berdasarkan babad Kerajaan Mengwi, Kerajaan Singasari pimpinan I Gusti Putu Pacung atas titah penguasa Kerajaan Mengwi ini menjadi asal muasal Desa Adat Blahkiuh yang terdiri dari tujuh banjar adat.
Bendesa Adat Blahkiuh I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja, 65, menjelaskan bahwa tradisi Ngerebeg ini merupakan representasi defile pasukan Kerajaan Singasari. Dalam praktiknya, defile pasukan ini digambarkan dengan tari Nawasanga beserta pasukan pengiringnya.
“Pada masa Kerajaan Singasari, Ngerebeg ini adalah sebuah perayaan berupa defile pasukan. Tujuannya untuk memamerkan kekuatan yang dimiliki kerajaan di masa itu,” kata Agung Sudaratmaja ketika ditemui di sela-sela acara.
Selain berupa ajang unjuk kekuatan, pasukan Kerajaan Singasari tersebut beserta panji dan senjata perangnya dipasupati terlebih dahulu. Pasupati tersebut dilaksanakan di Pura Luhur Giri Kusuma yang pada masa sekarang terletak di depan Pasar Adat Blahkiuh.
Secara niskala, arak-arakan ini bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif di wewidangan Kerajaan Singasari di masa lalu. Sebab, panji dan senjata yang diarak dan sudah dipasupati tersebut mampu menyeimbang kekuatan positif dan negatif. Selain itu, kawangen pasupati juga dibawa pulang oleh krama untuk diletakkan pada senjat pusaka atau di parahyangan rumah sehingga energinya ada di setiap pelosok desa.
“Tradisi inilah yang konsisten kami lestarikan hingga saat ini, yang dilaksanakan pada Umanis Kuningan. Karena ini juga berkaitan dengan menetralisir sisa-sisa kekuatan negatif Bhuta Dungulan, Bhuta Galungan, dan Bhuta Amengkurat sepanjang Galungan dan Kuningan,” imbuh mantan Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung.
Di samping tradisi Ngerebeg, sejak kepemimpinan Agung Sudaratmaja sebagai Bendesa Adat Blahkiuh, purana Pura Luhur Giri Kusuma dibuka kembali. Dari menelisik purana itu, tradisi Ngerebeg ini ditambahkan prosesi Matiti Suara. Sebuah prosesi pangeling-eling atas keberadaan pura kahyangan jagat tersebut.
Kata Bendesa Adat Blahkiuh yang juga putra konseptor Tri Hita Karana I Gusti Ketut Kaler, krama desa pada suatu masa pernah meredup kesadarannya terhadap keadiluhungan Pura Luhur Giri Kusuma. Sebuah pura yang didirikan atas keberadaan Kerajaan Singasari di Blahkiuh dan juga stana Sang Hyang Lingga Bhuana sebagai sumber kesejahteraan.
Oleh karena itu, prosesi Matiti Suara dilaksanakan serangkaian Ngerebeg pada dua tahun terakhir. Prosesi ini dilakukan dengan mengucapkan sumpah atau komitmen ‘tata tita tetes toting tutur’.
“Setiap enam bulan sekali, ada satu dari tujuh banjar bergiliran ngamong (menjadi panitia) pelaksaan tradisi Ngerebeg Matiti Suara. Banjar tersebut juga bertanggung jawab atas komponen pertunjukan tradisi,” jelas Agung Sudaratmaja yang juga panglingsir Jero Bakungan.
Agung Sudaratmaja membeberkan bahwa berdasarkan catatan sejarah, tradisi Ngerebeg ini belum pernah tidak diadakan. Hanya saja, spiritnya sempat meredup sebagaimana dicatat dalam purana Pura Luhur Giri Kusuma.
Namun, apabila tidak diadakan maka kekuatan negatif akan merajalela. Mara bahaya dan wabah penyakit akan terjadi di mana-mana karena kekuatan bhuta kala yang tidak dinetralisir.
“Kami ingin mengusulkan tradisi Ngerebeg ini sebagai warisan budaya takbenda. Tim kajian sedang kami bentuk dan sedang berproses untuk menyusun dokumentasi,” tandas Bendesa Adat Blahkiuh asal Banjar Tengah. *rat
Komentar