Yang Jarang Dilirik Saat Tradisi Mekotek
MANGUPURA, NusaBali.com – Pada pelaksanaan mekotek, pusat perhatian selalu tertuju pada proses pemaduan kayu pulet dan memanjat ke puncaknya. Setidaknya ada tiga hal yang luput dari perhatian.
Bendesa Adat Munggu I Made Rai Sujana, 56, menjelaskan bahwa Desa Adat Munggu merupakan bekas wilayah bawahan Kerajaan Mengwi. Di masa lalu, wilayah ini dipimpin oleh saudara penguasa kerajaan yakni Ida Cokorda Nyoman Sakti Aleng Kanjeng.
Banyak yowana Munggu di masa itu, direkrut menjadi Bala Yudha kerajaan. Jejak-jejak sejarah ini menyisakan keunikan tersendiri bagi khazanah adat di wilayah yang kini bagian dari Kecamatan Mengwi ini.
Pertama kekhasan kahyangan tiga Desa Adat Munggu. Baik di Pura Puseh lan Desa, juga di Pura Dalem terdapat jejak penguasaan Kerajaan Mengwi. Di Pura Puseh lan Desa terdapat palinggih meru tumpang solas, representasi keberadaan individu berkasta tinggi dari keluarga kerajaan.
“Keberadaan meru tumpang solas itu adalah bukti bahwa Desa Adat Munggu itu termasuk wilayah penting Kerajaan Mengwi sebab Ida Cokorda Nyoman Sakti Aleng Kajeng merupakan adik dari penguasa kerajaan,” tutur Rai Sujana dijumpai di sela-sela acara pada Tumpek Kuningan, Sabtu (14/1/2023) sore.
Selain keberadaan meru tumpang solas di Pura Puseh lan Desa, terdapat pula palinggih gedong bernuansa hijau di kedua kompleks kahyangan tiga Desa Adat Munggu. Seperti yang diketahui, warna hijau sangat identik dengan Puri Ageng Mengwi, penerus trah Kerajaan Mengwi.
Kemudian terdapat sasuhunan Tamiang Kolem peninggalan Bala Yudha Kerajaan Mengwi di wilayah Munggu. Kata Bendesa Adat Munggu dengan latar belakang ilmu hukum itu, Tamiang Kolem merupakan satu-satunya tameng perang yang masih tersisa dan disimpan di Pura Dalem.
Sekilas, tameng perang berbentuk lingkaran tersebut memiliki simbol swastika di pusat lingkarannya. Badan tameng terbuat dari kayu yang bagian luar depannya dilapisi besi. Melihat usianya yang sudah ada sejak abad ke-18, besi tersebut kini sudah mengkarat namun pada saat bersamaan memberikan kesan kokoh.
Hal lain yang jarang diperhatikan penikmat tradisi ini adalah fakta kayu pulet sebagai alat mekotek. Kayu pulet ini dikenal lentur dan tahan lama apabila diletakkan di tempat yang sejuk namun tidak lembap.
Beberapa yowana pun menggunakan kayu pulet sampai empat kali Tumpek Kuningan alias dua tahun. Namun, beberapa yowana sudah mengganti kayu mekotek dengan yang baru setelah dua tahun karena perubahan warna dan alasan estetika lainnya.
Sayangnya, kayu pulet ini sudah sangat jarang ditemukan di Desa Adat Munggu sendiri. Seperti pengakuan salah satu yowana Banjar Gambang, Desa Adat Munggu, Putu Widiatnyana, 21.
“Di sini sudah jarang ada kayu pulet. Biasanya dulu ada di sepanjang aliran sungai. Sekarang mencarinya bisa sampai ke Desa Buwit di Tabanan,” ucap Putu ketika dijumpai sebelum pelaksanaan mekotek pada Sabtu siang.
Hal ini pun diakui Rai Sujana, bahwa krama bisa mencari kayu pulet sampai ke desa-desa tetangga ketika terjadi kelangkaan di Munggu. Meksipun demikin, hal tersebut tidak mengurangi makna dari ritual mekotek.
Dari keriuhan atraksi beradu kayu galah dalam tradisi mekotek, ternyata terdapat hal-hal menarik semacam ini untuk ditelisik. *rat
Komentar