Tradisi ‘Ngajengin Wali’, Cegah Malapetaka di Desa Jumpai Klungkung
SEMARAPURA, NusaBali.com – Guna menghindarkan segala malapetaka menimpa warganya, Desa Jumpai di Kabupaten Klungkung, menggelar tradisi Ngajengin Wali yang diselenggarakan di parapatan Banjar Kangin pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (14/1/2023) sore.
Ngajengin Wali dilakukan di tiap-tiap wali di Pura Kahyangan Desa. Ngajengin Wali sendiri menurut istilah yang dipakai oleh masyarakat Desa Jumpai adalah mengikuti upacara di suatu pura.
Di Desa Jumpai, terdapat 7 Pura Kahyangan Jagat, 6 pura diempon oleh Banjar Kangin dan Banjar Kawan, sedangkan 1 pura yaitu Balai Agung, diempon oleh desa (kedua banjar secara bersama-sama).
Ngajengin Wali tersebut diikuti secara tetap yaitu setiap wali di Pura Penataran Dalem Cangkring, Pura Taman Sari, Pura Dalem Katu Lampe yang berlokasi di Banjar Kangin. Lalu Pura Dalem Kekeran, Pura Puseh, dan Pura Segara yang berlokasi di Banjar Kawan.
Soal sejak kapan upacara ini dimulai, tidak diketahui tahun pasti upacara ini mulai dilaksanakan.
“Sesuai cerita dari para tetua, pada tahun 1930an Desa Jumpai diserang wabah gerubug (penyakit, Red). Pada saat itu banyak masyarakat yang meninggal dunia dan banyak masyarakat yang sehat meninggalkan desa, sehingga masyarakat yang masih tinggal di Desa Jumpai akhirnya Nunas Ica,” kata Petajuh Desa Jumpai, Wayan Pariarta, saat disambangi di lingkungan Banjar Kangin, Desa Jumpai, Sabtu (14/1/2023) sore.
.
Kemudian Tari Barong Ket ini rutin diselenggarakan saat Kajeng Kliwon sejak tahun 1930an sampai sekarang,” ujar Wayan Pariarta.
Jalannya upacara Ngajengin Wali diawali dengan Ratu Gde Lingsir dan Ratu Gde Anom serta Ratu Ayu (Rangda) dengan pengiringnya diusung dari Pura Penyimpenan menuju Pura Dalem Simpangan.
Setibanya di jaba tengah, disambut dengan upacara pamendak yang dilakukan oleh para pamangku.
Setelah upacara ini selesa,i maka Ratu Gde Pekalihan, Ratu Ayu serta pengiring lainnya di ‘linggihang’ di suatu bale dan disertai sesajen. Kemudian Ida Sesuhunan akan terus-menerus ngejer ngajengin wali di pura desa yang terdapat pujawali selama empat hari.
Pria kelahiran 13 September 1973 ini menuturkan, Tari Barong Ket atau yang biasa dikenal dengan istilah Tari Barong Jumpai memang dipentaskan untuk menyelamatkan desa dari marabahaya. Apalagi kondisi Desa Jumpai berada tepat di tepi selatan Bali wilayah Klungkung yang langsung berhadapan dengan Pulau Nusa Penida.
“Dulunya para tetua mengatakan Nusa Penida itu memang dikuasai oleh rajanya bencana. Berdasarkan cerita, Meparab Ida Ratu Gede Mecaling. Jadi untuk menjaga desa dari bahaya itu kemudian dipertunjukkanlah tari barong,” ujarnya bercerita.
Para tetua, kata Wayan Pariarta, mengatakan ketika Kajeng Kliwon merupakan hari yang kiamat di mana para butakala di hari-hari tersebut wadue datang ke Bali untuk mencari tumbal. Sehingga Tari Barong ini ditarikan untuk menjaga Desa Jumpai di parapatan desa di waktu senja dengan dihadiri oleh seluruh warga desa guna mencegah bahaya tersebut.
Adapun perbedaan upacara Ngajengin Wali saat Kajeng Kliwon dengan upacara Ngajengin Wali saat hari Raya Kuningan yakni dari rangkaian upacara sebagai pelindung umat manusia dari gangguan Sang Kala Tiga.
Pertunjukan ini diawali dengan tabuh bebarongan oleh para penabuh dari Sekaa Gong Sila Arnawa yang akan mengiri pertunjukkan hingga akhir. Kemudian dilanjutkan dengan munculnya Tari Telek oleh empat penari perempuan.
Selanjutnya, Tari Telek ini ditutup dengan Tari Penamprat yakni dua penari yang akan datang di akhir pertunjukkan Tari Telek dan dilanjutkan dengan pementasan Tari Jauk Manis dan Tari Barong Ket yang disusul bojok kemudian disusul lagi oleh bebondresan.
“Setelah ini dilanjutkan dengan tarian sesolahan Ida Batara sane meparab Ida Jero Rarung yang berwarna merah. Kalau dalam sebuah cerita, Ida Jero Rarung ini adalah murid Dewi Durga yang bernama Dewi Kalika. Beliau datang bersemedi di sebuah kuburan, kemudian diganggu oleh Barong. Kemudian mereka berkelahi atau bertempur sehingga Jero Rarung kalah dan melapor kepada Dewi Durga atau Jero Rangda. Sehingga Jero Rangda yang membalaskan Jero Rarung melawan Barong,” tuturnya.
Dalam pentas itu dikatakan Banaspati Raja tidak berani menatap wajah Jero Rangda sehingga wajahnya akan miring ke samping dan barong tersebut tidak bisa mengalahkan Jero Rangda.
Pertunjuk dipungkasi dengan para pengunying yang menjerit kerauhan (kerasukan, Red) setelah Jero Rangda meninggalkan kalangan, Jero Mangku kemudian ngaturang pejati yang diikuti oleh sejumlah warga di pintu masuk kalangan.
Dikatakan para pengunying kurang lebih terdiri dari 10 orang yang menancapkan sebuah keris ke dada atau kebagian tubuh lainnya. Setelah para pengunying sadar, setelah itu akan ditutup dengan labaan yang diberikan kepada seluruh pengiring atau pengunying agar bisa sadar kembali.
“Itu namanya labaan yang artinya persembahan kepada buta kala yang merasuki orang agar beliau mau lepas dari tubuh orang yang dirasuki sehingga beliau akan kembali ke alam beliau. Sehingga orang yang telah kerasukan akan kembali normal,” ujarnya.
Jenis labaan ada berbagai macam seperti api, sajeng ateng (tuak atau arak), telur ayam Bali, darah itik hitam, daun bunga jepun Bali, bunga pucung bang, kelapa muda hijau. Namun sejak 6 atau 8 tahun yang lalu labaan yang digunakan seperti segehan panca warna, segehan brumbun dan api atau dupa.
“Saat ini tergantung permintaan dari yang merasuki orang tersebut. Labaan yang digunakan pun sebelumnya, para Jero Mangku akan bertanya terlebih dahulu kepada orang yang kerasukan tersebut labaan apa yang ingin ia inginkan,” tuturnya.
Suasana yang tadinya hiruk pikuk menjadi tenang, Barong Ket dan Rangda kembali malinggih seperti semula dan pertunjukan selesai.
Pertunjukan berdurasi kurang lebih 2 jam sejak pukul 18.00 sampai 20.00 Wita ini konon dalam upacara tersebut setiap penonton yang hadir tidak boleh pulang jika pertunjukan belum selesai.
Artinya, dalam tradisi di Desa Jumpai, pantangan untuk para penonton yang hadir sama halnya seperti saat menonton sebuah pertunjukan Calon Arang.
Pantangan lainnya pun seperti halnya ketika ingin ke Pura, seseorang harus bersih secara jasmani dan rohani serta bagi para perempuan sedang tidak berhalangan atau sedang menstruasi.
“Karena Beliau sedang ngadeg, apalagi sudah mulai ngunying banyak wadua yang tedun berupa buta kala. Mungkin ada juga di luar yang berkeliaran, jadi mungkin saat kita pulang saat pementasan belum selesai, kita bisa kerasukan atau mungkin saat di jalan pulang bisa melihat rupa-rupa yang tidak kita inginkan. Jadi kalau bisa sampai beliau itu mesolah baru mepamit atau pulang dalam artiannya sampai seluruh orang yang ngunying itu sadar,” pesannya.
Antusias warga yang datang tahun ini sangatlah ramai, mencapai sekitar 500 orang karena besarnya keinginan warga termasuk anak-anak muda bisa tangkil kembali ke pura dan mengikuti upacara ini.
Ia sebagai warga Desa Jumpai pun berharap wabah gerubug tidak terjadi lagi seperti di tahun 1930an di desanya.
“Kalau bisa tradisi ini harus dilanjutkan. Karena kalau kita ingin mementaskan tarian ini kita harus memiliki para penari dan penabuh, jadi anak-anak muda kami saat ini sudah kami ajarkan untuk belajar megambel dan bisa mengiringi Ida Batara mesolah. Bahkan ada penari yang sudah ada mau nyolahang Ida Batara Ratu Gede atau bapang barong. Tentu kami ingin tradisi ini ajeg demi kita semua,” pungkasnya. 7ris
Komentar