MUTIARA WEDA: Siapa yang Berpikir?
Oṃ keneṣitaṃ patati preṣitaṃ manaḥ kena prāṇaḥ prathamaḥ praiti yuktaḥ, keneṣitāṃ vācamimāṃ vadanti cakṣuḥ śrotraṃ ka u devo yunakti. (Kena Upanisad, 1.1)
Murid itu bertanya: Om. Atas kehendak siapa pikiran diarahkan ke objeknya? Atas perintah siapa prana, yang paling utama, melakukan tugasnya? Atas kehendak siapakah manusia mengucapkan kata-kata? Siapa dewa yang mengarahkan mata dan telinga?
Ini bukan pertanyaan biasa. Ide untuk mempertanyakan ini tidak akan muncul pada orang yang masih larut dalam kehidupan duniawi. Kecerdasan kritis masih berkutat pada persoalan dunia objektif. Ketika orang mulai jenuh dengan objek dunia, dan kritisnya ke dalam, maka pertanyaan ini baru muncul. Selama ini kecerdasan kita sepenuhnya mengarah kepada objek. Pikiran berupaya memecah berbagai persoalan yang ada pada objek tersebut. Namun, suatu saat pikiran bertanya, “selama ini saya mengetahui banyak hal tentang objek, studi mendalam dilakukan terhadap objek tersebut sehingga menghasilkan berbagai disiplin ilmu. Namun, siapa sebenarnya pikiran yang memikirkan itu? Siapa yang mengetahuai banyak pengetahuan itu? Siapa yang berkehendak dalam pikiran sehingga pikiran bisa memikirkan berbagai objek tersebut? Atas pertanyaan ini, looking inward mulai terjadi. Dunia objek penuh misteri, tetapi, pikiran yang mengupas itu ternyata lebih misteri. Meskipun pertanyaan ini purba, ditanyakan oleh orang-orang dimasa lalu, namun akan tetap fresh jika pertanyaan itu muncul dari dalam hati.
Demikian juga kita ini sedang hidup. Pertanyaan muncul, “siapa sang hidup itu”? Siapa yang memerintahkan untuk melakukan tugasnya? Kekuatan apa yang mengisi sang hidup sehingga bisa hidup dan menjalankan tugasnya untuk hidup? Demikian juga bagaimana telinga bisa mendengar, bagaimana hidung membaui, dan yang lainnya? Kena Upanisad (1.2) menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut : śrotrasya śrotraṃ manaso mano yad vāco ha vācaṃ sa u prāṇasya prāṇaḥ. cakṣuṣaś cakṣurati mucya dhīrāḥ pretyāsmāllokādamṛtā bhavanti – Guru menjawab: Itu adalah Telinga dari telinga, Pikiran dari pikiran, Ucapan dari ucapan, Kehidupan dari kehidupan dan Mata dari mata. Setelah melepaskan Diri dari organ indera dan meninggalkan keduniawian, Orang Bijaksana mencapai Keabadian.
Contoh kasusnya begini: selama ini kita tahu bahwa mata melihat. Kita mengetahuai bahwa matalah yang melihat. Tetapi, apakah benar mata yang melihat? Andaikan saja kita cabut mata satu, taruh di atas meja. Apakah mata itu bisa melihat? Ternyata tidak. Bukankah mata yang melihat? Jika mata bisa melihat, maka apa dan dimanapun mata itu pasti akan tetap melihat. Ternyata tidak. Jadi mata hanya alat yang digunakan untuk melihat. Mata adalah media yang digunakan sehingga dapat melihat. Ada sat asali yang melihat melalui mata. Siapa yang melihat melalui mata itu? Itulah matanya mata, telinganya telinga, hidungnya hidung, dan seterusnya. Upanisad meyakini ada entitas yang menjadi saksi dari semua fenomena. Siapakah saksi tersebut? Inilah yang menjadi bahan dasar dari diskursus Vedanta. Berbagai argument muncul. Argument itu pun hadir melalui verifikasi pengalaman. Teks menegaskan bahwa kebenaran itu mesti dijustifikasi melalui pengalaman langsung.
Pertanyaan di atas merupakan landasan awal dari sebuah penyelidikan. Atas penyelidikan tersebut, metode, sistem penarikan kesimpulan, dan pengetahuan muncul. Hal pertama yang hadir ketika pertanyaan itu muncul adalah perasaan sia-sia, karena segala bentuk perjuangan, pengorbanan dan kerja keras yang selama ini dilakoni tidak mampu membawa kita kemana-mana. Diri merasa hampa. Dari perasaan hampa inilah penyelidikan dimulai. Kita mulai mencari jalan. Alat atau metode apa yang digunakan untuk itu. Sehingga dengan demikian, teks mengajarkan banyak metode sehingga pertanyaan itu bisa dijawab atau ditemukan. Setelah melakukan penelusuran, ada banyak penemuan. Dari temuan tersebut kemudian hadir kesimpulan. Kesimpulan inilah menjadi pengetahuan kita. Dan, orang lain bisa belajar melalui kesimpulan yang kita punya. Teks di atas adalah kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh para peneliti terdahulu yang sukses. Kita bisa tiru metodenya, kesimpulannya kita bisa jadikan alat bedah. Sehingga, ketika kita memiliki pertanyaan yang sama, maka kita bisa langsung memanfaatkan metode-metodenya dan menemukan tahapan-tahapannya. Kita bisa mengetahui bahwa tahapan kita telah benar karena teks telah menampilkan kebenarannya.7
I Gede Suwantana
Komentar