Ngerebeg Wraspati Ngepik, Jiwa Panjak Desa Adat Tegal Dihitung Jinah Bolong
MANGUPURA, NusaBali.com – Terdapat tradisi unik di Desa Adat Tegal, Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal setiap Wraspati Kliwon Langkir. Tradisi itu bernama Wraspati Ngepik, di mana panjak desa adat disensus lewat persembahan jinah bolong.
Pada tahun ini, Ngerebeg Wraspati Ngepik ini jatuh pada Kamis (19/1/2023). Panglingsir Desa Adat Tegal sekaligus mantan Bendesa, I Made Lipur, 68, menjelaskan bahwa tradisi ini dimulai pada abad ke-14.
Pada saat itu, ketika Desa Adat Tegal baru dibangun dari sisa keruntuhan wilayah Bantiran, terjadi gering agung atau wabah penyakit. Atas peristiwa tersebut, diberikan petunjuk untuk mengumpulkan seluruh palawatan Ida Bhatara di Bale Agung, Pura Dalem Gede Batan Dulang.
“Ngerebeg ini dimaksudkan untuk ritual tolak bala dari kejadian di masa lalu ketika Desa Adat Tegal baru berdiri,” tutur Lipur ketika ditemui di sela-sela acara pada Kamis siang.
Dalam ritual mupulang (mengumpulkan) tapakan Ida Bhatara dari seluruh pura di wewidangan Desa Adat Tegal, sedikitnya sebanyak 20 tapakan dari sekitar 9 pura maparuman di Bale Agung Pura Dalem Gede.
Seperti tradisi ngerebeg lainnya, tradisi ini identik dengan arak-arakan sasuhunan dan panjak yang mengiringi. Arakan-arakan tersebut biasanya akan mengelilingi wewidangan desa adat untuk menetralisir energi negatif.
Namun, dalam tradisi ngerebeg di Desa Adat Tegal ini terdapat prosesi yang unik, yakni Wraspati Ngepik. Ngepik atau Pangepikan bermakna menghitung. Prosesi ini diisi dengan kegiatan tek cor yaitu persembahan jinah bolong (uang kepeng).
Tek cor dipersembahkan oleh masing-masing kepala keluarga yang jumlahnya sesuai dengan anggota keluarga masing-masing. Satu jiwa dalam keluarga ‘dihargai’ satu keteng jinah bolong.
Foto: Made Lipur, palingsir dan mantan Bendesa Adat Tegal. -WINDU
“Setiap enam bulan sekali, setiap keluarga di wewidangan Desa Adat Tegal wajib menghaturkan tek cor sejumlah anggota keluarga. Oleh karena itu, Wraspati Ngepik atau Pangepikan ini adalah hari untuk metek (menghitung) panjak,” kata Lipur.
Secara sekala, tek cor di masa lalu digunakan untuk mensensus jumlah panjak atau warga di Desa Adat Tegal seusai rangkaian Galungan dan Kuningan. Jumlah jiwa tersebut dihitung dari jumlah kepeng jinah bolong yang dipersembahkan.
Kata Lipur, apabila ada panjak yang enggan dan lupa menghaturkan tek cor ke Pura Dalem Gede, konsekuensinya adalah persembahan banten agung seperti Guru Piduka. Persembahan semacam ini bukan sanksi dari desa adat melainkan urusan niskala antara krama dan Ida Bhatara.
Entah persembahan itu dilatarbelakangi kejadian yang dialami krama atau pertanda lain. Di mana peristiwa tersebut merupakan bagian dari peringatan dari Ida Bhatara kepada krama yang mulai keluar jalur semestinya.
Pria yang sekarang berperan sebagai penyarikan ini mengimbuhkan bahwa Ida Bhatara di Pura Dalem Gede adalah cikal bakal keberadaan dan keselamatan panjak di Desa Adat Tegal. Sebab, anugerah dari Ida Bhatara yang maparuman di Bale Agung Pura Dalem Gede di masa lalu itulah Desa Adat Tegal selamat dari wabah penyakit.
“Ngerebeg ini tetap dilakukan secara turun temurun bahkan saat pandemi sekalipun. Justru saat pandemi itu sangat sesuai dengan fungsinya sebagai ritual tolak bala,” jelas Lipur.
Lipur membeberkan bahwa Ngerebeg Wraspati Ngepik ini masih dilaksanakan pada pandemi lalu. Hanya saja, untuk ngerebegnya sendiri dilakukan di dalam pura dengan mengelilingi Bale Agung Pura Dalem Gede.
Secara filosofi Bale Agung juga merupakan representasi bhuana agung atau alam semesta lantaran para dewa berkumpul di bangunan yang juga disebut bale lantang ini. Dengan demikian dampak ngerebegnya pun untuk semesta beserta isinya.
Lipur berharap generasi penerus tetap dapat konsisten menjalankan tradisi yang vital terhadap keberadaan Desa Adat Tegal yang terdiri dari 8 banjar adat ini. Sebab, keutuhan dan keberlangsungan wewidangan desa adat yang pada pendirian namanya diambil dari istilah ‘mategar-tegar’ ini bergantung pada pelaksanaan tradisi.
Pria paruh baya yang gemar berolahraga ini menyebutkan bahwa tradisi dari masa ke masa sudah tidak kaku dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Seperti tek cor yang awalnya menggunakan jinah bolong sekarang diperbolehkan menggunakan uang kertas.
Nilainya pun disesuaikan sesuai dengan angka jumlah anggota keluarga. Misalnya, Rp 5.000 untuk lima anggota keluarga atau Rp 10.000 untuk sepuluh anggota keluarga.
Meskipun demikian, Lipur mengaku tidak pernah ada aturan khusus untuk jumlah tek cor dalam bentuk uang kertas sebab persembahan tersebut sudah dicatat lebih modern melalui data di atas kertas. *rat
1
Komentar